Puncak bukit Jambul tidak mengerucut seperti pebukitan di sekitarnya, melainkan tampak seperti kepala raksasa dengan potongan rambut menyerupai jambul. Pohon beringin di puncak bukit itulah yang menjadi jambulnya. Dari puncaknya kita dapat memandang dengan leluasa ke delapan penjuru angin dan semua yang terlihat tampak indah, memesona. Ada laut yang membiru luas di sebelah utara, pedesaan dan pesawahan di sebelah timur. Hutan dan pebukitan di sebelah selatan, perkotaan dan kawasan industri di sebelah barat. Jika seorang anak melemparkan batu sebesar telur ayam lurus ke utara, maka batu itu akan jatuh di atap rumah Mbah Brontok.
Sekarang jambul di atas Bukit Jambul sudah tidak ada. Meskipun nama bukit itu tidak berubah, keadaannya saat ini sungguh berbeda. Pohon beringin di atasnya sudah ditebang. Katanya atas perintah kepala desa, kepala desa disuruh Pak Camat, Pak Camat diperintah Pak Bupati. Dan begitu seterusnya. Di bekas pohon beringin dibangun sebuah dangau tak berdinding yang kuat. Angin bertiup semilir dan siapapun yang duduk di sana pasti akan mengantuk. Lupa urusan dunia yang menyesakkan.
Mbah Brontok sudah meninggal. Anak-anaknya yang berjumlah enam menjual lahan peninggalan ayahnya dan hidup di kota sebagai kaum marjinal.
Bukit Jambul kini menjadi objek wisata. Dari lerengnya, tepatnya sisi bekas rumah Mbah Brontok, dibuat jalan berundak berliku-liku hingga ke puncak. Di sisi kanan-kirinya ditanami bebungaan. Tepat di lahan bekas rumah Mbah Brontok berdiri gapura objek wisata yang artistik. Setiap orang yang masuk ke lokasi wisata dipungut lima ribu rupiah. Meskipun tidak semua pengunjung mendapatkan karcis, toh harus bayar juga. Setiap hari Minggu dan hari libur banyak pasangan muda-mudi yang bergandengan tangan atau berangkulan mendaki ke Bukit Jambul. Lalu duduk di sana berjam-jam lupa waktu.
Begitulah kata Bonari dalam suratnya yang terakhir. Tulis Bonari selanjutnya. Keberadaan Bukit Jambul sebagai objek wisata membuat desa Widorokandang terkenal. Melampaui desa-desa tetangganya. Pendapatan bulanan yang dilaporkan dari uang tiket dan parkir mencapai ratusan juta rupiah. Belum lagi pendapatan yang tidak dilaporkan. Menurut sebuah sumber yang tidak mau disebutkan namanya, terjadi kongkalikong antara kepala desa, pejabat dinas pariwisata, dan petugas di lapangan. Tapi siapa peduli? Tidak ada bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menuduh persekongkolan itu, bahkan untuk mencurigai saja tidak.
Karena banyaknya muda-mudi yang duduk-duduk di puncak Bukit Jambul hingga lewat petang dan bahkan malam, mereka takut pulang dan mencari penginapan di rumah warga. Satu dua warga mulai menyewakan kamar-kamarnya untuk menginap muda-mudi tersebut. Karena hasilnya lumayan, ditiru oleh warga lainnya. Dan setelah itu, hampir setiap rumah di Widorokandang menyediakan kamar untuk disewa.
Banyaknya orang yang menginap di sekitar Bukit Jambul menciptakan peluang lain. Mulanya kedai makan, lalu diskotik, warnet, wartel, counter hape, dan terus berkembang hingga ada karaoke, panti pijat, dan losmen. Bahkan disebabkan persaingan usaha yang tajam dan kurang sehat, beberapa diantaranya secara sembunyi-sembunyi mulai menampilkan pertunjukan tarian erotis, dengan mendatangkan penari-penari hot dari kota.
Kehidupan desa Widorokandang berpacu tak terkendali. Menurut Bonari pula, ada sebuah diskotik yang ditengarai menjadi tempat transaksi narkoba dan, maaf, menjual kondom dan alat kontrasepsi lainnya. Konsumennya kebanyakan kaum muda. Cara hidup anak-anak muda Widorokandang sudah berubah dari gaya hidup petani yang sederhana menjadi gaya hidup perkotaan yang trendy, gaul, dan bebas.
Itulah Jo sedikit uneg-uneg yang dapat aku tulis untuk mengabarkan keadaan desa kita akhir-akhir ini. Meskipun ada fasilitas internet, aku lebih suka menulis surat. Karena apa? Surat lebih etis dan sedikit eksotis. Dan prangko-prangkonya itu yang membuat aku kesengsem.
Kata Bonari selanjutnya. Jika kamu pulang ke tanah air kelak, kamu akan panglingmelihat kehidupan masyarakat Widorokandang saat ini. Desa kita dan segala isinya sudah hilang, Jo. Sawah yang kecoklatan saat diolah, kehijauan di musim tanam, dan kekuningan menjelang panen, tidak ada lagi. Berganti dengan bangunan-bangunan modern milik orang-orang kota. Kamu tahu penyebabnya? Menurutku yakarena Bukit Jambul, tempat kita bermain dulu, menjadi objek wisata. Maksud pemerintah sebenarnya baik, untuk menambah pemasukan asli daerah. Tapi pengunjung menyalahgunakan objek wisata. Mereka memanfaatkan tempat itu sebagai ajang perbuatan maksiat. Begitulah, Jo.
Di saat lain, sebelum ini, Bonari juga mengabarkan teman-teman masa kecilnya. Jo, karena kamu terlalu lama di negeri orang, kamu pasti tidak tahu keadaan teman-teman kecil kita dahulu, bukan? Nah, aku kabarkan kepadamu. Kamu pasti masih ingat Nurlela, anak Pak Kadus, yang dulu kamu kejar-kejar. Sekarang menjadi guru SD di Widorokandang. Sudah menikah. Suaminya juga seorang guru, mengajar di desa sebelah. Anaknya satu, baru dua setengah tahun. Lalu Tumijan, masih ingat? Anak Mbok Rukinah. Sekarang menjadi sekretaris desa. Istrinya, Jamilatun, sepupuku. (Dan Bonari menceritakan anak-anak sepermainan kami satu per satu, rinci sekali). Bonari sendiri tidak menjadi apa-apa. Maksudnya pejabat apa, bekerja di mana. Dia memilih menjadi peternak lebah dan menjual madu. Penghasilannya cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya bersama isteri dan dua anaknya. Dari dulu Bonari sangat peduli lingkungan desanya. Ketika pemerintah akan membangun objek wisata di Bukit Jambul, Bonarilah yang paling keras menentang. Bonari melihat bahwa efek negatif dari keberadaan objek wisata di desanya akan tidak sebanding dengan sisi positifnya. Kini terbukti sudah. Memang dari sisi finansial akan meningkatkan pendapatan warga Widorokandang, namun kerugian immaterial akibat perkembangan yang tidak terkendali sangat besar. Termasuk rusaknya tatanan norma kehidupan masyarakat desa. Itulah alasan penentangan Bonari. Tapi suara Bonari bagaikan suara keluhan di tengah teriakan warga desa. Bonari pun kalah.