Juga bisa saja media sosial sebagai jembatan perantara menebar permusuhan dengan ujaran kebencian yang berakibat fatal yakni retaknya hubungan sosial, toh orang-orang tak melihat kita. Bisa jadi apa yang kita "pamer"kan di media sosial adalah bohong adanya. Siapa coba yang akan mempedulikannya.
Tidak mengherankan jika munculnya banyak tempat-tempat nongkrong dengan faslitas internet menjadi bukti bahwa semakin kokohnya ketidakpedulian kita, sebab pertemuan hanyalah sebatas untuk "menenggelamkan" diri masing-masing dalam dunia "asing" diri mereka sendiri tanpa saling bertegur sapa. Dari sinilah pertanyaannya semakin jelas, media sosial itu sarana bersosialisasi atau "anti sosial?"
Dan, saya harus pandai-pandai membujuk istri saya yang terus tersedu sehabis bukber Virtual dengan anak kami di perantauan dengan hanya memperlihatkan menu sepiring nasi putih dengan lauk telur ceplok mata sapi, secangkir kopi dan sebungkus rokok filter.
"Kasihan, ya.....Pa, sudah jauh di perantauan, sendiri, makan seadanya lagi," rajuknya manja dan sedih.
"Tak perlu sedih,....Ma, itulah Generasi Now, memang itulah seleranya, "minimalis". Kalau mau menu yang lain yang lebih "wow", gampang kok, tinggal pencet tombol, menu apapun akan segera datang dalam beberapa menit kemudian" jawab saya menenangkan.
Akhirnya "bukber Virtual" dengan anak kami di perantauan itu berakhir lega dengan penuh sayang.
Jogja, 25 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H