Bukber Virtual adalah keniscayaan. Di saat pola relasi antar individu dalam masyarakat mengalami kebuntuan-kebuntuan --yang lebih parah adalah akibat badai pandemi dengan segala aturan dan pembatasan-- maka peran dan dominasi media sosial sangatlah urgen dan vital, sebagai respon terhadap perubahan perilaku yang cepat bergeser, dari konvensional ke digital.
Namun apakah kemajuan teknologi serta-merta bisa mengganti kebutuhan hakiki kita umat manusia, sedangkan makhluk sosial adalah fitrah, tak terbantah dan fundamental, dengan bermasyarakat dan bersosialisasi sebagai ekspresi komunalnya.
Tidak mudah untuk mencari jawaban dari pertanyaan di atas.
Terbukti, sebagai ilustrasi kecil, saya sering melihat istri saya menitikkan air mata begitu layar ponsel pintar yang ada dalam genggam tangannya mulai tertutup gelap dan wajah imut anak sulung kami yang berada jauh di seberang perantauan perlahan menghilang.
Justru kerinduannya bertambah semakin dalam di saat komunikasi virtual melalui video call baru saja selesai, seolah perjumpaan jarak jauh itu menjadi pupuk bagi kerinduannya yang terus tumbuh subur dalam hatinya.
Atau di tempat lain, di kaki bukit yang sepi, seorang petani tua, membiarkan ponsel pintar hadiah dari anaknya yang berada jauh di rantau, terus menyala menemani kesibukannya menggarap ladang, sebagai satu cara melepas kerinduannya, dan dibiarkannya sampai baterainya habis dan tentu saja mati dengan sendirinya.
Demikianlah realitanya, dan apapun yang terjadi di tengah masyarakat, kemajuan tekonolgi komunikasi akan terus melesat cepat dan kita dihadapkan pada pilihan-pilihan: cepat tangkap dan rebut peluang, atau abaikan dan kita akan tertinggal.
Bisa atau tidak komunikasi virtual menjadi menjadi pemuas dahaga: kerinduan dan perjumpaan, peran media sosial adalah kepentingan-kepentingan bisnis dan ekonomi, bukan semata kebutuhan psikologis dan sosial belaka. Bukankah di zaman yang serba tergesa, kita masih berpikir untuk saling bertegur sapa dan bertatap muka.
Jika bisa ditempuh dengan komunikasi virtual, mengapa harus bersusah-susah mengagendakan pertemuan?
Tetapi siapa yang mau bertanggung jawab, di saat moment-moment penting, kita hanya mampu menatap wajah orang-orang terdekat yang sangat kita cintai dan sayangi, hanya di layar monitor laptop atau gawai sedangkan di sekitar, kita begitu hampa, menatap kosong, dicincang kesepian dan kesendirian.
Media sosial adalah ekspresi "kepedulian" kita, juga "empati" dan "kebencian" kita, kepada sahabat, teman, kerabat bahkan saudara kita. Perasaan sayang, suka bisa secepat kilat kita sampaikan, tanpa bisa orang lain melihat air muka kita. Tak terkecuali perasaan simpati dan empati dengan secepat jempol memencet tombol maka orang terkasih yang kita tuju, yang barangkali berada dalam jarak ribuan kilometer jauhnya sudah bisa merespon kita.
Saat seorang sahabat tengah dilanda perasaan berduka cita, menyampaikan perasaan bela sungkawa pun dalam sedetik dua detik sudah terbaca.
Tetapi apakah kita benar-benar menyampaikan dengan sepenuh jiwa dan dengan sejujur-jujurnya sebagai ungkapan kepedulian dan empati kita? Sedangkan saat atau sehabis jempol kita memencet tombol, kita sudah beralih mengerjakan aktivitas lain, dan begitu mudahnya untuk melupakan karena harus segera berganti agenda selanjutnya.