Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[duniaanakanak] Ambilkan Bulan, Bu!

28 Mei 2016   13:11 Diperbarui: 28 Mei 2016   13:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://lieshadie.wordpress.com

sumber gambar: 

http://berbagiserbagratis.blogspot.co.id/2015/01/10-permainan-khas-sunda-yang-hampir.html

Permainan khas Sunda, Ucing Galah, yang hampir punah

Ambilkan Bulan, Bu!

Mak jenthit lolo lobah.... wong mati ora obah... nek obah medeni bocah.... nek urip goleka duwit....

Tembang dolanan itu dinyanyikan bocah-bocah kecil sambil memeragakan seperti yang dikatakan dalam liriknya. Mereka duduk berkelompok lima sampai sepuluh orang, membentuk suatu lingkaran. Mereka duduk berselonjor, kedua tangan di atas kaki, sambil menggoyang-goyangkan tubuh ke depan ke belakang, menyuarakan tembang itu sesuai irama lagu secara akapela yang kompak beberapa kali. ”Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, si Rama menyang Sala, oleh-olehe payung mutha. Mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah, nek obah medeni bacah, nek urip goleka dhuwit....”.

Setelah beberapa kali menembangkan lagu itu, mereka memecah kelompok menjadi masing-masing 5 orang. Salah satu orang duduk tengkurap dengan posisi mendekam, yang lainnya meletakkan tangan kiri dengan posisi seperti menggenggam sesuatu di atas punggung teman yang mendekam itu. Mereka pun menembangkan “Cublak-cublak Suweng”, yang iramanya sama dengan irama lagu “Sluku-sluku Bathok”. Beberapa kali mereka memainkan tembang itu sambil bergantian posisi, sampai akhirnya mereka bosan.

Lagu, irama dan dolanan terus mengalir bergantian seperti pergantian adegan dalam sebuah pagelaran drama tari yang meriah dan menggembirakan. Tembang Ilir-ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, Bung Maliki, Padhang Bulan, Jamuran, Kidang Talun, Jaranan, Ayo Prakanca, Kodok Ngorek...dan lainnya, mengalir berirama meriah ditingkah polah bocah-bocah yang kocak menggemaskan membuat suasana malam itu benar-benar ngangeni.

Malam itu memang bulan purnama. Wajah dewi malam yang bundar dengan cahaya benderang di sepertiga langit Barat itu, membuat susana malam bertambah indah penuh pesona. Di samping bocah-bocah yang bermain di halaman desa yang luas dan masih asri itu, tidak sedikit pula orang-orang muda, dewasa dan tua yang berkumpul berkelompok-kelompok sesuai minat dan kegemaran masing-masing.  Di pendapa dan teras rumah  Wak Haji yang juga luas itu beberapa kelompok ada yang main kartu remi, kartu gapleh, dan ada  juga anak-anak perempuan yang main dakon atau congklak. Ada juga yang hanya kumpul-kumpul main tebak-tebakan, sambil sekali-sekali terdengar riuh rendah ketawa terbahak-bahak membahana.

Di samping rumah Wak Haji yang cukup besar dan luas itu ada kolam ikan yang airnya selalu bening. Ikan-ikan berseliweran nampak jelas dari bibir kolam. Di tepi kolam ada beberapa pohon jambu biji, mangga, rambutan, sawo dan alpukat yang membuat rindang. Tiba-tiba, dari pinggiran kolam ikan itu ada seorang gadis kecil yang berteriak-teriak, “Ibu... Ibu... Ambilkan bulan Bu! Ambilkan bulan itu, Bu!”

Noknik, gadis kecil empat tahun itu berteriak-teriak sambil berlari ke arah ibunya yang sedang asyik bermain congklak. Ia segera menyeret tangan ibunya dan mengajaknya berlari ke pingggir kolam. Beberapa orang mengikuti mereka dan menuju ke pinggir kolam.

“Itu tuh... tuh... ambilkan bulan itu Bu! Bulan di kolam itu,” kata Noknik sambil merengek. Semua orang yang mendengar dan mengikiuti mereka pun langsung melihat ke tengah kolam. Dari celah-celah pepohonan, wajah bulan yang bundar itu nampaknya jatuh dan mengapung di atas kolam. Itulah yang dilihat Noknik.  Semua orang yang ada di pinggir kolam pun tertawa, tetapi Noknik makin bersemangat merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mengambilkan bulan yang melayang di tengah kolam itu.

“Itu bayangan bulan, Nik! Gak bisa diambil. Ibu bukan bulan, tetapi bayangannya”, kata ibu Noknik sambil berjongkok menatap sayang wajah anaknya.

“Gak mau! Noknik ingin bulan itu!  Ayo Bu, ambilkan Bu!” Noknik makin merengek dan kemudian menangis terguguk-guguk. Air matanya meleleh, deleweran membasahi pipinya yang tembem. Orang-orang di sekitar kemudian mendekati Noknik dan saling berebut untuk menjelaskan bahwa itu hanya bayangan bulan saja. Tetapi Noknik tidak mengerti. Yang diinginkan ia pengin memegang bulan itu.

“Yuk kita lihat... Tuh... Lihat ke atas! Kamu lihat ada bulan di langit kan?” kata ibunya sambil menunjuk ke langit. Berkali-kali Noknik melihat ke langit, lalu melihat ke kolam. Ada dua bulannya, pikir Noknik. Semakin keras tangisnya dan ia tetap  minta ibunya untuk mengambilkan bulan yang di kolam itu.

Tiba-tiba seseorang mengambil bambu panjang, dan memukul tepat di bayangan bulan yang ada di kolam itu. Air kolam itu beriak-riak, dan bayangan bulan berpendar-pendar pecah berantakan.

“Nah, bulannya gak ada lagi kan?” kata ibunya. Noknik terdiam sebentar, lalu ketika air yang beriak-riak itu tenang kembali, Noknik kembali berteriak, “Itu, bulannya ada lagi! Ayaaaah.... ambilkan bulan itu!” teriak Noknik pada ayahnya. Mendengar teriakan anak semata wayangnya, ayah Noknik berlarian dan tanpa berpikir panjang langsung.... “Byuuurrrr”... Ia mencebur ke dalam kolam dan air kolam itu bergelombang-gelombang membuat bayangan bulan itu hilang. Sinarnya masih menyilaukan.

“Sini... sini... Nik. Ayo nyemplung sama ayah... lihat nih, supaya kamu tahu dan bisa menangkap bulan...” Noknik melepaskan diri dari pelukan ibunya, lalu ngibrit lari mau mencebur ke kolam. Buru-buru seseorang menangkap tubuhnya dan menggendongnya. Tapi Noknik terus memanggil-manggil ayahnya sambail tangannya menggapai-gapai.

Ayahnya pun menepi. Lalu dengan gegancangan membawa Noknik ke tengah kolam untuk meyakinkan bahwa bulannya sudah tidak ada. Dalam gendongan ayahnya, Noknik lalu menepuk-nepukkan tangannya ke air kolam. Air itu menciprati wajahnya sampai basah kuyup... “Nah, bulannya gak bisa diambil kan? Sudah tahu?”

Noknik lalu memain-mainkan tangannya dan mengubak-ubak air di kolam. Setelah dia mencari-cari bulan yang diinginkannya tidak ketemu, ia punmencengkeram pundak ayahnya.  “Yuk, kita mentas! Dingin!” kata ayah.  Ibunya lalu mengambil Noknik dari gendongan ayahnya, lalu menuju rumahnya untuk mengganti baju Noknik yang basah.

Malam harinya, tidur diapit oleh kedua orang tuanya, Noknik merintih-rintih sambil menggapai-gapaikan tangan. “Uh...uh...uh... “. Tubuhnya bergerak-gerak ke sana-ke mari dan akhirnya melewati tubuh ibunya... dan tiba-tiba..... ggduubrrrraaaakkkk.... Tubuh Noknik terjatuh dari ranjang. Kedua orang tuanya terbangun dan kaget mereka melihat Noknik di bawah ranjang yang meringis dan merintih-rintih.... “Ambilkan bulan Bu!.... Ambilkan bulan, Bu!”

“Oalah Nik... Nik... nampaknya kamu bawa bulan itu ke dalam mimpi!” kata ayahnya sambil menggendong Noknik dengan penuh kasih sayang.

planet-kenthir-574936432cb0bdd404b9bdd8.png
planet-kenthir-574936432cb0bdd404b9bdd8.png

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun