Mohon tunggu...
Sugiri
Sugiri Mohon Tunggu... Konsultan - Pembelajar Inti-Hati | Life Coach

Bertumbuh, Berkembang, Bermakna Urip iku Urub

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Hati: Sebuah Pencarian

1 Januari 2011   05:23 Diperbarui: 22 Agustus 2019   14:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Guru, letak hati itu dimana?”, tanyaku. "Menemukan letak hati harus dengan rasa. Bisa saja engkau menyebut hati ada di jantung atau rongga dada. Namun jika engkau masih sibuk memikirkan letak hati, berarti pikiranmu sdg menekan hatimu. Belajarlah utk hening seperti air danau yg diam namun dengan sempurna memantulkan citra sekitarnya dengan begitu indahnya"  “hmmmm….”, pikiran saya memutar ulang kembali ke suatu masa dimana saya terlalu sibuk mencari bahan bacaan, teori-teori, guru-guru sakti untuk menemukan sebuah hati (dan jangan-jangan sampai saat ini pun saya juga masih sibuk mencari sesuatu yang ada di luar sana….). Dalam pencarian itu bukannya membuat diri saya semakin dekat dengan hati, tetapi malah semakin jauh dari sikap-sikap yang mencerminkan kelembutan dan kebersahajaan hati. Ternyata betul wejangan guru, saya mencari hati dengan menekan hati dengan pikiran saya sendiri. Pantesan saja hati saya ngumpet, lha wong saya mencarinya dengan membawa tombak tajam bernama pikiran… Saya teringat suatu waktu dimasa kanak-kanak, bertanya kepada ayah saya, “Ayah, bagaimana sih biar diriku menjadi sakti?”. Ayah saya hanya tersenyum dan menjawab singkat sambil menyentuh lembut dada kanan saya, ”kenalilah dirimu….”.  Tentu saja jawaban seperti itu membuat saya yang masih kanak-kanak tak mengerti apa maksudnya. Namun, jawaban itu dan sentuhan lembut ayah di dada saya itu, begitu lekat dibenak saya sampai saat ini. Apa iya, ayah saya sudah belajar tehnik Anchoring dalam NLP ya…. Yang jelas, saat itu (era 1979) belum ada laptop, internet ataupun om google. Jangankan perangkat IT, listrik saja juga belum masuk ke desa, televisi masih hitam putih dan hanya ada 1 cannel TVRI. Satu-satunya sumber berita favorit ayah saya saat itu adalah “Dunia dalam Berita” yang disiarkan setiap jam 09.00 malam. Di kemudian hari dua kata itu, “kenalilah dirimu…” begitu powerful dalam memberi energi disetiap pencarian saya. Ketika saya sudah beranjak dewasa, saya mencoba menanyakan kembali apa maksud jawaban ayah, “kenalilah dirimu”, itu. Lagi-lagi ayah meminta saya untuk mencarinya sendiri, sehingga menjadikan pencarian saya yang never ending journey… Dan catatan-catatan “Tentang Hati” ini adalah rekam jejak yang saya alami sepanjang pencarian itu, yang semoga dapat menemani sahabat semua di kala ‘melamun’ ke dalam diri… “Loh, kok jadi terdiam begitu pembaca…hehehe”, diminum dulu  teh atau kopinya, mumpung masih panas. Catatan ini nggak perlu dibaca buru-buru kok (apalagi pakai sistem SKSSS, sistem kebut semalem sampai subuh…) dan nggak bakalan keluar diujian skripsi. Suatu ketika, dalam masa-masa pencarian saya, saya ngobrol dengan bapak sepuh (berusia lanjut) yang menjaga pintu rel kereta di kawasan Jl. Janti, Jogja. Ada sebuah wejangan dari bapak sepuh itu yang tak terlupakan sampai saat ini, “tanamlah wujudmu pada kedalaman tanah, sebab yang tumbuh tanpa ditanam tidak akan dapat berkembang menuju kesempurnaan”  Di kemudian hari, wejangan bapak itu ternyata saya temukan juga di sebuah pustaka karya besar dari Ibnu ‘Athailah, Al-Hikam. Saya tidak menyangka sama sekali jika wejangan Bapak sepuh itu ternyata merupakan butir hikmah dari Al-Hikam. Sungguh, beruntung sekali, dimasa muda saya dipertemukan dengan Bapak penjaga pintu rel kereta api yang ilmunya setara dengan seorang Profesor kehidupan. Bapak sepuh itu tak hanya sekedar memberikan wejangan, namun membuktikan dalam kehidupannya. Beliau begitu bersyukur dengan pekerjaan yang diembannya. Beliau tak merisaukan dengan gaji kecil yang diterimanya, karena beliau sangat yakin, dengan melaksanakan tanggung jawab kehidupan dalam perannya, rezeki beliau telah dijamin olehNYA. Dan kebahagian hati Bapak itu dapat saya rasakan dengan sorot matanya yang sejuk, tutur katanya yang mencerahkan, diselingi senyum yang menenteramkan dan mendamaikan…. ,guratan-guratan di wajahnya seperti menjadi saksi atas kehidupan Bapak itu yang penuh syukur dan ikhlas dalam menjalani skenario yang telah ditetapkan untuknya… Wajah Bapak sepuh penjaga pintu rel kereta api itu sampai kini masih tergambar jelas dan turut mendampingi dan menginspirasi dalam jalan-jalan pencarian saya….. Salam Penuh Keajaiban, mas Giri - Penutur Keajaiban kalbu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun