Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Sepakbola Punya Cerita

16 April 2014   00:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sepakbola menjadi olahraga mendunia, karena heboh dan dampak sosial-ekonomi-politiknya, dan di belahan dunia sana bahkan olaharaga ini menjadi semacam ‘agama’. Ya, tentu agama dalam tanda petik. Karena kalau benar agama, orang bakal kritis bertanya siapa tuhannya, dan itu sangat sulit dijawab. Apakah bola, wasit, atau penonton yang harus dipertuhankan? Atau cokong dan pemilik klub yang berada di belakang haru-biru dan kadang berubah menjadi demam dan huru-hara itu? Atau media elektronik –khususnya televisi dan online- yang memancarluaskan perandingan dengan segenap profil pemain, intrik jual-beli pemain serta seribu-satu persoalannya...

Sepakbola, seperti olahaga apapun, mempertemukan para pihak yang saling berhadapan yang merupakan tim (disebut kesebelasan, dan sisa pemain menjadi cadangan). Lalu dengan ketentuan dari FIFA (organisasi sepakbola dunia, soal luas lapangan, peraturan pertandingan, soal wasit dan hakim garis, dan banyak ketentuan lain) pertandingan dimulai, untuk menentukan siapa menang dan siapa kalah, dan sesekali terjadi hasil seri atau draw.

Yang unik, dan mungkin ini satu-satunya dalam olahraga. Dalam pertandingan dua kesebelasan (jumlah orang yang ada di dalam lapangan menjadi sebelas kali dua ditambah seorang wasit, atau dua puluh tiga orang) dikenal dengan apa yang disebut ‘gol bunuh diri’. Sebenarnya tidak ada peristiwa bunuh-membunuh, yang ada hanya saling tendang atau yang lebih pas ‘sepak’ (namanya juga sepakbola, bukan tendangbola), sesekali saling jegal, lalu saling serubuk/tanduk, dan saling dorong dan sikut. Bunuh diri menjadi sebutan umum ketika seorang pemain memasukkan bola ke gawangnya sendiri, alias mencelakakan diri sendiri. Dan gol itu dihitung untuk lawannya.  Bayangkanlah apa jadinya kalau ihwal bunuh diri ini terjadi juga pada pertandingan bulutangkis, bola basktet, atau catur?

Untuk menambah wawasan saya kutipkan perihal gol bunuh diri dari ensiklopedia bebas Wikipedia bahasa Indonesia.  “Gol bunuh diriadalah istilah dalamolahragasepak bolaketika seorang pemain memasukkanbolakegawangnyasendiri sehingga dianggap sebagaigolbagitimlawan. Pemain tersebut juga dianggap sebagai pencetak golnya. Apabila gol tersebut diakibatkan oleh pantulan, maka pencetak gol dilihat jika tendangan yang menghasilkan gol tersebut adalah tendangan langsung ke arah gawang atau tidak. Jika ternyata merupakan tendangan langsung ke gawang, maka pemain yang menendang tersebut dinyatakan sebagai pencetak gol. Gol bunuh diri terkenal terjadi diPiala Dunia 1994. Saat pertandingan tuan rumahAmerika SerikatmelawanKolombiayang di buat olehAndres Escobar. Yang mengakibatkan tim nasional Kolombia kalah 1-2.Gol bunuh diri tidak bisa diterima jika dihasilkan dari lemparan ke dalam atau daritendangan bebas”.

Dalam konteks dengan ucapan komentator, yang mengiringi penonton tv atau pendengar radio menikmasi siaran sepakbola, seringkali dijumpai ungkapan klise ‘berbahaya’. Berulang, dan berulang kata itu manakala bola digiring, atau diumpan mendekati gawang lawan. Kata ‘bahaya’ itu kalau sejenak kita lupa sedang menikmati siaran sepakbola jadi berkonotasi soal jalanan licin, lalu-lintas padat dan ngebut di jalanan. Tidak pernah sekalipun dijelaskan bahwa kata bahasa itu terkait dengan  ungkapan lebih lengkap “membahayakan gawang sendiri, atau lawan’.

Kekayaan kosa kata menjadi keunggulan tiap juru warta. Dan dalam kaitan dengan sepakbola muncul kalimat “Timnas U-19 Indonesia terancam masuk 'grup neraka' di kejuaraan Piala Asia U-19 2014 yang akan digelar di Myanmar pada 9-23 Oktober mendatang. Karena berdasarkan regulasi penentuan pot, Indonesia besar kemungkinan akan masuk pot 4. ” (Kutipan berita sebuah online). Cermati kata ‘grup neraka’ dan kita akan segera membayangkan betapa mendidih, berkelojotan dan ingar-bingar jerit kesakitan di sana! Lalu bagaimana nasib tim-tim yang masuk di ‘grup surga’?

Beralih pada soal fanatisme penonton. Ada yang disebut bobotoh (fans Persib Bandung), ada Bonek (fans Persebaya Suabaya), dan ada pula Holigan (penonton fanatik  kesebelasan di Inggris). Begitu fanatiknya maka ada beberapa fans yang memiliki musuhnya sendiri-sendiri. Meski ada pula fans satu kesebelasan yang selalu bermusuhan dengan masyarakat. Fanatisme itu begitu ‘buta dan gila’-nya, sebab bahkan kalau kedua kesebelasan ganti kostum dengan tim lawan, para fans tidak akan serta-merta berganti orientasi dukungan. Gamblangnya begini, kalau sebelas pemain inti Persija hijrah ramai-ramai dan berganti kostum oranye menjadi warna biru Persib, dan sebaliknya, para bobotoh tetap akan berkostum biru.

Beruntung Bonek (bondo nekat, atau  bermodalkan nekat) dengan Aremania sudah didamaikan, lalu disusul dengan Jack Mania dengan Bobotoh Viking. Mudah-mudahan kelak di lapangan, dan di luar pertandingan, tidak ada lagi aksi kekerasan maupun tawuran semata karena mempertahankan kebesaran nama tim/klub sepakbola yang didukung. Kedepan motto ‘fair play’ benar-benar dapat dipraktekkan. Makin banyak gol indah tercipta, ke gawang manapun bola menyentuh jaring, sehingga penonton semakin senang. Asalkan tidak sering-sering terjadi ‘bunuh diri’, apalagi sampai terjadi skandal seperti pada . . . . . .!

Satu pertanyaan mengganjal untuk para penonton muslim di lapangan. Ketika melewati waktu sholat (Ashar, Maghrib, Dan/Atau Isya’) kemana mereka melakukan sholat? Apakah tersedia mushola/masjid cukup memadai di lingkungan stadion? Kenapa pertandingan tidak dihentikan barang lima menit untuk sholat berjamaah dulu? Apakah mungkin (sekali lagi mungkin) dalam  kondisi itu para penonton akan menjadikan sepakbola sebagai ‘agama’? Dan dengan begitu Tuhan memaafkan kealpaan mereka menunaikan sholat wajib? Tentu hanya penggila sepakbola yang mampu menjawabnya!

Dan ah. . . . , sebenarnya masih banyak lagi ‘sepakbola punya cerita’, tapi giliran Anda menuliskannya.

Sebagai penutup perkenankan saya mengucap: Bravo Evan Dimas dan kawan-kawan (di bawah pelatih Indra Sjafri) yang mampu mempecundangi Timnas UEA U-19 dengan skor 4-1. Mudah-mudahan pada laga kedua Rabu malam (WIB) Timnas Indonesia U-19 bermain lebih cantik dan produktif mengemas gol. Persiapan panjang dan berat menuju kejuaraan Piala Asia U-19 2014 di Myanmar pada 9-23 Oktober mendatang insya Allah mengantar kalian sebagai juaranya. Amin!

Bandung, 16 April 2014, 00.05 WIB.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun