[caption id="attachment_370821" align="aligncenter" width="620" caption="Pornografi (shutterstock)"][/caption]
Ngobrolin soal porno dan ihwalnya, alias pornografi, nggak tahu kenapa selalu hangat dalam media masa, terlebih media sosial. Banyak orang pinter soal teknologi informasi-ahli hukum-sosial-politik-budaya-seni dan agama berperang kata, muslihat, argumen, hingga simpati/empati bahkan emosi karenanya. Yang tak kalah seru adalah perang perasaan, ada rasa kasihan/prihatin/ ikut-sedih dan seterusnya. Kasihan pada obyek pornografi, atau sebaliknya pada pembuat/penyebarnya. Rasa kasihan itu bahkan mampu menggiring opini hingga jauh keluar dari konteks.
Coba bayangkan ada seorang anak menyebarluarkan materi pornografi dengan obyek seseorang, lalu ibunya mewek minta anaknya jangan dibui, dan si ibu mendapat simpati. Tidak tanggung-tanggung, sebuah stasiun televisi berjuang untuk si ibu. Perjuangan yang patut diacungi jempol belaka.
Tapi tentu akan beda beritanya kalau, misalnya, pemilik televisi itu atau salah satu penanggungjawab berita atau seorang presenternya, yang diperlakukan sama oleh si anak…!
Siapa Salah, Siapa Bertanggungjawab
Kecanggihan teknologi memunculkan kemudahan merekam apa saja, sampaipun pada visualisasi apa yang kemudian disebut konten porno, pornorafi dan porno-aksi. Ada yang dengan sengaja, ada yang hasil curian (tidak sepengetahuan obyek), dan ada pula yang sekedar menyebarluaskan gambar orang lain. Alasan komersial atau iseng atau sekedar sakit hati dan balas dendam menjadi lumrah.
Dulu waktu perekam video masih menggunakan kaset, tahun 2000-an, tersebutlah sepasang suami-isteri di Kalimantan Selatan dengan hobi aneh, yaitu mengabadikan persuami-isterian mereka sendiri. Entah penyakit apa yang diderita keduanya, sampai begitu kompaknya. Koleksi pribadi itu raib bersama barang-barang lain kala ada maling menggasak isi rumah. Malu tak terkira-kira dirasakan kemudian, bukan karena hartanya ludes, tapi karena video porno mereka laris digandakan, bahkan diperjual-belikan.
Sejak itu marak video porno beredar dengan berbagai peristiwa dibelakangnya. Pelajar mesum, mahasiswa mesum, pegawai mesum, pejabat mesum. Dan yang paling heboh tentu saja video porno seorang vokalis band dengan sejumlah selebritas. Konon seorang teman sang vokalis-lah pelaku penyebaran, dan kemudian divonis bersalah. Namun bukan itu persoalannya. Merebaknya berita, ditambah dengan rasa penasaran yang besar, menjadikan video yang mestinya dimusnahkan itu beredar pada hampir semua pemilik komputer dan handphone. Bahkan pun anak-anak usia SD menjadi penontonnya. Belum gaul kalau belum nonton bareng adegan yang mestinya tersembunyi di balik kelambu itu.
Maka saling menyalahkan, adu argumentasi, sampai pada debat kusir, terjadi pada banyak halaman/durasi media massa, termasuk media sosial. Siapa yang salah? Vonis sudah dijatuhkan. Tapi bisakah vonis itu mengembalikan minat anak-anak SD untuk tidak kecanduan gambar-gambar serupa? Seberapa besar media, khususnya televisi, berani mengambil tanggungjawab atas perannya membuat khalayak penasaran?
Adu Argumentasi, Debat Kusir
Tiap kasus pornografi yang tersebar di masyarakat punya cerita khasnya. Yang terbanyak tentu saja peran si ahli otak-atik gambar hingga mampu membuat hampir sama, atau bahkan sama persis, wajah dan tubuh seseorang, padahal itu milik dua orang yang berbeda. Para artis paling banyak mendapatkan perlakuan seperti itu. Mereka cuek, atau pura-pura tidak tahu. Banyak yang justru merasa beruntung karena melambungkan popularitas. Tapi siapa tahu mereka memang punya matapencaharian ganda…
Tinggal kemudian muncul komentar, tanggapan, percakapan, hingga analisis yang kelas kaki-lima (orang kebanyakan, atau awam), analisis sok tahu, analisis setengah matang, hingga pendapat para pakar. Bertaburan, berseliweran, hilir-mudik, dan simpang-siur. Media laku keras, dan para analis serta para pakar pun mendapatkan cipratan rezeki dari sana.
Ada pakar yang menjadi langganan stasiun televisi A, yang lain ke televisi B, dan seterusnya. Tentu saja tiap pakar paham sekali bagaimana membumbui pendapat akademisnya disesuaikan dengan kemauan maupun selera stasiun tv yang mengundang.
Lalu dimanakan lapak debat kusir berada? Ya, di medsos. Pornografi menjadi materi menarik, selain soal suku-ras-agama, yang akan memancing orang-orang kritis untuk unjuk gigi dan unjuk dahi. Unjuk gigi bagi mereka yang sekedar hadir, menyimak, setuju atau tidak setuju, dan nggak peduli. Bahkan ada yang sekedar bersuara, dan asal beda. Sedangkan untuk yang unjuk dahi, biasanya memperlihatkan kepiaiannya bersilat-lidah, berpapatah-petitih, berhaha-hihi, menggunakan jurus-jurus akademis dengan segenap referensi dan contoh kasus yang unik belaka.
Tapi namanya saja debat kusir, tidak jelas arah dan tujuannya. Alhasil disimpulkan, baik yang pro maupun yang kontra, yang setuju dan tidak setuju, yang simpati atau antipasti, sama-sama hebat, dan sama-sama menang! Kalaupun ada wasit, juri, dan moderator, sudah pasti ngacir alias kabur sebelum debat kusir selesai.
Hukuman Berat, Tidak Ada Korelasi
Penyebaran pornografi disadari atau tidak telah merusak mental anak bangsa, merusak sendi-sendi keberagamaan, merusak daya pikir, merusak pola hubungan orangtua-anak/guru-siswa/dosen-mahasiswa/ atasan-bawahan/pejabat-rakyat, membuang-buang enerji-waktu-kesempatan, dan seterusnya. Tapi kita terlanjur menyederhanakan permaalahannya. Padahal semua yang diberitakan di media massa itu pada hakekatnya adalah fenomena gunung es.
Lantas apakah langkah penting yang harus diambil ihwal penghinaan seseorang kepada orang lain dengan konten pornografi?
Hukum harus ditegakkan? Tapi sudahkah? Memang tidak mungkin dijawab tegas, ya atau tidak. Semua masih dalam proses menuju, itupun kalau ada niat, semangat, keberanian, biaya, dan juga optimisme. Perlukah hukuman berat? Tunggu dulu….
Terkait masalah hukuman berat, ada berita buruk hari ini di suratkabar: “Sebuah laporan Pemerintah Inggris menunjukkan bahwa "tidak ada korelasi yang jelas" antara hukuman berat dan tingkat penggunaan narkoba.”
Berita itu dari laporan hasil perbandingan 13 negara yang menjatuhkan hukuman berat kepada para pengguna narkoba. Disimpulkan bahwa penggunaan narkoba dipengaruhi oleh berbagai faktor yang "lebih kompleks dan bernuansa ketimbang undang-undang dan penegakan hukum saja. Dengan kata lain, hukuman berat tidak mempengaruhi penurunan jumlah pengguna narkoba.*)
Jika berita itu benar, dan kemudian dipraktekkan dalam kasus kejahatan pornografi di negeri ini, maka seberat apapun hukuman untuk pelaku dan penyebar konten pornografi -atas alasan sakit-hati, fitnah, dendam, penghinaan- tidak akan berkurang jumlahnya. Dengan kata lain, biarlah semua orang berpornografi-ria, tidak ada hukuman apapun.
Dan orang yang berinisial MA itu –dan banyak orang lain dengan keisengan serupa- pasti akan bebas merdeka. Kemudian, dalam waktu dekat sebuah stasiun televisi yang sukses memperjuangkan si pesakitan akan bersegera, bahkan menjadi pionir, untuk menayangkan konten pornografi dalam mata acara prime time mereka.
Luar biasa, dahsyat! Mungkin saja! Tapi nggak janji ah!
-----
Sumber *) http://www.pikiran-rakyat.com/node/302776
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H