Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Setengah Abad Silam

6 November 2014   06:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak menggeleng, dengan seulas senyum yang makin sulit dipahami. Sifat bapak memang tertutup pada kami. Sebagai jembatan komunikasi biasanya ibu. Tapi ibu mendahului meninggal lima tahun silam.

Konon ibu dan bapak menikah karena dijodohkan. Sebenarnya bapak merasa berat mengabaikan janjinya untuk menikahi Surtini. Namun untuk menyenangkan orang tua, ia belajar mencintai. Sampai kemudian lahir tujuh anak, dan dua belas cucu.  Hanya aku, si bungsu, yang belum berkeluarga, meski umur sudah hampir empat puluh tahun.

Danti, masuk ke kamar bapak membawa air teh manis hangat, semangkok bubur, dan sayur lodeh kesukaan bapak.

“Makan siang siap, Pak Kasno!” ujar Danti berseloroh. Ia jongkok sejenak di sisi tempat tidur untuk memijit-mijit kaki bapak.

“Ya, Cah Ayu! Kalau kamu yang memasak pasti kuhabiskan. Tapi biarlah kami menyelesaikan obrolan kami dulu. . . . .!” sahut bapak.

Mengetahui ada sesuatu yang mungkin hanya urusan keluarga, Danti minta izin keluar kamar. Kami tidak berkeberatan sebenarnya ia ikut mendengarkan, tapi demi etika memang sebaiknya ia tidak mendengarkan urusan keluarga kami.

Sebenarnya dalam keseharian bapak hanya ditemani Danti. Gadis hitam manis itu bahkan sudah kami anggap sebagai saudara sendiri. Karena kami bertujuh sudah pergi meninggalkan rumah dengan keluarga masing-masing, dan  aku sendiri meneruskan kuliah di kota lain. Karena itu bapak sering menyebut Danti sebagai anak ke delapan. Karena ia mengaku yatim piatu, dan dibesarkan oleh neneknya. Ketika neneknya meninggal Danti pergi mengembara sebagai pengamen, sampai bapak menemukan dan mengajaknya ke rumah. Danti disekelolahkan sejak SD hingga kini mau lulus SMK. Kejujuan dan kesetiaannya pada pekerjaan kentara sekali diajari oleh bapak.

“Bagaimana, Pak, apa kami harus melacaknya?” desak mbak Nastiti sekali lagi.

Ragu-ragu bapak berkata. “Sebetulnya itu hanya perasaanku saja. Tapi bertambahnya umur selalu menuju pada ingatan panjang perihal apa saja yang sudah dilalui. Sebagai prajurit, bapakmu ini rela miskin, rela tersisih dari jabatan, rela dibuang jauh untuk mempertahankan prinsip kejujuran dan keberanian bicara benar.  Namun prinsip itu menjadi sia-sia manakala bapak mengingat satu janji yang terabaikan. Terlalu berat kalau bapak meminta diantara kalian untuk memenuhi janji itu, tapi . . . . . . .!” bapak terisak sesunggukan seperti anak-anak, diiringi batuk pajang sesekali. Wajahnya sejenak memerah, kemudian kembali tenang, dan terdiam lama. Mungkin ia kehabisan kata-kata.

Dengan tangan gemetar dan gerakan sangat lambat bapak mencari-cari sesuatu di bawah bantalnya.  Sebuah amplop coklat tua. Lalu diambilnya sebuah foto hitam putih kusam dari dalamnya.  “Foto ini Surtini waktu masih gadis. Ia mengirm foto ini setelah bapak bertugas ke luar Jawa. Untuk pengobat rindu katanya. Tapi bapakmu ini tidak pernah kembali untuk menemuinya, sebab bapak dijodohkan dengan ibumu!!”

Mbak Nastiti memandangiku setengah mengernyit ketika menerima foto itu. Tanpa mengatakan sesuatu. Aku merasakan tatapan demikian seperti sebuah isyarat bahwa akulah yang harus menerima beban permintaan bapak.

SUARA mobil berhenti di depan rumah, kukira ada keluarga kakak yang lain yang baru datang. Aku pamit pada mbak Nastiti dan Bapak untuk menjemput mereka. Di balik pintu hampir saja aku menubruk Danti.

“Danti, kenapa kamu di belakang pintu? Hampir saja kutabrak. . .!” ucapku pada Danti yang tampak sangat terkejut.

Kulihat Danti gelagapan untuk menjawab. “Maaf, aku menguping pembicaraan bapak tadi.. . . .!”

Aku ingin ngobrol banyak dengan Danti sebenarnya, namun karena seorang kakak sudah di depan pagar. Aku melompat ke luar rumah membukakan pagar. Kiranya Mas Gustadi yang datang dengan isteri dan dua anaknya.

PETANG dan malam hari itu datang lagi dua kakak dan keluarganya. Maka lengkaplah kami tujuh bersaudara, enam kakak ipar, dan dua belas keponakan. Betapa bahagia raut wajah bapak, meski pada saat yang sama terlihat letih. Umur bapak tujuh puluh empat tahun.

Malam itu sampai larut kami bergantian di sekitar tempat tidur bapak. Menunggui sambil memberikan apa saja yang dimintanya, memijitinya, juga membacakan ayat-ayat suci saat bapak tertidur. Bila sudah bangun kami ngobrol apa saja yang ringan-ringan yang menyenangkan hatinya.

Lalu bapak menanyakan tentang foto yang tadi siang diserahkannya kepada mbak Nastiti. Agaknya kakak nomor dua itu pelupa sekali kemana meletakkannya tadi. Aku ikut mencari-cari mengikuti Mbak Nastiti. Foto itu kutemukan di tangan Danti di kamarnya.

“Ini, fotonya. Mas! Rasanya ia mirip sekali dengan nenekku. . . . .!” ucap Danti sekilas, dengan air mata berlinang. “Mungkin nama Surtini itu nama kecil nenekku. Payudaranya hanya sebelah karena tertembak peluru waktu muda. Ia selalu bercerita terpaksa menikah dengan orang lain karena perjaka yang ditunggunya ingkar janji. . . . .!”

Mbak Nastiti dan aku terbelalak. “Jadi kamu?”

Bersamaan dengan kekagetan kami, di kamar bapak terdengar kakak-kakakku menjerit. Mereka melafal Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un diiringi tangisan. Aku dan mbak Nastiti bergegas ke kamar, dan mendapati bapak meninggal dengan wajah tenang dan kening berkeringat.

DI DEPAN jenazah bapak ketika akan diberangkatkan ke pemakaman siangnya, kakak tertua Mas Garjito tanpa kusangka-sangka memanggil aku dan Danti.

Dengan suara lembut dan jelas tekanan katanya, Mas Garjito mengatakan : “Kuundang maju kalian berdua, Danti dan Pambudi, untuk kutanya dan disaksikan kakak-kakak yang lain serta jenazah bapak. Meski aku tahu kalian sudah punya kekasih masing-masing, dan belum tentu saling cocok, tapi ada wasiat yang harus kusampaikan. Maukah kalian memenuhi permintaan terakhir bapak?”

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, demikian pula Danti. Hanya air mata kami yang menetes. Deras. Aku berpikir keras mencari pembenaran untuk tidak menolak. Agaknya dilema janji bapak lebih setengah abad silam itu entah bagaimana ditimpakannya padaku! Namun apalagi yang bisa dibaktikan seorang anak kepada orangtua selain memenuhi permintaannya, betapapun berat dan sulit. . . . .!

Bandung, 20 Maret – 5 November 2014

-----------

Cerpen sebelumnya:

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/11/01/menagih-janji-kampanye-pak-gubernur-700097.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/14/menjadi-orang-bebas-695630.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/11/empat-cerita-penjemput-maut-694716.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/09/29/awal-sebuah-perselingkuhan-691644.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/10/05/orang-orang-gila-menjajah-kota-693227.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/09/13/pagi-alangkah-renyah-cerpen-5-687613.htm

---------

Sumber gambar   -  blogproart.ru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun