[caption id="attachment_357321" align="aligncenter" width="560" caption="sumber dari jibran staff.ipd.ac.id"][/caption]
LELAKImuda itu coba berdiri, dan belum tegak benar ketika kembali terhuyung, lalu berdebam terbanting. Seketika ia coba merayap dan terus bergerak. Beberapa detik berdiri lalu jatuh, seperti bola pantul, akhirnya meringkuk, tanda menyerah. Pukulan, tendangan, hajaran, bertubi-tubi seperti tanda henti. Tidak ada kesempatan meloloskan diri. Memar dan luka sekujur, tulang dirasa patah-patah.
Inilah akhir pelariannya menjelang subuh. Semalaman ia menunggu untuk memindahkan sebuah pesawat tv, memindahkannya ke rumah. Tapi ia lupa malam itu ada pertandingan sepakbola La Liga Spanyol hingga larut.Maka kesempatan mencuri hanya beberapa belas menit menjelang subuh.Dan celaka, semuanya sudah terlanjur terjadi.
Ia nekat, dan tepergok!Maka di desa kecil pinggir hutan karet itu ia jadi buron. Pontang-panting ia menyelamatkan nyawa, dan hanya lari yang dapat dilakukan, hingga jarak yang cukup jauh sebelum nafasnya habis! Pagi rekah. Matahari menebar senyum dari balik bukit perkebunan teh sana!
Pada saat itu serombongan penjudi menuruni jalan setapak untuk pulang. Jalan mereka terantuk-antuk. Ada memang yang setengah mabuk. Tak pelak pelarian itu tertangkap tangan tanpa sengaja. Sebuah pesawat televisi 21 inci merek tidak terkenal yang dipanggulnya dengan langkah tergesa, tidak memberinya dalih apa pun kecuali tuduhan maling!
Para penjudi berteriak-teriak kegirangan. Si maling berteriak kesakitan. Kepal tangan, tendangan kaki, dan gocoh pentungan kayu menggebah tubuh yang kian ringkih.
“Kenapa maling? Jawab, kenapa?” gertak si tubuh gempal merangsek dengan tinjunya.
”Maling untuk mabuk-mabukan, ya? Untuk main perempuan dan makan enak sendiri? Atau untuk beli ganja dan sabu?” si ceking melabrak, padahal dia sendiri yang dari tadi sempoyongan karena mabuk.
Meski untuk sekedar menganiaya mereka kelelahan. Maklum sejak kemarin malam mereka melewatkan jam tidur!Beberapa menit kemudian kembali tangan, kaki, pentungan dan apa saja seperti menggertak mencari sasaran masing-masing.
”Kami ini memang penjudi, tapi tidak pernah mencuri, tidak pernah maling!Meski harta benda kami ludes di meja judi, kami tidak mau menghina-dinakan diri menjadi maling. . . . .!”
”Ampun, pak. . . . . . .!”
”Apa pun jawaban yang kamu berikan pasti bohong.Sudahlah maling, bohong lagi.Pasti sejak kecil kamu sudah terbiasa maling. Bapak-ibumu pasti juga maling, keluarga besarmu pun pasti maling. . . . .!”
HARIbergeser lamban ke siang, jam setengah tujuh, dan makin banyak saja orang yang datang. Tapi anehnya mereka tidak ikut-ikutan meninju, menendang, dan memukul dengan pentungan. Dua puluh atau tiga puluh orang warga kampung setempat berdesakan di situ. Mereka, para bapak, para ibu, pemuda dan anak-anak hanya melihat dengan tercengang-cengang.