Kalau saja waktu dapat diputar mundur. Kalau saja….! Pastilah itu mustahil, dan untuk apa? Biarlah waktu melaju seperti kodratnya. Dan itu berarti yang telah lalu biarlah berlalu, yang telah pergi biarlah damai di alamnya kini. Sedangkan kita yang masih menunggu antrian, mestilah terus mempersiapkan diri dengan cukup bekal. Sambil tak lupa menjalani keseharian dengan optimisme, menjaga kesehatan, berlaku ramah-jujur-amanah, dan sholeh/sholehah.
Ingat, Akherat
Suatu hari entah kenapa saya ingat kebaikan dan kedekatan saya pada seorang sahabat kala masih bekerja. Saya datangi makamnya, jongkok di sisi nisan dan mendokannya agar mendapatkan kelapangan di alam kuburnya. Sebotol air dari rumah dan telah saya bacakan doa malam sebelumnya, saya siramkan ke batu nisan itu.
Ingat mati, itulah nasehat Pak Ustad dalam sebuah pengajian, harus terus dipelihara, diantaranya dengan mengunjungi makam. Meski doa dari rumah pun sudah cukup, datang ke makam lebih afdal. Asalkan bukan untuk mengkultuskan, apalagi meminta-minta kepada si mati. Kebetulan makam bapak, ibu, dan adik ada di kota lain, sedangkan makam isteri ada di pulau lain.
Sebenarnya dalam perjalanan untuk satu kepentingan tak jarang saya melewati areal pemakaman umum. Melihat sepintas jajaran nisan, keteduhan pohon-pohon kamboja, dan suasana mistis terlebih pada malam hari, menjadikan hati ini tergugah untuk selalu melakukan instrospeksi diri. Siapakah diri ini, mengapa dan bagaimana sampai kini, apa saja yang sudah diraih untuk dunia dan terlebih akherat….
Kehidupan, Pilihan
Selalu ada waktu yang tepat untuk berangkat, selalu ada tempat yang luang untuk kembali. Begitulah kehidupan. Sebuah proses dari awal perjalanan, melalui waktu demi waktu, langkah demi langkah, dari subuh hingga mahgrib, dan seperti tiba-tiba sebuah siang selesai. Kehidupan malam sudah menunggu, kehidupan lain yang tidak sepenuhnya kita pahami.
Mungkin itulah hakekat keberadaan, dari dimensi ada dan tiada. Orang-orang itu yang kemarin, minggu dan bulan lalu, atau tahun lalu masih ada; kini sudah tiada. Mereka pergi mendahului pada waktu dan tempat yang sudah dipilihnya. Ada dua rasa yang muncul sesudahnya, mereka meninggalkan kita atau kitalah yang merelakan satu per satu mereka pergi. Keduanya menimbulkan rasa sedih, duka, sepi, dan mungkin luka.
Ada sejawat yang riang dan pekerja ulet, ada karib yang bijak penuh perhatian, ada pula teman yang sinis dan skeptis dalam mempertahankan kebenarannya sendiri. Penyakit mendera tak dirasa, hingga semua terlambat untuk diperbaiki. Mereka berangkat lebih cepat.
Lalu ada adik yang gila kerja hingga tubuhnya digerogoti virus mematikan. Isteri yang terkena dampak obat hingga gagal ginjal. Bapak yang terobsesi kepulan asap rokok sejak muda hingga paru berlubang. Ibu yang didera darah tinggi. Mertua yang terkecoh sihir buah durian yang menyengat bau dan rasanya. Tahun demi tahun ada saja yang pamit untuk ‘pulang’.
Diluar sana ada yang mengendarai maut berupa motor kreditan, baru seminggu. Ada kriminal, tubuh korban diseret dengan sepeda motor yang melaju. Lalu aksi premanisme, sebutir peluru yang menyudah perlawanan pemilik harta. Ada juga pedang gerombolan bermotor yang menghunjam ke tubuh korban yang tak dikenal dan tak tahu oleh persoalan apa. Seperti di-rudapaksa mereka untuk segera pergi.
Mereka berangkat-pulang-pergi (atau istilah apapun yang berarti kematian) oleh sebab yang beraneka. Di garis tangan kita semua sudah tersurat. Kita tak lelah belajar untuk membacanya, garis nasib suratan takdir, sambil sekuat tenaga terus memilih jalan pilihan.
Pelajaran, Balasan
Belajar memang tidak pernah ada habisnya. Justru pelajaran terbanyak bukan di bangku sekolah atau kuliah. Pelajaran hidup terbesar terletak pada perjalanan dan pengalaman mempertahankan hidup itu sendiri. Dan tiap orang mendapatkan pelajaran yang berbeda. Itulah alasan utama pentingnya berbagi, bahkan untuk sebuah kegagalan sekalipun.
Seorang teman yang dulu suka menunda-nunda sholatnya, kemudian ingin berubah, ternyata selalu gagal. Pada saat ia sudah berniat untuk sholat berjamaah, pekerjaan penting mendesak harus segera dilakukannya. Seorang rekan kerja yang merasa diri jauh dari Allah, dan ingin seperti karyawan lain yang rajin ke masjid, menjadi bahan olok-olok. Sebab selama ini ia memang gemar memperolok orang lain yang menghentikan pekerjaan karena adzan sholat berjamaah sudah didengarnya.
Selain yang gagal, tidak sedikit yang berhasil. Meski kadar keberhasilannya itu hanya Allah yang tahu.
Seorang sahabat yang sejak muda rajin menenggak minuman keras dengan gaya hidup hedonis-nya, pada lima bulan terakhir -sebelum ajal menjemput- bertobat betul-betul dan menghilangkan semua kebiasaan buruk lalu. Dengan menekan rasa malu dan sabar menerima cibiran, seorang ibu setengah baya belajar baca-tulis huruf Al Qur’an kepada siapa saja yang mau mengajari. Beberapa bulan kemudian, selain mampu membaca huruf Arab dengan baik, aktivitas ibadahnya pun menjadi lebih rajin dan khusuk.
Pengalaman berarti pula pelajaran, dan jika ditularkan untuk memperoleh kebaikan maka pahala pula insya Allah balasannya.
Penutup
Begitu saja renungan sederhana saya mengenai ingatan akan seorang kawan baik yang telah pergi mendahului. Ingatan yang membawa pada keinginan mengunjungi makamnya, terus mengingat beberapa kawan dan keluarga, lalu ingat juga tentang pelajaran langsung maupun tidak langsung dari mereka yang pergi mendahului.
Terakhir, tulisan ini diniatkan sebagai sebuah ajakan halus: mari kita terus bersiap untuk menyongsong ‘keberangkatan’, entah kapan nanti. Juga mempersiapkan diri agar kenangan dan pembelajaran baik semata yang kita tinggalkan. Tentu bukan hal yang sulit kalau kita mau mencermati banyak pelajaran hidup dan menangkap kebaikannya dengan tuntunan agama. Insya Allah.
Bandung, Malam Jum’at Kliwon, 11 Desember 2014
Sumber gambar:
http://behzadbagheri-sketches.blogspot.com/
Tulisan sebelumnya:
(Jangan) Menulis Opini dengan Prinsip Ekonomi
Pesta Miras Oplosan Kembali Memakan Korban Besar-besaran
Menulis Fiksi Itu Absurd, Cakap Jujur Seorang Cerpenis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H