Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tiga Cerita Tetangga, Terpuruk pada Usia Tua

2 Mei 2015   21:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_414693" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi | Foto: Harja Saputra - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]

Bertetangga itu menyenangkan. selain cerita baik dan bahagia, tentu sekali-dua ada saja cerita kurang menyenangkan. Meski tidak untuk diumbar, cerita apapun di sana mudah saja diketahui orang lain. Kadang utuh, tapi lebih sering tidak lengkap. Bagian-bagian yang tidak jelas terpaksa harus diduga-duga sendiri agar cerita nyambung.

Tanpa bermaksud menyebarluaskan keburukan orang lain, sekali lagi, kiranya cerita ihwal tetangga menjadi menarik untuk disimak. Itu dapat menjadi tempat berkaca atau cermin. jangan-jangan cerita itu justru terjadi pada diri sendiri, dan baru disadari hari ini atau kelak entah kapan nanti....

Lelaki Tua di Balik Tembok

Kurang jelas karena alasan apa lelaki tua itu lebih suka mengintip di balik tembok. Ia seperti mencuri-curi pandang, seperti takut ketahuan orang lain.

Wajahnya bulat, dengan kulit kehitaman dan tubuh agak kurus. Tiap hari ia keluar dari rumahnya di mulut gang, berjalan beberapa langkah ke depan untuk mendapati tembok pembatas rumah-rumah sederhana penduduk asli di situ dengan kompleks perumahan. Konon dulu lelaki itu orang kaya, tanahnya luas ada di mana-mana. Orang meyebutnya sebagai bandar tanah atau tuan tanah. Sampai suatu ketika ia terjerat perkara perselingkuhan. Lebih parah lagi ternyata perempuan yang diperistrinya ternyata simpanan orang penting.

Entah bagaimana akhir kisah selingkuh itu namun ia menjadi melarat. Dua isteri sebelumnya minta cerai dengan tuntutan harta yang banyak. Anak-anak pun tidak mampu mandiri, selama ini mereka hanya bergantung, dan berharap harta warisan.

Sejak setahun lalu ia tinggal sendirian di rumah kecil itu. Mungkin ia masih mampu bertahan sampai uang tabungannya yang tidak seberapa habis. Yang pasti ia tidak bisa bekerja apa-apa lagi. Pikiran dan wajahnya kosong. Dari pagi hingga petang ia hanya berdiri di balik tembok itu. Melihat ke kejauhan, pada rumah-rumah yang berderet mewah dengan segenap kehidupan warganya yang sejahtera. Sesekali menitikan air mata, pernah juga tersenyum, lalu tertawa lirih entah kenapa. Di atas bekas tanahnyalah rumah-rumah itu berdiri….!

Lelaki di Belakang Pagar Rumah

Ia suka memandang lurus ke depan, dengan kepala dimiring-miringkan. Agaknya ia sedang menajamkan pendengaran ketika sesuatu menarik perhatiannya. Ya, hampir lima tahun ini ia tidak dapat melihat lagi, alias buta. Penyakit diabetes akut penyebabnya. Dan ia hanya mengandalkan pendengaran yang makin susut saja.

Lelaki itu hampir enam puluh tahun usianya. Dulu ia guru agama pada sebuah SMP. Karena pengetahuan agamanya yang mendalam ia menjadi guru ngaji dan pengurus masjid setempat. Sifatnya yang keras menjadikan ia bukan orang yang mudah menerima pendapatan dan saran orang lain. Para tetangga cenderung menjulukinya sebagai orang yang kaku dan canggung dalam pergaulan. Itu bukan hal buruk memang, namun para tetangga terlanjur kurang suka pada orang yang tidak punya kompromi itu bahkan untuk hal-hal sederhana sekali pun.

Dan semunya cepat sekali berubah. Seiring dengan penyakit yang dideritanya, lelaki itu lambat laun menjadi ringkih. Diabetes basah menggerogoti tubuhnya. Penyakit kronis itu yang mengharuskan ia minta pension lebih cepat. Badan yang kekar dan tinggi berwibawa dulu tiba-tiba menjadi peyot dan lemah. Pribadi yang tangguh dan berwibawa dulu kemudian tak menyisakan apapun selain sikap putus-asa.

Ia tidak bisa kemana-mana lagi selain duduk di belakang pagar menghadap lorong kecil di depan rumahnya yang mungil. Penyakit itu lambat laun mengganggu penglihatan. Ia menjadi buta tak berdaya. Kondisi itu yang menyebabkan ia mulai berubah. Dalam berbicara dan bersikap ia mulai melunak terhadap pendapat yang berbeda. Tidak mentang-mentang, tidak merasa paling tahu, dan membiarkan orang lain berbeda pendapat.

Perempuan Sendiri dengan Dua Anak Lajangnya

Kompleks perumahan itu selalu ramai dengan aneka kesibukan para ibu dari pagi hingga petang. Tentu disela kesibukan mereka sebagai isteri dan ibu rumah tangga: mencuci, menjemur, memasak, membersihkan rumah, mengaji, melayani kebutuhan anak-anak dan suami, dan aneka pekerjaan lain. Seminggu sekali mereka botram (makan bareng sambil ngobrol, bawa nasi dan lauk sendiri dari rumah). Dua kali seminggu ngaji. Mereka, berjumlah tidak lebih dari sepuluh orang, adalah ibu-ibu rumah tangga yang dalam kesehariannya dipenuhi kerutinan.

Seorang ibu yang tertua diantara mereka, seorang janda setelah suaminya meninggal dunia, dikenal berperasaan sensitif dan protektif. Ia tidak mau menjadi bahan omongan, padahal mereka pun sering bergosip. Kedua anaknya yang telah dewasa namun diperlakukan seperti masih kanak-kanak. Padahal teman-teman sebaya mereka sudah punya satu atau dua orang anak.

Sifat protektif seorang ibu menjadi hal yang sangat umum, dan begitulah memang seorang ibu dalam membesarkan dan mempertahankan anak-anak mereka. Namun sifat berlebihan janda tua itu ternyata membawa hal kurang baik juga.

Si sulung yang perempuan sudah cukup umur untuk menikah, tetapi setiap lelaki yang datang dicurigai, dipandang sinis, dan kurang dihargai. Terlebih jika yang datang berpenampilan kurang meyakinkan, misalnya hanya berjalan kaki atau naik ojeg. Suatu hari datang seorang duda ingin menjajaki kemungkinan dapat berjodoh  dengan anak perempuan si janda tua itu. Ia berpakaian sederhana, berjalan kaki, dan sikapnya sangat tidak meyakinkan. Karuan saja si janda tua ikut nimbrung menemui tamu dengan penuh sindiran. Pertanyaan pun datang bertubi-tubi :  pekerjaan apa, kenapa bercerai, anak berapa, apa bisa nanti menghidupi keluarga, apa tidak dirongrong anak dan mantan isteri.

Duda itu menjawab semua pertanyaan tuan rumah dengan serius dan hati-hati. Namun semua jawabannya asal-asalan saja. Ia sudah mengendus sifat yang kurang baik pada jnda tua itu. terbukti kemduian duda itu memang tidak memenuhi kriteria.  Duda itu seorang pengusaha yang mulai maju dalam usahanya. Ia mencari isteri yang sederhana, jujur dan menghargai kesetiaan suami; sesuatu yang tidak ada pada mantan isterinya.

Demikianlah, janda tua itu tidak segera menyadari kesalahan sikapnya selama ini. Sampai kemudian –waktu berlalu cepat- ia menyadari anak perempuannya telah menjadi perawan tua.

Bandung, 19 Maret-2 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun