Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tonggak Waktu

7 November 2014   10:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:24 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah diri ini kalaulah bukan butir debu mungkin berkas awan serta seusap angin yang bertandang untuk segera berlalu, namun tidakkah sekujur letih dikejar bayangan ruang dan jejak waktu, yang tiba-tiba mendongak menjadi tonggak

Siapakah mereka kalaulah bukan kumpulan kisah mungkin lembar sejarah pada sekedipan kelopak mata yang menua, meski bukankah penghujan sebentar melepas basah menumpas kerontang dengan genangnya, menyelam pada kedalaman laut tak berombak

Dulu di datar pulau ini hanya ada tumbuhan yang melengkung memayungi tiap penghuni dari cuaca, daunnya lebar lebat buahnya ranum, batangnya kokoh untuk anak berayun, sedangkan para dewasa dan tetua menatah batu-batu penanda waktu

Di bukit dan jajaran gunung sesekali burung rajawali singgah dari kelana jauh, lalu berkabar pada sekalian satwa dengan bahasa sederhana penuh canda, sebelum kemudian rajawali memilih anak domba untuk diajak terbang jadi santapnya

Di balik tanah merah sekumpulan semut berbaris menuju utara, angin memberi arah arena berpesta, mereka bersapa dengan lintah, dengan cacing juga rayap dan penghuni tanah lain, tiap sesuatu berbaris pula menjemput rasa ingin tahu

Lautan manusia mengambang di padang pasir, setelah sebelumnya berenang pagi dan petang di lautan garam, menerobos hutan bambu berduri, menyusuri gua-gua lama menuju pusat bumi tempat para penambang tertimbun mimpi

Penanda siang dan malam bukan lagi matahari yang berjuta tahun telah kehilangan apinya, dan tinggal gulita dengan kepekatan rasa, semua menunggu mati dengan caranya sendiri, semua menunggu tak jemu seraya berharap waktu bergeser surut, dan jarum tiap arloji kembali berdetak nyaring seiring debur jantung yang tak pernah libur. Aku, kamu, dan mereka. Ayo pulang, sebelum sejarah mengulang kisah!

Cibaduyut, 29 Okt – 6 Nov 2014

-------------

Sumber gambar buzzintown.com

--------------

Puisi sebelumnya :

http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/26/biarkan-pagi-menulis-puisi--698303.html

http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/19/melontar-tanya-tak-terjawab-696605.html

http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/13/merindu-rumah-tua-695093.html

http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/09/22/aku-ingin-berbagi-padamu-689694.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun