Saya sedang menyimak acara Debat Capres yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Putri saya, 7 tahun, duduk di pangkuan saya. "Ayah, untuk menjadi Presiden itu harus pintar ya?" bisiknya lirih. "Ya, tentu," jawab saya sekenanya. Perhatian saya masih terfokus pada layar televisi. "Yah, orang pintar itu seharusnya pandai mendengar dan menyimak ya, bukan hanya pandai berdebat," celoteh putri saya sambil berlalu dari pangkuan saya. Saya terkesiap dan fokus saya pada televisi lenyap.
Dalam senyap pikiran saya, putri saya bergeser meraih boneka kesayangannya. Sembari tertawa kecil, tangan mungilnya memainkan boneka. Diputar-putar boneka itu, dijungkir-balikkan di depan saya. Entah kenapa, dalam pandangan saya tiba-tiba boneka itu berubah menjadi sosok Begawan: Stephen R. Covey. Begawan Covey menepuk bahu saya, "Most people do not listen with the intent to understand. They listen with the intent to reply."
Lalu, berkelebat bayangan Ibu saya dengan raut wajah tegas, namun tetap terlihat nyata senyum teduhnya, "Didiklah anakmu dengan memberi contoh, engkau mendengarkan dengan hikmat apa yang dikatakannya. Bukan hanya engkau suapi dengan nasehat-nasehat usangmu." Saya tergagap sejenak dan tersadar saat putri saya kembali duduk di pangkuan saya. Ia memeluk bonekanya dan tak lama, lelap tertidur dalam rengkuhan tangan saya. Saya perhatikan wajahnya yang damai. Selama ini saya abai akan apa yang diucapkannya. Tidak benar-benar menyimak apa yang dikatakannya.
Mendengar sambil lalu (hear) dengan menyimak (listen) jelas sekali memberi dampak yang berbeda. Dampak bagi diri sendiri maupun kepada kawan bicara. Menurut L. Michael Hall, penggagas ilmu Neuro-semantics, kemampuan listening ini menjadi pondasi bagi setiap teknik coaching yang efektif. Putri saya, walau sambil asyik bermain, rupanya sering menyimak ucapan saya, "Urip iku Urub: Hidup itu Nyala/Menerangi." Suatu ketika ia meminta selembar kertas putih. "Saya mau belajar menulis seperti Ayah," celotehnya renyah.
Satu jam berlalu, ia berlari kecil menghampiri saya yang sedang berkutat dengan laptop. Menyiapkan bahan presentasi untuk sebuah kerja sama investasi sangat menguras energi saya. Ia menaruh lembar kertas berisi tulisannya di sisi kanan meja saya. Lalu, pergi tanpa kata. Ia sepertinya tahu diri, ayahnya sedang sibuk, tidak boleh diganggu.
Di sela-sela konsentrasi saya mencermati narasi bahan presentasi, saya sekejap melirik ke ujung kanan bawah kaca mata yang melorot. Terbaca di kertas putih itu, "Kepada Tuhan." Tulisan tangan anak-anak yang jauh dari rapi. Namun, ketidakrapian menurut ukuran orang dewasa justru memancarkan jiwa tulus yang kuat, "Saya bisa hidup karena ada hujan turun dan pertanian bisa sehat. Terima kasih Allah." Di pojok kiri atas surat kepada Tuhan itu, ia buat sebuah garis membentuk persegi panjang dan di dalamnya ia torehkan, "Urip iku Urub, Hidup itu Nyala." Saya mematung. Diam.
Sesaat kemudian, hujan turun deras di kawasan Joglo, seiring saya memencet hidung keras-keras dengan ibu jari dan telunjuk, menahan sesuatu yang akan keluar dari sudut pelupuk mata saya. Hujan itu hadir seolah menyampaikan sabda, "Menyimak sepenuh hati adalah sebaik-baiknya investasi."
Di tengah suasana hati saya yang sedang kontemplatif itu, istri saya menghampiri dengan membawa secangkir kopi. "Yah, ini ada pesan whatsapp dari guru sekolah." Saya cermati isi pesan itu, "Bunda, dana sekolah ananda tolong diselesaikan ya Bunda, persyaratan dari pimpinan untuk bisa ambil rapor ananda. Afwan ya Bunda." Saya tertegun. Di sisi kanan dan kiri saya hadir kembali bayangan Stephen Covey dan Michael Hall yang kompak berkata, "Selamat kembali ke dunia nyata."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H