Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ahok dan Penjual Balon

31 Agustus 2016   01:34 Diperbarui: 31 Agustus 2016   01:47 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring dengan bergulirnya waktu, sang bocah terus merenungkan kata-kata itu sampai tiba pada satu kesadaran... Bukan karena warnanya.... tetapi karena isi yang ada di dalamnya. Bukan karena kegantengan, kecantikan, warna kulit, kepercayaan, kekayaan, pangkat, nama besar, kemewahan atau segala pernik-pernik  yang ada, seseorang itu  bisa “terbang tinggi”, bisa berhasil,  bisa sukses, ... tetapi karena  “isi” yang ada di dalamnya: pribadinya, sikapnya, perilakunya, wataknya, semangatnya yang tak gampang menyerah ....

Apa hubungannya dengan Ahok?

Semasa kecil Ahok mendapatkan pendidikan karakter dari papa dan mamanya di meja makan. Seperti yang dikisahkan oleh Arip Ripangi dalam Sisi Lain Ahok, Perjalanan Hidup, Karir & Keluarganya (Glosaria Media, 2014:  8-9), yang masih tertanam dalam benak Ahok sampai saat ini, papanya sering mengatakan bahwa ia tidak akan mewariskan harta berupa uang kepada anak-anaknya. Alasannya, kalaupun anak-anaknya memiliki uang berlimpah dan disebut orang kaya, maka uang itu akan lenyap seketika jika dirampok. Tetapi jika anak-anaknya terdidik dan memiliki nama baik, maka itulah harta sejati yang tidak dapat diambil oleh siapa pun.

Ahok kecil sudah coba menikmati rokok sewaktu duduk di bangku SD. Akibat keteledorannya, puntung rokok yang  itu secara tidak sengaja membakar kasur tidurnya. Keruan saja, ayahnya menjewer kupingnya, ibunya mencubitnya berkali-kali. Sejak saat itu, ia kapok merokok. Dan pada usia SMP ia sudah mencoba menikmati minuman bir.

Pengalaman buruk lainnya, ia  pernah kecewa saat tidak diizinkan menjadi pengerek bendera sewaktu upacara bendera di SD, gegara warna kulitnya yang tidak  sama dengan murid lain. Ketika ia mengadukan kekecewaan itu kepada ayahnya, ia pun hanya mendapatkan nasihat, “Saatnya akan tiba ketika orang akan menerima kita!”  Ayahnya melarangnya untuk berkecil hati, tak boleh dendam dan terus berusaha menunjukkan kemampuan dan perannya.

Pengalaman-pengalaman masa kecil itulah yang menempanya untuk terus berjuang menjadi orang baik, meningkatkan kepedulian sosial,  dan berkualitas sehingga orang lain dapat menerimanya.    

Jadi yang penting menjadi orang baik, berpendidikan, berkualitas... dan itulah yang menjadi “isi” sebuah balon sehingga ia bisa terbang tinggi.

PS

Kisah penjual balon pertama kali saya dengar ketika saya mengikuti pelatihan motivasi  yang dibawakan Pak Edward Linggar, alm., dari Camar Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun