Puisi Sugiyanta Pancasari
seorang lelaki memeras keringat
dengan membakar diri di terik matahari
otot-ototnya menyembul, mengekalkan simbol
kepahlawanan yang tak pernah tumpul
meniti terjal tak besimpul
seorang perempuan memeras keringat
dengan membakar diri di depan tungku api
cinta dan pengabdiannya tak pernah mati
bertahun-tahun telah diterjemahkan hidup
ke dalam sekujur tubuhnya yang penuh keriput
saat datang malam, seluruh keringatnya mengristal
menjelmakan sunyi, bagi kerinduannya yang tak bertepi
rembulan mengantarkannya menziarahi mereka mimpi-mimpi
di mana kan kau jemput kenangan
yang telanjur berserak
ditikam kecamuk hiruk-pikuk
sepasang kekasih mengasah rindu yang tak terpahat
telah dipererat tali seikat meski tetap saja sekarat
peradaban telanjur memuntahkan laknat
di sudut-sudut kota penuh dendam kesumat
sepasang kekasih bermimpi memeluk pelangi
meski hanya berbekal jati diri yang robek di sana-sini
langit bagai terkunci, terpasung bara api
tragedi yang datang bertubi tak jadikan ciut nyali
muara segala dilema hanyalah cinta sebening embun pagi
(catatan perjalanan untuk diri, bersama tautan hati)
Jogja, 15 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H