Klenik, Almarhum
Pada artikel ‘Sang Inspirator dan Motivator Kompasiana’ (pinjam istilah Pak Tjiptadinata Effendi)-2/ Kang Pepih Nugraha di K, berjudul ‘Harian Kompas dan Perjumpaan dengan Mahluk Halus’,-3/ saya punya satu catatan dan satu koreksi. Ini tentu tanpa bermaksud mengurangi derajat kepiawaian dan keakuratan Kang Pepih dalam memberi bobot, nilai edukasi, maupun gaya penulisan yang bernas itu (meski diakui sendiri menulis sambil-lalu),.
Yang pertama pada kalimat: “Saya tidak bermaksud menulis catatan klenik berbau tahayul tentunya, sesuatu yang sangat dilarang di Harian Kompas”. Pada kalimat itu tidak perlu dibantah kebenarannya, para Ulama/Ustad tak bosan untuk menyitir Surat Al Baqarah ayat 2 dan 3 untuk selalu mengingatkan, yang terjemahannya sbb. ‘…………….petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib,……….’.
Namun tulisan itu akan berbau klenik bila peristiwa yang dialami pelaku ‘diangkat mahluk halus’ dikaitkan dengan peristiwa lain: ‘saya diterima sebagai pustakawan di HarianKompas’. Tapi tidak, dua peristiwa itu tidak dirangkaikan dengan ‘kata hubung’, alias berdiri sendiri-sendiri. Maka penjelasan Kang Pepih itu memang dibuktikan demikian.
Mengenai koreksi, terkait dengan dua kata pada kalimat yang dipergunakan Kang pepih, sbb: 1). Almarhum Ibu kemudian menanggapi, "Bukan waktunya barangkali, harus selesai dulu kuliahnya, nanti ada waktunya juga." 3). Bahkan almarhum ayah bersedia mengantarkan saya ke Jakarta pada testing pertama, secara saya tidak punya saudara dekat di ibukota.
Koreksi saya bukan pada arti kata ‘almarhum’ dan ‘almarhumah’, namun pada logika penggunaannya. Menilik pada peristiwa yang sedang dituturkan, kedua orangtua Kang Pepih pastilah masih segar-bugar dan sehat wal-afiat. Terbukti masih ‘menanggapi’ (ibu) dan ‘bersedia mengantarkan’ (bapak). Oleh karena itu kata ‘almarhum/almarhumah’ seharusnya tidak perlu ada. Untuk menjelaskan keduanya sudah meninggal dunia baik dengan menambahkan kalimat tersendiri.
Kesalahan serupa terjadi pada penggunaan kata 'mantan’. Beberapa kali saya membaca suratkabar, sbb. Mantan Presiden SBY tahun 2010 meresmikan…….., Mantan Presiden Megawati menjual aset……..’. Tentu tidak mungkin seorang mantan meresmikan, atau menjual aset. Dengan kata lain keduanya masih menjabat sebagai Presiden. Dengan demikian kata ‘mantan’ itu harus dihilangkan.
Bila pada naskah berita yang sama ada kata ‘presiden lain yang sedang menjabat’, maka di belakang nama para mantan itu cukuplah diberi keterangan angka tahun/periode menjabat.
Beberapa Koreksi Lain
-Masih terjadi kesalahan lain penggunaan kata ‘tetapi dan namun’, terutama pada berita bencana, kecelakaan, dan kasus kriminal. Kalimat yang hampir klise pada peristiwa kebakaran, diantaranya: ‘Tidak ada korban jiwa dalam kebakaran itu, tetapi kerugian ditaksir……..’.
Dengan mengunakan kata ‘tetapi’ secara tidak sadar penulis berita menyatakan bahwa nilai nyawa/jiwa dalam kejadian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai materi. Dan itu salah. Kalau dua anak kalimat itu memang harus digabungkan maka dapat dipergunakan kata ‘sedangkan, sementara itu….’, yang sifatnya menyetarakan.