Megeng dalam konteks tradisi dusun kami bukanlah meugang pada tradisi budaya Aceh yang dilaksanakan dengan semacam pesta daging sapi. Meski sama-sama dilakukan dalam rangka memasuki bulan Romadhon, namun megeng dalam tradisi di dusun kami cukup sederhana. Sehari sebelum puasa Romadhon, maka hampir semua warga melakukan padusan, mandi besar dengan keramas (bukan mandi jinabat). Sebagian besar orang tua akan keramas dengan air yang dicampur dengan abu rebusan merang (tangkai padi). Meski sebagian besar warga tidak melaksanakan ibadah puasa, namun tradisi megeng ini tetap mereka laksanakan.
Esok harinya, ketika warga yang menjalankan puasa menikmati makan sahur, hampir seluruh warga bangun tidur untuk menghidupkan tungku api, memasak. Bagi meureka yang berpuasa, memang disunnahkan untuk makan sahur. Namun mereka yang tidak berpuasa pun akan terbangun juga untuk memasak. Dan, salah satu masakan yang pasti disiapkan adalah menggoreng ikan asin sebagai lauk makan.
Saya ingat kata-kata simbok saya ketika menyiapkan sahur pada saat megeng ini ketika saya tanya mengapa mesti harus menggoreng ikan asin. "Supaya syech Bela Belu mengetahui kalau kita juga menyambut puasa, karena ketika beliau berkeliling mencium aroma ikan asing goreng dari rumah kita". Memang pada kenyataannya kedua orang tua saya tidak pernah berpuasa di bulan romadhon, dan hanya saya sendiri yang melaksanakannya sejak saya usia belasan tahun.
Itulah megeng pada masyarakat kami waktu itu. Meski tidak berpuasa, namun mereka tetap menyambut kehadiran bulan Romadhon dengan upacara megeng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H