Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mak Limah Pergi untuk Bertamu

24 November 2014   23:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BELASAN tahun berlalu cepat, selama itu pula ia sendiri saja. Tersisih, terbuang, menyingkir dari keramaian bermasyarakat. Suami karena suatu sebab merantau, tapi mungkin sudah mati. Anak ada empat, juga pergi atau minggat. Mereka mendapatkan pekerjaan di luar kota jauh, di luar pulau. Atau mungkin di luar negeri. Tidak ada satu pun yang ingat pulang. Tidak ingat pada Mak Limah yang harus tersaruk-saruk menghidupi diri sendiri.

Kesendirian mengharuskannya menjadi tukang jahit keliling. Itu cerita pada masa silam. Pernah menjadi penjaja sate ayam dari rumah ke rumah. Bangkrut, lalu menjadi pembantu rumah tangga dan buruh cuci. Sampai tenaganya habis, dan tak mampu bekerja lagi. Belasan tahun, mungkin lebih, kegetiran hidup dilakoni. Mak Limah kemudian jadi gelandangan! Ia hanya satu dari ribuan, mungkin juga jutaan orang dangan nasib serupa. Itulah kenapa meski hidup sulit ia merasa baik-baik saja!

-Untung masih ada satu-dua tetangga yang baik hati. Mereka membawa nasi keras dan sayur tahu-tempe. Ada juga yang membawakan pepes ikan. Kalau saja aku masih kuat, akan kubalas kebaikan mereka dengan mencucikan pakaian, menyeterika, dan mengepel lantai rumah mereka. Tapi niat itu tidak mungkin terlaksana. Berjalan saja aku sulit. . . ..!- ucap Mak Limah serak. Tidak kepada siapa-siapa, karena di gubuk reyot itu memang tidak ada orang lain. Yang ada hanya seekor kucing belang tiga yang selalu bermalas-malasan. Beberapa ekor cicak, seekor merpati, dan beberapa perabotan rongsok. Ya, dengan mereka itu Mak Limah rajin berbincang.

Tapi sudah barang tentu tidak ada jawaban. Tidak ada bantahan, apalagi tanggapan soal gosip. Kucing kurus itu hanya tertunduk. Sesekali mata bulatnya melirik dengan malas. Hewan lain bergeming. Perabotan membeku!

-Kemana saja kamu semalaman. Mak panggil-panggil nggak pulang, Aku takut ada orang mabuk menyakitimu. Kalau sudah makan kenyang mestinya cepat-cepat pulang. . ! Pulang? Ohya, di sini bukan rumahmu. Kamu hanya tamu, dan seperti layaknya tamu terhormat, kamu boleh tidur dimana saja di sini. Tapi soal makanan kamu bisa cari sendiri. Ngerti, ’kan?. Nah, sana pergi, cari makan yang kenyang. Hari ini sudah terlalu siang untuk tidur-tiduran!-

Mak Limah .menggebah papan alas tidur dengan keras. Dan seketika kucing kurus belang tiga itu melompat. Meninggalkan suara meong yang lirih dan ngelangut! Cicak terbirit-birit, merpati kabur. Kemudian Mak Limah menyapa perabotan plastik. Menyindir sendal karet rombeng. Kemudian coba-coba ngobrol dengan termos butut.

-Kalau saja aku masih kuat berjalan, lumayan juga berjualan kopi panas ya? Banyak orang yang suka duduk di halte bus. Banyak yang menunggu di apotek, di tempat parkir, di tempat penjualan koran! Ah, tapi berapa banyak air panas yang muat di perutmu itu? Paling sepuluh atau lima belas gelas kecil. Sesiang hanya dapat uang tiga puluh ribu. Untung bersih lima ribu. Tapi lumayan juga, ya? Bagaimana pendapatmu?-

Cuaca dingin, terasa semua jadi malas. Bahkan angin pun seperti malas bergerak. Hanya gerimis di luar makin nyaring mengetuk-ngetuk atap seng.

-Oh, jangan cuma diam saja. Bicaralah sesuatu. Atau kamu meragukan kemampuanku berjualan kopi panas? Sembarangan sekali! Jelek-jelek begini aku pernah laris berjualan sate ayam keliling. Hasilnya lumayan. Makin banyak saja orang yang membeli tapi tidak punya uang. Lalu utang, numpuk. Sampai modalku ludes.. . . .!-  ucap Mak Limah .diiringi dengan beberapa kali batuk. Seperti suara bentakan, yang dalam, dan membuat nyeri sekujur tubuh.

-Ah sudahlah. Aku tidak mau ngobrol lagi. Aku harus tidur dan mengenang pertemuan kita dua atau tiga bulan lalu!-

TERMOS butut itu ditemukan Mak Limah . di pinggir jalan dekat Stasiun Kota. Seseorang telah meninggalkannya. Atau mungkin lupa. Bisa jadi seseorang dari rumah sakit. Karena terlalu banyak bawaan yang harus diangkut pulang maka ditinggalkan di dekat tempat pembuangan sampah. Tapi bisa juga milik tukang kopi keliling. Petugas Penertiban datang tiba-tiba sehingga termos itu dilemparkan sembarangan. -Takdir mempertemukan kita!-desis Mak Limah dengan senyum manis.

Yang pasti wadah air panas itu sudah butut. Gelas di dalamnya tidak pecah. Mak Limah merasa beruntung menemukannya. Tapi sedih setiap kali ditanya bagaimana riwayatnya hingga tergolek di pinggir jalan, ia tidak pernah mau berterus terang. Alias bungkam. Hanya siulnya sesekali terdengar. Itu terjadi kalau ada air panas dituangkan ke dalamnya, dan penutup kurang rapat diputar.

Tapi sejak seminggu lalu tidak ada orang yang mau memberi air panas. Tukang baso yang lewat sering membawakan air panas. Atau warung nasi di depan sana memberi air teh. Mungkin kali ini lupa.

Pada dasarnya Mak Limah .juga tidak mau merepotkan orang lain. Ia cukup bahagia tidak diusir Haji Sukri karena membuat gubuk beratap seng nempel di tembol belakang rumah berhalaman luas milik seoang juragan besi tua. Keluarga kaya itu dua hari sekali mengirimi nasi dengan sayur dan lauk ala kadarnya.

Tiba-tiba Mak Limah .memandangi nanar gubuk reyotnya. Pengap dan berantakan. Beberapa pakaian rombeng tersampir sembarangan. Perkakas dapur rongsok di sana-sini. Ada pula beberapa barang lapuk. Satu persatu disapanya mereka. Diajak bercanda, dan dinasehati agar tidak serakah.

-Serakah itu menyebabkan orang buta. Lupa pada kesederhanaan dan kejujuran. Kalau hati kita sudah dipenuhi keserakahan, maka yang semula lunak jadi membatu. Keras dan tidak mempan nasehat. Sepanjang hidup aku selalu mendengar orang menasehati. Supaya bersabar dalam kesederhanaan, supaya memperjuangkan sikap jujur. Bukan hanya suamiku Karlan, anak-anakku pun juga menasehati agar aku hidup sederhana dan jujur..!-

Mak Limah mengambil nafas panjang dengan mata berkaca-kaca. Ia terbaring miring dengan tatapan menghadap pintu yang tanpa penutup. Wajahnya tirus, pucat, tapi sorot matanya menyala seperti hendak membakar apa saja yang datang mendekat.

-Ya, itu dulu, belasan tahun silam. Saat suami pulang gajian, dan ketika anak-anak mulai mendapatkan menghasilan sendiri. Anak-anakku Yayan, Euis, Tatang dan Usep, mungkin tidak tahan aku terlalu menuntut. Padahal mereka sudah berkeluarga dengan penghasilan kecil. Lalu dimulai Karlan, suami yang tidak bertanggungjawab itu, pergi. Diikuti yang lain. Lihatlah, kini aku hanya memiliki kalian! Tapi sungguh aku tidak menyesal!-

SIANG beranjak tinggi, beringsut-ingsut seperti hewan melata mencari-cari mangsa. Tadi panas terik, sekarang mendung menggelayuti punggung bukit. Angin berkesiur keras, tentu hujan tidak lama lagi bakal menderas.

Tiba-tiba seekor anak ayam melintas. Sepintas menoleh ke dalam gubuk. Lalu keciapnya yang lantang membangunkan Mak Limah. Perempuan renta usia enam puluh tahun itu tergagap. Oya, sebentar tadi ia terlelap. Padahal ceritanya belum selesai. Cerita soal suami dan empat anak yang lama minggat.

-Kemari, nak? Kamu mencari-cari ibumu? Kulihat kamu bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Singgahlah barang sejenak, Manisku. Sebentar lagi hujan lebat. Bajumu pasti akan kebasahan. Hujan awal musim sering membuat kepala pening tujuh keliling. Masuklah! Mungkin aku masih punya sedikit makanan lezat untukmu. Sebagai tamu, kamu akan kuperlakukan sama baik dengan tamu-tamuku yang terdahulu. Masuklah. . .!-

Seperti mengerti bahasa manusia, anak ayam itu singgah kedalam gubuk reyot. Langkahnya ragu-ragu. Sesekali menoleh kesana-kemari seperti mencari-cari sesuatu. Benar saja. Tak lama hujan turun dengan lebatnya. Ada petir, dan guruh menggelegar. Kilatnya  seperti meretakkan langit.

Mak Limah .merasakan  perubahan cuaca yang sangat cepat. Sekejap langit seperti terselubung tabir hitam. Gelap mengepakkan sayap serupa malam.

-Siapa namamu, nak?- bisik halus tuan rumah

Yang ditanya tidak menjawab.

Ketika tangan keriput coba menyentuh, hewan kecil itu berkelit menjauh. Tapi akhirnya diam oleh elusan perlahan nan lembut. Juga oleh bujukan yang sangat melenakan. Sejumput remah nasi kering disodorkan pada tamu kecil itu.

-Anggaplah di sini seperti di kandangmu sendiri. Makan sekenyangnya. Memang hanya itu yang kupunya. Kalau saja ada aneka biji-bijian dan susu kental manis, pasti kusuguhkan pula untukmu. Bukan mau sombong, sekarang ini tidak gampang cari tuan rumah yang pinter menyenangkan tamu. Rata-rata orang pelit,  padahal untuk diri sendiri boros. Oh, bukan, bukan orang lain. Itu perilakuku sendiri. Ada kadang dalam perasaanku untuk diri sendiri saja semuanya. Tidak perlu repot harus menjamu tamu. Iya, kan? Bagamana kalau tamu itu latah ketagihan ingin bertamu terus, karena kesenangan dijamu seperti pesta? Jadi bingung, 'kan?-

Hujan bertahan dengan derasnya. Air di luar mengggenang. Atap seng bocor di sana-sini. Airnya merembes kemana-mana, sampai pun pada pembaringan Mak Limah .

-Nah, ini ada sedikit remah lagi, makanlah. Aku berbaik padamu bukan berarti aku ada pamrih minta balasan.  Sungguh, aku tak akan pernah ganti bertamu ke rumahmu. Sekedar kamu tahu, aku sudah tidak kuat berjalan. Aku hanya bisa terbaring. Tapi bagus tirulah caraku menerima tamu!-

Anak ayam itu mengangguk-angguk mengerti. Oh, tidak. Dia sedang mematuk-matuk sisa remah di situ.

CURAHAN air hujan makin gila saja derasnya. Gubuk reyot itu menggantung di anak kali Citarum. Awal musim penghujan ini sudah beberapa kali air banjir mencium-cium lantai  gubuk reyot itu. Airnya hitam pekat dan berbau. Tidak mengherankan memang segala limbah tersapu air ke sungai. Tak jarang bangkai apa saja dihanyutkan. Aliran sungai kala banjir bagai mencari-cari mangsa apa saja untuk dilahap.

Dan itulah yang terjadi. Ketika air meninggi, sementara hujan tak juga reda, Mak Limah hanya bisa berlaku ramah. Seperti setiap kali. Diundangnya sang tamu untuk singgah. Tapi kali ini ia agak repot untuk menjamu. Dengan apa?

-Masuklah, masuklah. Di dalam sudah ada tamu kecil. Bahkan sudah kusuguhi makanan lezat, meski ala kadarnya. Tapi ngomong-ngomong aku harus menyuguhimu apa?-

Air pekat itu perlahan menggenang. Sesekali dengan gejolak. Lidah Air menjulur-julur, seperti hendak mencicipi makanan paling nikmat. Mak Limah .membuka kedua lengannya untuk memeluk. Ya, mereka itu juga tamu yang akan bertandang. Kenapa harus ditolak? -Masuklah, Nak!-

-Terimakasih, Mak!- ujar Lidah Air.

-Lho, kamu bisa bicara? Wah, baru sekali ini aku terima tamu yang pandai bersyukur. Biasanya pada diam. Anak ini dari mana, mau kemana? Kenapa dalam hujan lebat dan petir menyambar-nyambar begini  mau bertamu ke gubukku?!-

-Saya bukan mau bertamu, Mak.  Saya justru akan mengajak Mak Limah untuk berangkat ke rumahku. Di sana jauh lebih enak. Perabotan lengkap, luas, dan nyaman. Bagaimana, Mak?- tambah Busa Sabun dengan meyakinkan.

-Tapi lihatlah kakiku ini, aku sudah tidak kuat berjalan. Bahkan untuk sekedar merangkak pun sulit. Bagaimana kalian hendak membawaku?-

Lidah Air dan Busa Sabun terkekeh. Suaranya berdesir-desir parau. Merayu, tapi terdengar jadi menakutkan. Mak Limah cepat berpikir, jangan-jangan ia mau diculik? Ya, siapa tahu. Mungkin mereka itu pemuja siluman sehingga mencari perempuan gaek untuk tumbal. Siapa tahu?

-Jangan berpikir buruk, Mak. Percayalah kami ini ingin membahagiakan Mak Limah. Sudah banyak yang mau berangkat ke rumah  kami. Pernah satu kampung datang berombongan. Pernah pula beberapa orang yang tersesat. Rumah kami terbuka untuk siapa saja. Apalagi yang Mak beratkan. Ayolah kita berangkat. . . .!-

Mak Limah hendak mengatakan sesuatu ketika mendadak tangannya direnggut. Juga lengan, kaki, dan kemudian sekujur tubuh yang kurus dan sarat penyakit. Mak Limah tidak perlu berjalan sendiri. Tandu besar itu memboyongnya dengan sangat cepat. Tamu kecilnya sudah lebih dulu terenggut sang pengangkut.

Mak Limah hanya bisa melambai-lambaikan tangannya. Ia tidak sempat berpamitan pada tetangga dan teman-temannya. Memang pernah ia berbicara kepada Gusti yang selama ini dirasa sangat jauh. -Duh Gusti, aku telah menerima banyak tamu, meski dalam kondisiku yang sangat hina ini. Kuperlakukan mereka dengan sekemampuanku. Kini izinkan aku bertamu ke rumahMu!-

KEESOKAN paginya warga geger. Sebenarnya agak tidak peduli, tapi cemas juga. Semua yang selama ini tidak diperhatikan, dan bahkan ingin dienyahkan dari lingkungan, ternyata membawa rasa penasaran juga ketika raib. Mak Limah sudah tidak ada di dalam gubuk reyotnya. Bahkan gubuk itu rata tanah. Yang tersisa hanya lumpur di sepanjang bantaran, ada juga rumput dan perdu yang bertumbangan ke arah aliran air. Orang-orang berceloteh, sekedar menenangkan diri, atau untuk tidak memperbesar masalah, bahwa Mak Limah sudah dibawa suami dan keempat anaknya. Tapi ada pula yang berpendapat Mak Limah pergi untuk bertamu ke rumah kenalannya di daerah lain.

-Tapi Mak Limah tidak bisa berjalan!- kata seorang ibu muda dengan wajah was-was.

-Barangkali ada orang yang membawa tandu, kursi roda, atau alat lain. Yang pasti Mak Limah sudah ingin pergi!- jawab ibu lain dengan tidak yakin.

-Apa kita harus merelakannya begitu saja?- tanya yang lain.

-Apalagi? Dia bukan saudara kita, bukan siapa-siapa kita!- ucap Pak Joni, preman pasar yang nimbrung  berkomentar.

Celaka memang, atau untunglah. Entah kata mana yang lebih tepat untuk menceritakan peristiwa itu. Namun yang pasti, tidak ada orang di kampung padat penduduk itu yang merasa kehilangan. Mungkin satu-dua orang yang tidak punya tempat lagi untuk memberi nasi dan sayurnya. Atau orang lain yang biasa memberi air panas, teh, kue, dan roti. Mak Limah betul-betul raib dibawa arus kuat anak sungai Citarum!

Bandung, Mei 2009- November 2014

----------- Sumber gambar: behzadbagheri.sketches.blogspot.com

Simak cerpen sebelumnya:

Suara Tertawa dan Mudik yang Terakhir

pertengkaran-suami-isteri-diusir-dan-berakhir-di-bui

janji-setengah-abad-silam

menagih-janji-kampanye-pak-gubernur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun