LANGIT senja segera berubah kelam tatkala huru-hara terjadi.
“Kebakaran, kebakaran! Gerombolan menyerang!’ teriak orang-orang dari kejauhan. Suara kentongan dititir bersahutan. Warna merah menerangi kawasan sebelah utara yang padat penduduk. Maghrib pecah oleh kekacauan.
Prajurit Kasnomasih nanar memandangi bukit berhutan lebat di punggung sebelah timur Gunung Marbabu. Ke sana gerombolan yang terdiri dari belasan orang tua muda melarikan diri. Fajar belum lagi merekah, dingin udara membekukan kulit.
Sejenak tadi ia sempat terhanyut kantuk manakala bunyi tembakan satu-dua memecah gelap. Sorak-sorai gerombolan disertai sumpah-serapah terdengar saat membakar beberapa rumah, mushola, kandang ternak, dan lumbung padi. Mereka juga mengangkut aneka bahan makanan, dan beberapa ekor kambing, bebek, dan ayam. Kalau punya waktu lebih banyak mungkin sapi juga dibawa. Dan secepat itu mereka menghilang!
Dengan memanggul senapan laras panjang yang tadi dipeluknya, Prajurit Kasno berlari ke arah suara tembakan. Ia sempat membangunkan tiga prajurit lain di asrama.
“Bangun, bangun cepat! Gerompolan datang!” teriaknya sambil menggedor beberapa pintu.
Kasno tunggu, jangan bergerak sendiri, jangan sampai masuk dalam perangkap mereka. . . .!” teriak Prajurit Marjuki yang geragapan bangun.
“Ayo cepat, kalau tidak makin banyak rumah terbakar. . . .!” jawab Prajurit Kasno sambil berlari.
Beberapa prajurit lain terbangun. Dan dengan pakaian seadanya mereka bersiap menghadang gerombolan.
GEROMBOLAN bersenjata itu terbentuk dengan dalih untuk menunjukkan ekspresi ketidakpuasaan terhadap pemerintahan Republik Indonesia Serikat/RIS, terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar/KMD. Mereka disebut gerombolan Merapi Merbabu Compleks, atau MMC.