Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Marah, Makian, Latah: Maaf Hanya Ekspresi!

2 September 2014   09:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:51 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_356820" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi (Kompasiana/Shutterstock)"][/caption]

Hanya satu kata, atau hanya beberapa patah kata maka semuanya akan berubah. Bukan hal baik tapi justru hal buruk. Dan kita sering tidak mampu, atau bahkan sama sekali tidak, menduga bakal seburuk itu  jadinya. Itu mungkin secara langsung atau tidak langsung yang akhir-akhir ini kita dapatkan pembelajaran dari kasus Florence Sihombing

Bukan hanya Florence seorang yang bisa kita jadikan contoh. Banyak sebelumnya. Orang menyederhanakan kata-kata terucap/tercetak/tertulis menjadi ‘sekedar ekspresi’. Bagi yang tidak terkena (bukan obyek ekspresi) dapat saja memaklumi hal itu sebagai kemarahan sesaat, ungkapan spontan, hanya keceplosan alias latah, atau sekedar bergurau. Tapi orang lain (terlebih obyek ekspresi) dapat saja betul-betul merasa terlukai. Bukan fisik, mungkin hati dan perasaan.

Tulisan ini tidak akan mengulang, dan apalagi coba menganalisis benar-salah. Sudah banyak yang lebih kompeten berkomentar, berargumentasi, dan berdiskusi tidak sekedar permukaan, dan hal remeh-temeh, sampai pun pun pada substansi: masuk ranah hukum, atau sekedar ranah etik. Tulisan ini cobamenelisik  sisi lain saja.

Ramah atau Marah

Setiap orang, selain perbedaan bahasa maupun slang dan logat, juga punya kebiasaan berkata dengan kata-kata tertentu diulang-ulang. Kata-kata atau ungkapan yang sama. Bahasa lisan atau bahasa tulisan. Sekedar kebiasaan, keterbatasan perbendaharaan kata, tapi jangan-jangan latah. Tapi jelas itu berpengaruh dan dipengaruhi oleh alur-cara-dan pola pikirnya sebelum dan pada saat berbicara/menulis.

Jika kita cermat mengamati maka ada orang yang gemar menggunakan kata yang sama terus-menerus: sesungguhnya, karena itu, justru, saya kira, barangkali, makanya, seolah-olah, kayaknya, sumpah, dan banyak lagi.

Seorang teman menggunakan kata ‘sesungguhnya’, maka alur-cara dan pola kalimat yang digunakannya menyokong penggunaan kata itu. Cermati berikut ini : “Sesungguhnya hidup kita ini sederhana. Kitalah yang mempersulit. Kita sibuk kerja siang-malam. Padahal sesungguhnya yang kita perlukan hanya sepiring nasi. . . !”

Teman lain selalu berkata ‘makanya’ saat nulis berita: “Kubilang juga apa? Makanya nurut deh. Ilmu kamu belum seberapa, makanya salah melulu. . . !”

Mungkin perbendaharaan kita memang terbatas. Tapi dalam komunikasi verbal memang tidak diperlukan rumusan yang rumit. Kadang satu dua kata sudah dapat dimengerti maksudnya. Tentu saja dimengerti sebab disertai dengan mimik muka, gerakan tangan, dan nada suara tertentu.

Sebuah kata  yang sama dapat berarti ‘ramah’, atau sebaliknya ‘marah’ jika diucapkan secara langsung. Bahkan para pemain watak, dipanggung atau dalam sinetron/film, harus piawai mengucapkan satu kata yang sama dalam berbagai ekspresi berbeda.

Sinting, Anjing, Kelamin

Ekspresi, itu dapat berarti sekedar bumbu penyedap, dapat berarti pula kesal, merajuk, geram, putus-asa, benci, atau sebaliknya sayang, dan jatuh cinta.

Lontarkan kata ‘sinting’ dengan mata melotot, atau banting handphone, atau sikap kesal lain. Ucapkan kata ‘sinting’, lalu sambil tertawa dan menyubit sebagai ekspresi atas ide yang ‘tidak biasa’ atau terkesan mengada-ada pasangan Anda.

Kata sinting itu terbukti berdampak luar biasa negatif tatkala digunakan seorang politikus untuk mengomentari tindakan lawan politiknya. Satu kata itu cukup menjadikan diri dan partainya repot.

Perihal kata anjing lain lagi ceritanya. Di Bandung dan sekitarnya, entah sampai mana, kata itu sangat akrab di telinga. Itu bukan makian, barangkali sekedar bumbu dalam berucap dan berkata-kata. Bahkan anak-anak ingusan, setingkat TK atau lebih kecil, sudah terbiasa dengan kata itu dan tidak ada yang merasa terusik. Pada anak-anak dan remaja sebaya-sepermainan lebih sering terdengar. Tentu terkecuali keluarga pendatang.

Di Yogya, Jawa Tengah dan Timur kata-kata makian nama  hewan lebih beragam, dari mulai kirik (anak anjing), munyuk/monyet,  jangkrik,  sapi, hingga babi.

Kembali di Pasundan, ketika mereka akan memaki akan memilih kata lain, dan laiknya aneka jenis makian di tanah air, pilihan tidak jauh-jauh dari sebutan alat kelamin laki-laki atau perempuan sesuai bahasa setempat. Dan yang lebih sadis menyebut alat kelamin orangtua perempuan, organ tubuh tempat kita dilahirkan!

Baik, Spontan, Dzikir

Sebaik-baik berbicara adalah yang baik-baik. Juga dalam berekspresi. Memuji dan memberi apresiasi jauh lebih baik. Sebab itu berarti kita mampu menahan perasaan, yang bisa jadi kesal atau marah. Untuk mengukur banyaknya kata-kata baik-buruk yang kita ucapkan dalam keseharian dapat dites melalui uji kejutan.

Kaget, terkejut, dan terjingkat karena sesuatu akan menyebabkan kita mengeluarkan kata-kata spontan. Ini pasti bukan latah, sebab latah paling sering digunakan untuk orang-orang yang tanpa sadar mengucapkan makian, kata-kata kotor/cabul/seronok, bahkan menjijikan.

Spontan atau latah dapat terjadi karena kebiasaan kita dalam menggunakan pilihan kata tertentu. Membiasakan diri dengan kata-kata tak sedap maka akan keluar suatu ketika dengan tanpa sadar.

Kata-kata baik itu ada dalam harapan baik, berprasangka baik, nasehat-menasehati, dan dzikir. Dalam praktek keberagamaan tentu saja mengucapkan dzikir menjadi kata atau rangkaian kata terbaik. Banyak pilihan dapat diucapkan. Bahkan juga ucapan ‘la ilaha ilallah’ saat ajal menjemput, akan membedakan orang-orang khusnul khotimah, dengan orang lain yang justru mengumbar  sumpah-serapah...!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun