(RTC)Di Makam Ayah
Puisi Sugiyanta Pancasari
sebilah belati berkarat terselip dalam ingatanku dan sepatu lars, dengan penuh dendam menginjak-injak masa laluku yang pahit dan buram
sementara tangis ibu melengking beradu kumandang suara azan yang lantang disuatu subuh yang sunyi dan lengang
air matanya tertumpah di mangkuk tanah yang gempil di bibirnya tersenggol tingkahku yang kelewat bengal di waktu kecil
"Ayahmu pejuang, Nak," jawab ibuku dengan mata berlinang, setiap aku bertanya sehabis teman sekolahku mengolok dan mengejek ayahku pengkhianat dan pecundang
tak ada yang tercatat dalam ingatanku yang suwung kecuali aku kecil yang menangis meraung-raung mengejar ayah yang berangkat tergesa untuk bertugas menjadi komandan upacara di halaman Kalurahan saat peringatan tujuh-belasan tiba
juga aku dan ibu, yang tiada henti meratap, bersandar di dinding bambu yang bolong-bolong dimakan rayap
mata ibu terlihat nanar menatap api di atas tungku mulai berkobar, sedangkan periuk di atasnya hanya berisi sejumput beras dan mimpi keciku yang hangus terbakar
aku sedikit terhibur setiap ibu mengajakku berziarah ke makam ayah dan bendera merah putih dari kayu yang mulai lapuk, masih tertancap tegak di atas pusara,
dan kubayangkan ayah begitu gagah berani, berseragam hijau tua mengangkat bedil bertempur tak takut mati
di pinggangnya yang kokoh terselip sebilah belati
di makam ayah yang sunyi itu aku dan ibu menjadi saksi hidup atas siksa takdir yang getir
Jogja, 10 November 2021
Karya puisi ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan Tahun 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H