Kolam ini cukup luas dan asri. Jalan menuju kolam yang airnya masih bening itu cukup landai. Batu-batu kerikil yang bertebaran di sepanjang jalan menuju kolam itu menandakan bahwa jalan itu sering dilewati orang. Kolam itu sebenarnya bagian dari sebuah sungai yang airnya masih mengalir dengan deras, jernih, dan belum tercemar oleh sampah.
Orang-orang yang lewat sering memanfaatkan kolam itu untuk mandi dan mencuci. Sering juga dimanfaatkan untuk memandikan binatang, gerobak, pedati atau dokar (delman). Di sekeliling kolam itu tumbuh berbagai tanaman yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ada pandan, suji, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna dan pewangi adonan kue atau masakan lain. Ada tanaman yang berfungsi sebagai apotek hidup, seperti jambu batu, daun sambiloto, kunyit, kelor, kumis kucing dan lainnya. Ada juga pohon penguat supaya tanahnya tidak longsor, yaitu pohon petai selong, kembang sepatu, dan bambu.
Seorang lelaki yang berambut putih dengan usia yang semakin merangkak melewati tengah hari sedang memegang sabut kelapa di tangan dan sebuah ember kecil. Namanya Karjo. Seekor kuda berwarna kecoklatan yang juga kelihatan tidak muda lagi, dituntun untuk masuk ke dalam kolam. Karjo memandikan kuda tuanya.
Tidak jauh dari situ, dekat bedeng tersandar delman yang hampir menjadi rongsokan. Roda-roda besi yang dilapisi karet itu sedikit terbenam pada tanah. Sambil menyiram dan menggosok punggung kuda, Karjo mulai percakapan dengan kuda itu. Entah kuda itu mengerti atau tidak, nampaknya, komunikasi Karjo dengan kudanya begitu mengasyikkan.
“Hey Kesit!” Ternyata kuda itu bernama Kesit. Dalam bahasa Sunda, kesit berarti 'lincah dan kuat'. “Sudah berapa puluh tahun ya kita tinggal bersama di sini. Aku juga lupa siapa yah lebih dulu datang. Aku atau kamu? Ketika itu aku masih cukup muda dan mencari-cari pekerjaan. Akhirnya aku bertemu dengan seorang Suster non, dekat pasar di Bogor. Beliau sepertinya baru belanja sayuran dan kebutuhan dapur yang cukup banyak. Aku memberanikan diri menawarkan jasa kepada Suster, 'Boleh saya bantu membawakan belanjaannya?'
"Suster itu menjawab, 'Siapa kamu?'
“'Saya Karjo, Suster. Saya dari dusun yang jauh. Saya datang ke sini mencari pekerjaan, tapi sampai saat ini belum mendapatkannya,' jawabku. Suster nampak mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu aku melanjutkan, 'Saya sudah tidak mempunyai keluarga, hanya ada keluarga jauh. Ayah ibu sudah meninggal. Saya tinggal bersama nenek yang baru-baru ini juga meninggal. Maukah kamu bekerja serabutan di tempatku, di Cipanas sana? Tapi dengan upah ala kadarnya. Makan dan pemondokan sederhana, kami sediakan di sana.'
"Aku langsung menjawab, 'Mau... mau, Suster.” Sejak saat itulah aku tinggal di Susteran ini.
"Suatu hari Suster memanggilku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganku. 'Karjo, mari ke kantor! Ada sesuatu yang ingin Suster tanyakan kepada kamu. Kamu sudah cukup lama tinggal di sini dan juga kamu sudah aku bawa keliling-keliling di Kota Bogor. Hampir semua pelosok kota engkau ketahui.'
"'Benar suster! Apa ada kesalahan atau sesuatu yang bisa saya kerjakan?'
Suster tertawa kecil ketika melihat aku sedikit gugup. Ia lalu berkata, 'Karjo, kamu tahu ‘kan, Pak Somad sudah sepuh. Beliau sering sakit-sakitan sehingga pengiriman susu ke pelanggan sering terganggu. Kebetulan kudanya juga baru ditukar dengan kuda baru. Suster mau kamu meggantikan Pak Somad mengantarkan susu-susu yang kita hasilkan kepada pelanggan di kota Bogor sana.'
"Aku langsung menjawab, 'Mau, mau Suster, tapi bagaimana caranya?'
“'Nah, kalau begitu, mulai siang ini, kalau Pak Somad pulang mengantar susu, kamu temui beliau dan katakan sayalah yang suruh belajar kepada Pak Somad. Esok hari kamu ikut Pak Somad bagaimana mengantar susu dan merawat kudanya.'
"Nah sejak itulah kita berkenalan dan menjadi sahabat sampai sekarang." Sambil memandikan kudanya dan menggosok-gosok badan kuda dengan sabut kelapa Karjo terus bercerita. "Rasanya baru kemarin kejadian itu. Padahal sudah puluhan tahun berlalu. Dulu, kita masih sama-sama muda dan kuat. Sebelum matahari terbit kita sudah menyusuri jalanan yang menurun dan berkelok. Engkau begitu gesit dan kuat, padahal delman kita dipenuhi botol-botol susu yang berdempetan menimbulkan suara musik pada keheningan pagi. Udara yang masih diselimuti embun kadang menyulitkan juga ya. Engkau pernah terpeleset dan hampir terjatuh, engkau masih ingat itu? Kita memasuki Kota Bogor yang bergeliat dengan berbagai kesibukan. Anak-anak sekolah dengan beriringan dan kegembiraan yang menyegarkan.
"Kita mulai memasuki jalanan di rumah-rumah pemesan susu yang kita tuju. Satu per satu rumah kita ketuk. Tak jarang pintu sudah tidak terkunci. Kita menyerahkan botol yang berisi susu baru dan botol-botol bekas kemarin kita kumpulkan. Yang paling mengagetkan kita kalau ada anjing peliharaan tuan rumah belum dikandangkan, lalu tiba-tiba menggonggong membuat engkau juga tersentak. Biasanya pukul 10 pagi pekerjaan kita sudah beres. Kita bergegas ke tempat biasanya kita beristirahat, di bawah pohon rindang yang jauh dari keramaian kota. Di sana aku menyediakan makananmu yang sudah kusiapkan. Aku sendiri menyantap makananku yang sudah disiapkan suster-suster yang baik hati itu. Kita sangat dimanja, apa kebutuhan kita asal kita minta pasti segera disiapkan. Kita waktu itu sangat dibutuhkan sehingga kita tidak harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain. Setelah semuanya selesai kita diminta istirahat dengan baik, untuk kembali menyiapkan hari esok.
"Tidak ada sesuatu yang tetap. Semua yang ada di dunia ini akan berlalu, tidak abadi. Tiba-tiba suatu hari kita kedatangan sebuah mobil yang cukup besar, dengan tempat barang yang luas. Di dalam boksnya terdapat boks plastik yang kokoh juga botol-botol susu yang baru. Memang mobil itu muatannya banyak, cepat, mudah dioperasikannya. Kita ini sudah loyo, pesanan tambah banyak, tenaga kita tambah berkurang. Memang bijaksana suster-suster di sini menukar kita dengan mobil yang lebih efisien dengan pelayanan yang bertambah baik.
"Kita sangat beruntung, masih diperbolehkan tinggal dalam lingkungan Susteran ini sampai sekarang. Kamu mau tinggal sama siapa? Sejak muda, aku tidak tahu di mana keluargaku tinggal. Apa mereka mau menampung aku? Sepertinya tidak ya? Tuh delman yang selalu bersama-sama kita sekarang tersender di samping bedeng kita. Roda-rodanya sudah berkarat. Hehehe... waktu... waktu terus berlalu.... Nah, sekarang sudah selesai mandinya. Larilah, dan keringkan badanmu, sampai waktunya masuk kandang....
***
Refleksi:
Panta rhei, kei kuden manei, kata Herakleitos. Segalanya mengalir dan teruss mengalir. Waktu terus berlalu. Tidak ada sesuatu pun yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Ketika kita masih muda, perkasa, kita begitu gigih, gesit, dengan kecekatan dan kecepatan kerja yang tinggi. Saat usia merangkak, tenaga sudah jauh berkurang, kerapuhan sudah membayang, tak mungkin lagi kita mempertahankan kedudukan dan keperkasaan kita.
Jika kita sadar bahwa waktunya sudah tiba, kita harus legowo, rela untuk undur diri, digantikan yang lebih muda. Tak perlu kita menyesal dan merasa ditinggalkan, tidak diperlukan lagi. Sebaliknya, kita perlu bersyukur masih dapat berkarya tanpa banyak menguras tenaga dan biaya. Kita masih dapat memedulikan, berkunjung dan menjadi sahabat-sahabat bagi yang lain. Kita pun sangat beruntung jika masih ada orang yang peduli kepada kita, memperhatikan, mengunjungi, menghibur dan bersehati dengan kita... Segudang pengalaman yang telah kita lewati sepanjang masa kehidupan kita tak bakal dirampas dari kehidupan kita. Justru kita perlu terus bersyukur atas karunia pengalaman yang memperkaya kehidupan kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H