Budaya adalah hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia, sementara etika adalah norma-norma perilaku dalam pergaulan antarsesama. Dengan demikian diharapkan kita semua memiliki persepsi positif tentang rambu-rambu dalam komunitas “rumah pembelajaran”ini: mana yang boleh mana yang tidak; mana yang baik mana yang buruk.
Tidak menutup kemungkinan dalam bersinggungan dengan sesama warga, terjadi benturan dan gesekan. Ini wajar, karena kita berasal dari berbagai latar belakang budaya dan etika, yang tidak sama. Justru dalam perbedaan itu kita dapat memaknai adanya bunga rampai yang memperindah taman sari komunitas kita. Jika semua itu hanya satu warna, monoton, tunggal nada, tidak menarik, tidak indah. Adanya perbedaan, warna-warni dan jamak nada menjadikan rumah komunitas kita justru lebih menarik dan indah. Tentu saja dalam konteks adanya keterpaduan, simponi, harmoni. Bukannya sebaliknya: keberserakan, kakafoni dan disharmoni.
Dalam menapaki usianya yang kedelapan, komunitas kita telah melakukan lompatan-lompatan gagasan dan tindakan. Seperti pertumbuhan sebuah komunitas, atau tim kerja, kelompok masyarakat, kita telah melewati paling tidak 4 (empat) fase pertumbuhan, seperti yang diungkapkan oleh Bruce W. Tuckman tentang pertumbuhan sebuah tim berikut ini.
Fase pertama adalah fase pembentukan (forming). Pada fase ini, - kalau boleh kita kilas balik sejenak, - sejak digelindingkannya rumah komunitas, “blog keroyokan” ini pada 22 Oktober 2008 disambut hangat oleh beberapa orang yang membuka diri untuk berbagi dalam keanggotaan. Ada perasaan gembira, optimis, bangga, tetapi juga ada rasa curiga, takut, gamang, ragu, kuatir dan was-was. Hal ini memang wajar dalam sebuah awal. Seperti halnya jika kita belajar berenang, dan baru memulai berenang, biasanya sebelum mencemplungkan diri, kita merasa enggan basah. Supaya tidak kaget dalam kebasahan, maka ada beberapa orang yang coba menyesuaikan diri dengan cara membasuh muka, kaki, dan tangan, atau menciprat-cipratkan air ke seluruh tubuh.
Fase kedua yang juga pernah kita lewati dalam pembentukan komunitas kita adalah fase konflik (storming), badai. Pada tahap ini ada beberapa anggota komunitas yang masih bingung, panik, gelisah, tegang, penuh kompetisi, saling adu argumentasi dan bahkan terjadi bentrok pendapat. Akibatnya, ada beberapa anggota K yang hengkang. (Ingat kasus Pakde, “PK” yang sempat heboh). Kasus-kasus yang memicu perdebatan, khususnya dalam ranah politik dan hukum, adalah contoh bagus dalam fase ini. Seperti kasus pilpres dua tahun silam, dan kini yang masih hangat kasus pilkada, khususnya DKI.
Fase ketiga adalah penormaan (norming). Pada fase ini perasaan anggota K sudah mulai reda, cara mengritik sudah lebih baik, dapat saling menerima dan saling membantu. Ada harmoni, saling percaya, diskusi sudah lebih fokus, dinamis dan bahkan kita memiliki norma-norma yang kita sepakati bersama yaitu visi, misi dan tujuan mulia komunitas jurnalisme warga alias “blog keroyokan” ini.
Fase keempat adalah penampilan (performing). Sebagai warga K kita mulai saling memahami, memiliki wawasan mendalam, saling membangun kebersamaan secara konstruktif, dan efektif, berbagi dan berjejaring (sharing and conecting). Pada fase ini secara nyata kita menampilkan jati diri K yang ditandai dengan adanya peluncuran buku-buku hasil karya para anggota, dan perayaan Kompasianival saban tahun yang digelar pada akhir tahun.
Fase-fase pertumbuhan komunitas K ini bukanlah suatu patokan baku, kaku, ketat dan mati, tetapi sangat elastis, fleksibel dan tidak ada batas-batas secara tegas. Alur pertumbuhan itu juga tidak secara jelas terpisah-pisah, tetapi merupakan suatu mata rantai yang sambung-sinambung secara berkelanjutan. Juga bukan berarti jika kita sudah sampai pada tahap penampilan, lalu mandek, berhenti. Tidak demikian. Kita tetap akan meneruskan mata rantai pertumbuhan dan perkembangan ini menjadi suatu siklus kehidupan yang juga tak kunjung usai. Selalu ada awal yang baru. Yang kita sangka suatu akhir, ternyata boleh jadi suatu awal yang baru. Demikian seterusnya. Apalagi dengan datang dan perginya anggota K yang juga manasuka. Hal ini akan membuat keberadaan K kita senantiasa diwarnai oleh hal-hal yang baru. Selalu ada renewal, inovasi, continuous improvement. Demikian bagi teman-teman yang baru datang, mereka juga akan mengalami siklus pertumbuhan seperti yang diungkapkan. Itu yang kita harapkan, karena hidup belum usai dan pembelajaran tak kunjung henti.
Ada kalanya, seseorang atau beberapa orang “terlalu terpesona” atau terkesan terus menerus berada dalam salah satu fase, sehingga “gagal move on”, dan enggan meninggalkan “daerah nyaman”-nya itu. Sebagai contoh, jika kita terus menerus berada dalam situasi konflik tak berujung, dalam waktu yang lama, tanpa penyelesaian. Beruntung kita semua melewati setiap fase itu dalam kondisi yang wajar.
Ada fase lain, yang boleh dikatakan sebagai fase kelima, yaitu fase Adjourning, yang merupakan tahap persiapan untuk membubarkan diri. Berprestasi sudah bukan menjadi prioritas utama. Anggota tim lebih memfokuskan perhatian pada penyelesaian aktivitas seperti seremonial sebagai penutupan. Dapat disimpulkan bahwa model ini mengimplikasikan bahwa tim yang produktif adalah tim yang telah mencapai tahap performing. Tahap forming, storming dan norming merupakan tahap kritis sebelum tim berjalan dengan produktif. Namun demikian, Robbins (2003) menemukan kenyataan bahwa dapat saja beberapa tahap terjadi bersamaan dan tidak adanya batasan yang jelas antara satu tahap dengan tahap lain, tim regresi ke tahap sebelumnya bahkan kemungkinan terburuk adalah tim tersebut hancur sama sekali.
Untuk membantu tim melewati masa kritis sehingga dapat mencapai tahap performing dapat dilakukan suatu intervensi melalui serangkaian aktivitas yang melibatkan anggota tim. Aktivitas itu perlu dirancang secara hati-hati, sehingga dapat membantu tim untuk mengatasi ketidakjelasan sasaran, peran, prosedur atau hal-hal lainnya, konflik yang dapat menganggu hubungan interpersonal anggota tim, membangun kedekatan antaranggota tim, dan masalah-masalah lain yang sedang dialami tim saat itu. Aktivitas untuk meningkatkan produktivitas tim ini disebut sebagai team building.