Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[FITO] Ke Mana Larinya Kegaduhan Ini?

24 Agustus 2016   08:27 Diperbarui: 24 Agustus 2016   08:34 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ke mana larinya kegaduhan hati? Ke mana hilangnya  suara-suara keriuhan kota yang tak pernah tidur? Jalanan yang tak pernah sepi dari kegaduhan  berebut gengsi menyerobot dan menggangsir harga diri, dengan zig-zag kanan dan kiri? Berlari berkejaran seolah ingin cepat sampai ke negeri abadi?

Pasar ilang kumandange, kali ilang kedunge, wong wadon ilang wirange ...*)  kutha ilang cerewete... gamelan ilang iramane... tembang ilang cengkoke... oalah tole-tole... gendhuk-genduk....kakang-mbakyu, paklik-bulik, pakde-mbokde, mbah lanang-mbah wedok, eyang kakung-eyang putri,  ke mana lagi larinya kesadaran ini? 

Di sini, dalam keheningan ini jantung berpacu dalam waktu untuk menunggu kebermaknaan, kenirsuaraan. Kediaman, ketenteraman, kesepian, kesunyian, kehati-hatian yang meranggas menelikung jiwa menggedor sukma untuk menggelontorkan kesadaran hakiki menjadi diri sendiri, becermin berwawansabda pada nurani tentang hidupmu sepanjang hari.... 

keringat yang menetes air mata yang tercurah dan darah yang berceceran tiada henti... di sini menemui pangkal dan ujung kesemestaan kepastian kekhawatiran  kegagalan kesuksesan keriuhan sekaligus kesendirian kesepian yang menyayat ... o... sepisaupi sepisauduri**) sepisaubelati menembus ulu hati menebar sangsi ada rimbunnya misteri tak terselami. Kebermaknaan hakiki dalam berbagai kancah peristiwa hidup sehari-hari.

“Ah... Tuhan, aku tidak harus merangkai banyak kata. Engkau tahu apa yang ingin kukatakan pada-Mu, bahkan ketika aku diam saja, dan kadang-kadang cukuplah kukatakan pada-Mu tentang semuanya, hanya diam dalam sebuah suara lemah ‘Ah’. Dan Kau mengerti semuanya. ***)

PS

*) larik-larik pesan Sunan Kalijaga: pasar hilang gemanya sungai kehilangan ceruk/sumbernya, perempuan kehilangan rasa malunya.. lebih jauh lihat sumber: http://annangws.blogspot.co.id/2013/04/pesan-sunan-kalijaga-untuk-umat-akhir-jaman.html ) kota kehilangan kecerewetannya, gamelan kehilangan irama, lagu kehilangan alunan suaranya. Oalah... adik-adik, kakak-kakak, om-tante, kakek-nenek ...

**) diksi Sutardji dalam Amuk.

***) lirik U.E. Mordhorst/M. Jung dlm Konradsblatt, terjemahan GP Sindhunata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun