Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menulis Cerpen Itu Gampang, Mencari Peminat Cerpen Itu Sungguh Tidak Gampang

1 Oktober 2014   10:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_362905" align="aligncenter" width="614" caption="English Watercolour Sketchbook / jacksonart.com"][/caption]

Ini soal cerita pendek, alias cerpen, dan soal gampang/tidak-gampang. Kalau soal panjang-pendek cerita memang relatif, bisa pendek sekali sehalaman selesai. Tapi ada jua yang panjang bertele-tele. Sampai sepuluh atau dua puluh halaman folio, jenis dan ukuran huruf standar.

Penyakit saya kambuh pada sikap dan sifat yang kedua itu. Dan rasain dampaknya, ada beberapa yang baca, sekedar baca. Mungkin tidak tamat, sehingga jangankan penilaian/vote, komentar pun pelit dikeluarkan. Pastilah ini penilaian subyektif saya.

Tujuh buah cerpen sudah saya pajang melalui Fiksiana, dan Alhamdulillah hasilnya jauh dari memuaskan. Apa yang harus saya lakukan? Di akhir tulisan ini nanti akan saya putuskan!

Dibaca, Dikomentari, Dinilai

Maksud  dan tujuan sebuah cerpen diunggah/ditayang/dimuat ke medsos betapapun adalah menguber-uber pembacanya. Mencari peminat, dan seperti orang jualan berarti mencari pembeli. Kalau sepi peminat dan pembeli, maka jalan terbaik hanya bercermin, mawas diri. Daganganmu jelek, Bung. Mungkin sama sekali tidak sedap dikonsumsi, atau bahkan sudah busuk.

Mari sedikit berhitung, untuk mendapatkan gambaran. Dari tujuh cerpen saya, jumlah pembaca/hits hanya sekitar 1000 orang, pemberi komentar 63 orang, dan pemberi penilaian 25 orang.

Untuk sekedar diketahui ketujuh cerpen itu ada yang sudah berumur tujuh tahun, sisanya enam tahun, meski ada yang baru enam bulan. Itu berarti telah melalui proses edit sendiri yang cukup lama. Ada proses pengendapan, ganti nama karakter yang ada, ada perbaikan logika cerita, dan yang terbanyak perbaikan dialog dan penulisan.

Komentar Sendiri

Karena mungkin pembaca tidak tuntas, tidak cukup sabar, atau tidak punya cukup waktu untuk hal-hal yag bertele-tele, maka komentar pun sulit dibuat. Bahkan ada yang berkomentar ‘sulit berkomentar’! Ada juga yang menakar dengan komentar sepatah-dua patah kata. Saya takut dengan kata-kata yang sama jangan-jangan para komentator itu sedang memaki, dengan kata yang sudah diperhalus… Ahya, semoga saya salah.

Untuk mengatasi komentar nol, alias ‘siapa yang peduli sih?’, maka dengan gagah berani saya komentari tulisannya saya sendiri. Begini bunyinya:

Cerpen Awal sebuah Perselingkuhan

“Terimakasih pada orang ke 100 yang telah meng-klik cerpen ini, meski mungkin membacanya tidak sampai selesai. Terbukti tidak ada komentar maupun vote. Kepanjangan ya? Tapi bagi yang sudah biasa baca novel mungkin belum seberapa. Sekali lagi terimakasih.”

Cerpen Dunia Para Kanibal

“Apakah betul sifat manusia makin lama akan kembali seperti hewan? Modernitas dan moralitas hedonistikkah penyebabnya? Lalu bukankah para koruptor itu tak lebih dari para kanibal, yang memakan bangkai saudara sendiri? Entahlah. Saya betul tidak tahu karena memang tidak komentar, terlebih vote, padahal hampir sebulan cerpen itu nangkring di sini… hehe.”

Berkomentar sendiri kalau dipanggungkan seperti pentas ‘monolog’, jadinya marah sendiri, heran sendiri, malu sendiri, juga geli dan nangis sendiri. Untuk sementara ini kalau soal penilaian sendiri, saya menghindarinya jauh-jauh. Kecuali  nanti ada tambahan penilaian ‘basi, klise, mubazir, dan bikin neg alias nggak menarik’…. hehe.

Kritik, Pujian

Sayang kita belum terbiasa dengan kritik. Bahkan sekedar kritis pun agak langka. Ini berbanding terbalik dengan laman politik yang ingar-bingar, hiruk-pikuk, dan meriah; dengan segenap pemikian cemerlang, adu argumentasi maupun opini, baik yang berbobot maupun yang tidak bermutu.

Kata peminat politik, itulah bagian dari kemewahan berdemokrasi. Sesuatu yang mampet pada rezim Orde Baru, dan celaka dua-belas kini banyak anggota dewan kita yang merindukan kembalinya era “Piye khabare, enak jamanku to?”. Lantas apa kemewahan untuk yang berfiksi-ria?

Pujian tentu saja ada, dan saya bukan orang yang tidak tahu berterimakasih. Sekedar kata ‘manstabs’, atau ‘bagus’, atau ‘suka’ pun bolehlah… Tapi itu bukan makian ‘kan? Takutnya….hehe.

Saya tulis pada jawaban bahwa umur beberapa cerpen itu cukup lanjut untuk menemukan medianya. Dan tentu Kompasiana, dengan para Admin-nya yang tahan banting, harus diapreasiasi atas kesanggupan dan kesabaran membaca satu-per-satu naskah, memilah dan memilih, kemudian mengeksekusi dengan pisau lipat yang teramat tajam. Meski mungkin ada juga yang salah, terlewat, lena, atau bahkan abai.

Manusiawi kalau itu bukan kesengajaan yang terstruktus, sistematis, dan massif… Sudah pada galibnya sekedar fiksi jarang yang berlama-lama nangkring di HL apalagi TA, bila adapun pasti karya yang luar biasa punya!

Bacalah Cerpen, Bacalah

Anjuran dan ajakan itu pastilah terinspirasi kitab suci ‘bacalah’, sambil memberi sedikit argumentasi: fiksi lebih komplit ketimbang fakta, lebih detil dan nyata, juga fiksi lebih dari opini belaka karena opini tidak selalu ada proses pengenalan-konflik dan pemecahan masalah, dan yang pasti fiksi tidak terikat ruang dan waktu. Maka bacalah!

Sengaja saya tidak menuliskan kata ‘cerpen’ pada beberapa judul mutakhir karena konon menurut penelitian Cak Lontong, kata itu akan mempengaruhi jumlah pembaca. Orang lebih suka hal-hal yang aktual dan heboh. Padahal kalau mau jujur, mestinya baca saja semua berita pada media mainstream, tapi…. ya sudahlah!

Bacalah sampai tuntas, kalau perlu diulang, dicermati dan dinikmati betul asam-manisnya, matang-mentahnya, asin-gurihnya, termasuk juga kekhususan piring-sendok-garpu dan penatan meja hidangannya. Bahkan untuk yang mati rasa, alias indera pencecapnya terkendala, masih dapat mengenali bau dan wujudnya yang mengundang selera. Tapi jika sama sekali tidak, jangan salahkan siapa-siapa. Tentu penulis cerpen inilah yang dungu tak alang kepalang… hehe.

Demikianpun jika sebaliknya, cobalah memberi komentar, untuk yang lebih peduli, meski mungkin sekedar kasihan- berilah juga penilaian ala kadarnya.

Nah pamungkas, jikalau imbauan, anjuran dan ajakan ini manjur-berkah-diridhoi, maka judul di atas dapat segera saya ganti menjadi  “Menulis Cerpen Itu Gampang, Mencari Peminat Cerpen Itu Sungguh Tidak Sulit!” Dan itu berarti pula saya akan terus menulis cerpen!

Insya Allah. Amin. Salam kreatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun