Dengan basa-basi ala pedesaan yang kental, kepala desa Subali Sastromenggolo membuka rapat diteruskan sambutan-sambutan sekedarnya. Sekretaris desa Darmikun Artomoro mencatat dengan seksama. Lalu diteruskan dengan inti rapat. Katanya, “Saudara-saudara sekalian. Rapat inti pada hari ini adalah membahas usul Pak Cargowo Hadisiswoyo agar dibangun sebuah jembatan di atas Kali Winongo yang akan menghubungkan desa kita dengan wilayah seberang sungai. Memang saya harus mengakui bahwa saya sebagai penduduk asli Desa Winongo tidak tahu kenapa dari dulu nenek-moyang kita belum pernah membangun sebuah jembatan pun di atas Kali Winongo.”
Mbah Mangun Mertoyudo mengacungkan jari. Katanya, “Saya sebagai salah satu dari orang-orang tua Desa Winongo akan memberikan sedikit cerita tentang Kali Winongo supaya kalian yang muda-muda tahu kenapa orang-orang tua kita dahulu tidak pernah membangun jembatan di atas Kali Winongo. Dahulu kala, di kampung kita hidup seseorang yang sangat budiman. Namanya Ki Kartum Mangunkaryo. Dia mencari makanan dan harta benda dari luar desa dan membagi-bagikannya kepada para tetangga di desanya. Lama-kelamaan diketahui bahwa makanan dan harta benda lainnya itu diperoleh Ki Kartum Mangunkaryo dengan cara mencuri dari penduduk kaya di lain desa. Setiap dipergoki mencuri Ki Kartum Mangunkaryo selalu dikejar-kejar penduduk tetapi sekali pun tidak pernah tertangkap. Ki Kartum Mangunkaryo selalu menceburkan dirinya di Kedung Maeso dan hilang di bawah permukaan air. Para pengejarnya kehilangan jejak. Sewaktu mendekati ajal Ki Kartum Mangunkaryo berpesan kepada anak keturunannya agar jangan pernah sekalipun membangun jembatan di atas Kali Winongo. Saya tidak tahu kenapa, tapi menurut hemat saya demi menghormati Ki Kartum Mangunkaryo yang adalah kakek kita semua sebaiknya jangan dibangun jembatan di Kali Winongo selamanya.”
Suasana hening. Melebihi keheningan kuburan. Cargowo Hadisiswoyo berjuang mati-matian untuk menemukan alasan yang tepat untuk mematahkan pendapat Mbah Mangun Mertoyudo yang sudah ketinggalan jaman.
“Baiklah. Agar ada keseimbangan pendapat, saya persilakan Saudara Cargowo Hadisiswoyo untuk memberikan alasan kenapa perlu dibangun jembatan di Kali Winongo,” kata kepala desa Subali Sastromenggolo.
“Terima kasih, Pak Lurah. Sebelumnya saya sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua yang hadir dalam rapat ini. Ijinkan saya menyampaikan gagasan adanya sebuah jembatan di Kali Winongo. Gagasan saya berangkat dari sebuah ide sederhana, yaitu supaya pada saat Kali Winongo banjir tidak ada lagi korban-korban penduduk desa Winongo yang hanyut di sungai itu dan masyarakat tetap dapat bepergian menggunakan jembatan.”
Mbah Mangun Mertoyudo menyela, “Warga yang hanyut di Kali Winongo itu tidak mati melainkan hidup di alam yang berbeda, alam lelembut. Mereka bersama orang-orang terdahulu menjaga kesejahteraan alam dan penduduk desa Winongo. Jadi jangan dianggap mereka itu mati sia-sia, mereka menjadi penunggu kemakmuran penduduk Winongo.”
“Ada yang ingin memberikan tanggapan?” tanya Kepala Desa.
Maliki Jabalkat mengacungkan tangan. Katanya, “Salam hormat untuk Mbah Mangun Mertoyudo dan salut untuk Pak Cargowo Hadisiswoyo. Saya mungkin salah satu keturunan dari Ki Kartum Mangunkaryo. Beliau selamat dari para pengejarnya karena bersembunyi di Kedung Maeso. Andaikan dulu ada jembatan pasti orang-orang yang mengejarnya akan menungguinya di seberang sisi Kedung Maeso. Itulah sebabnya Ki Kartum Mangunkaryo berpesan agar anak keturunannya tidak membangun jembatan. Tapi Pak Cargowo Hadisiswoyo itu bukan anak keturunan Ki Kartum Mangunkaryo, sehingga jika beliau mengusulkan bangunan jembatan di Kali Winongo kita tidak bersalah. Kita sebagai keturunan Ki Kartum Mangunkaryo tetap memelihara wewalernya. Winongo perlu jembatan supaya anak-anak bisa pergi ke sekolah lebih cepat, orang-orang bisa pergi ke tempat kerja tidak terlambat. Di musim penghujan dan sungai banjir pun warga tetap dapat meninggalkan desa untuk beraktivitas. Itu pendapat saya. Terima kasih.”
Setelah Maliki Jabalkat masih ada beberapa pendapat dan masukan dari peserta rapat, namun tidak sejelas pendapat Maliki Jabalkat, seorang buruh pabrik yang bekerja di kota dan harus mangkir kerja pada saat Kali Winongo banjir dan tidak dapat diseberangi. Mbah Mangun Mertoyudo seperti terkunci lidahnya ketika sebagian besar peserta rapat menyetujui gagasan Cargowo Hadisiswoyo. Kepala Desa Winongo harus menerima kenyataan bahwa sudah saatnya di Kali Winongo harus dibangun sebuah jembatan untuk mempermudah akses warga desa Winongo bepergian ke luar daerah.
***
Hari yang sangat meriah dan tidak akan terlupakan warga masyarakat Desa Winongo dan sekitarnya. Seusai upacara Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bupati dan rombongan dengan menumpang kendaraan yang bagus-bagus datang berkunjung ke Kali Winongo. Di sana setelah berpidato ini itu, bupati menggunting pita menandai peresmian jembatan kerangka baja di atas sungai tersebut yang langsung menghubungkan Desa Winongo dengan wilayah lain di seberangnya. Oleh Bupati jembatan tersebut dinamai Jembatan Nimas Siti Markonah sesuai dengan nama warga desa Winongo terakhir yang hanyut yang kemudian menghilhami pembangunan jembatan itu.