Hari kemenangan telah tiba. Kemenangan melawan hawa nafsu dan hal-hal negatif yang ada pada diri sendiri. Kini, lega rasanya mengakhiri “perang” terhadap diri sendiri selama sebulan penuh. Yang tersisa adalah hati yang damai, bahagia, bangga, dan jiwa yang bening, suci dan bersih.
Menelusuri kembali jejak langkah selama sebulan penuh dalam laku puasa menahan lapar dan dahaga, memerangi kemarahan dan kebencian, kejengkelan dan sakit hati, sambil menengadahkan berkah dan ampunan, setelah tiba di ujung, ada rasa ringan, merdeka, bebas dari ikatan-ikatan dan belenggu yang seolah selama ini mencengkeram kita.
Bayangkan seseorang yang paling menjengkelkan yang pernah ditemui selama ini. Mungkin teman sekolah, tetangga di rumah, anggota keluarga, dan mungkin juga rekan kerja yang sedang berdiri tidak jauh dari anda. Jika benar ia berdiri di dekat Anda, mohon tidak menatapnya terlalu lama, supaya amarah jangan timbulkan tindakan tak terkendali. Siapa pun - termasuk kita - pasti pernah lalai dan melakukan kesalahan, yang membuat orang lain patut menghukum atau menuntut. Jadi, sangat mungkin ada orang yang sedang menatap kita dengan sorotan kemarahan, kadarnya saja yang berbeda. Rasa marah yang tidak segera diakhiri, akan menuai permusuhan yang kemudian melahirkan perang dan tindakan anarkis lainnya.
Sejarah umat manusia sudah membuktikan bahwa; tidak satupun tindakan permusuhan, perang dan anarkisme, mendatangkan kebaikan bagi manusia. Semuanya hanya menghadirkan penderitaan dan penyesalan turun temurun. Wajar jika kemudian manusia pun tak henti mencari cara untuk mengakhiri rasa marah dan menghindari permusuhan. Ironisnya, semakin dicari, semakin sulit menemukan cara jitu mengakhiri kemarahan.
Melihat esensinya, lebih baik kita mulai dengan mengidentifikasi, di mana sebenarnya kemarahan itu terletak. Oh.., ternyata kemarahan itu tersimpan sangat dekat, bahkan sangat dalam, yaitu di hati kita sendiri. Itulah sebabnya kita sulit mencari penutup rasa marah, selama kita mencarinya di luar atau di pihak ketiga, sebab kemarahan itu ada di hati. Maka cara jitu untuk menutup rasa marah, mengakhiri permusuhan, dan menghindari perpecahan, adalah dimulai dari hati kita sendiri.
Tidak ada cara lain. Bebaskan hati kita dari rasa marah. Bebaskan sahabat-sahabat kita, keluarga kita, dan rekan sekerja, dari kemarahan dan tuntutan di hati kita. Itulah cara menutup rasa marah dan membuka pintu silaturahmi.
Ada satu kata yang dapat menjelaskan; tindakan untuk membebaskan seseorang dari tuntutan karena kesalahan terhadap kita, ialah: MAAF. Hanya orang berjiwa besar yang dapat mengucapkan MAAF, dan hanya orang berjiwa besar pula yang dapat menerima MAAF.
Saling memaafkan, merupakan cerminan dari mereka yang bukan saja berjiwa besar, melainkan juga cerminan dari mereka yang mendambakan kemajuan, kerukunan, dan perdamaian. Memaafkan adalah obat mujarab bagi sakit penyakit akibat kemarahan, kebencian, sakit hati, dendam dan kedengkian. Robert Muller mengatakan, “Memaafkan adalah bentuk kasih yang tertinggi dan terindah. Sebagai imbalannya kita akan menerima kedamaian dan kebahagiaan yang tak terkira”.
Mari, kita jabat tangan orang yang berdiri di samping kita, dan mengatakan dengan tulus, ’Maaf, mungkin saya pernah membuat Anda kecewa!”
Selamat Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir batin.
Bandung, 5 Juli 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H