[caption caption="Kerja adalah ibadah. sumber: www. sesawi.net"][/caption]
“Keajaiban terjadi, ketika bayi Anne yang diklaim oleh dokter hanya mampu bertahan 2 jam setelah dilahirkan, ternyata tetap bertahan hidup setelah lewat 2 jam. Tetapi Anne tidak mampu bertahan setelah enam jam... Para dokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ. Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tsb. bahwa donor berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian. Pasangan tersebut sekarang sadar akan kehendak Tuhan. Walaupun Anne hanya hidup selama 6 jam, tetapi dia berhasil menyelamatkan dua nyawa. Bagi pasangan tersebut, Anne adalah pahlawan mereka, dan sang Anne yang mungil akan hidup dalam hati mereka selamanya ...”
Kisah lawas yang membekas dalam ingatan saya dari sebuah buku Chicken Soup, itu menyadarkan bahwa poin penting yang dapat kita renungkan dari kisah ini : (1) Tidaklah penting berapa lama kita hidup, satu hari ataupun bahkan seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain. (2) Ibu Anne mengatakan, "Hal terpenting bagi orang tua bukanlah mengenai bagaimana karir anaknya di masa mendatang, di mana mereka tinggal, maupun berapa banyak uang yang mampu mereka hasilkan. Tetapi hal terpenting bagi kita sebagai orang tua adalah memastikan bahwa anak-anak kita melakukan hal-hal terpuji selama hidupnya, sehingga ketika kematian menjemput, mereka akan menuju surga".
***
Jenghis Khan sangat letih dan haus. Di tepi jalan dilihatya air pancuran mengalir segar, begitu menjanjikan kesejukan dan pelepas dahaga yang nikmat. Bergegas ia turun dari kudanya dan mengisi penuh buli-bulinya. Ketika ia siap mereguk air itu, tiba-tiba elang kesayangannya menukik dan menerjang tangannya hingga air dalam buli-buli itu tumpah. Elang itu sangat terlatih untuk melihat segala macam bahaya. Dengan matanya yang tajam elang milik Khan itu mampu mendeteksi semua ancaman bagi majikannya. Elang itu belum pernah mengecewakan pemiliknya, dan selalu menjalankan tugasnya dengan benar.
Jenghis Khan menjadi gusar. Dipungutnya buli-buli itu dan diisinya kembali dengan air. Namun, sekali lagi elang itu menyambar buli-bulinya. Jenghis Khan bertambah kesal. Rasa haus yang tak tertahankan membuatnya lekas marah. “Sekali lagi kamu lakukan, kutebas lehermu!” katanya mengancam. Lalu dengan sigap ia mencabut pedangnya dan siap menetak. Tetapi untuk ketiga kalinya elang pengintai itu menyambar kembali tangan majikannya hingga terluka dan buli-buli itu pun pecah. Seolah ia tak menghendaki majikannya minum air tersebut. Dan bersamaan dengan terkaman elang itu pedang Jenghis Khan menebas tepat leher elang kesayangannya!
Khan yang tak memiliki lagi buli-buli memutuskan untuk memanjat bukit kecil asal air pancuran itu. Ia ingin minum sepuas-puasnya dan melepaskan kejengkelannya. Ketika sampai di bukit, ia melihat suatu pemandangan yang menyeramkan. Bangkai seekor kalajengking raksasa terbaring busuk dalam kubangan air pancuran itu. Segera wajah Jenghis Khan menjadi pucat. Ia pun lupa rasa hausnya.
Bergegas ia menuruni bukit dan dipungutnya elang yang bersimbah darah itu. Didekapnya erat-erat burung yang telah menyelamatkan hidupnya. “O, elangku yang gagah, hingga mati engkau mengabdikan diri kepadaku...” ratap Jenghis Khan yang agung itu menangisi kepergian elangnya.
Secara dramatis dan romantis, elang pengintai itu telah membaktikan hidupnya kepada Jenghis Khan. Pengawal setia itu telah pergi dengan pengabdian yang membanggakan seperti yang dimaksud Chairil Anwar dengan ungkapan “sekali berarti, sudah itu mati” (puisi Diponegoro).
Dan itulah sebenarnya makna ibadah! Yaitu persembahan diri, penyerahan diri, yang dilandasi oleh kesadaran mendalam dan serius. Kesadaran bahwa kita berutang cinta kepada Dia yang kita abdi dan kita puja. Bahwa kita telah menerima cinta sepenuh-penuhnya, maka kita pun patut mengabdi dengan sepenuh cinta pula. Jadi secara absolut hanya Tuhan yang patut menerima ibadah kita. Beribadah berarti mengabdi kepada Tuhan secara total, saat kita bangun maupun tidur, saat ramai maupun sendiri, saat istirahat maupun bekerja.
Jadi benar, bahwa kerja adalah ibadah, lebih tepatnya sebentuk ibadah. Secara umum manusia beribadah di dua tempat: di tempat ibadah seperti mesjid, pura, vihara, gereja; dan di tempat kerja. Bentuk ibadat pertama adalah ritual sembahyang, sedangkan ibadah kedua adalah olah kerja yang diabdikan kepada Tuhan.
Semua agama mengajarkan agar manusia berbuat kebaikan sebesar-besarnya dan menjauhi kemungkaran sebisa-bisanya. Intinya, kita harus turut berkarya membangun hal-hal yang baik, benar dan adil sebanyak-banyaknya, Kerja menyediakan lapangan untuk secara kongkret melaksanakannya, misalnya untuk kejayaan negara, pembangunan bangsa, penegakan demokrasi, penciptaan masyarakat madani, pemuliaan kemanusiaan, pelestarian lingkungan hidup, penegakan keadilan, promosi perdamaian, peningkatan kemakmuran atau idealisme besar lainnya, termasuk kepada Tuhan secara langsung. Karena itu kita memang layak memngabdikan diri melalui pekerjaan kita.
Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa berbuat kebaikan, beramal, adalah bentuk dari ibadat. Bekerja adalah berbuat baik, bahkan ikut membangun dunia. Jadi bekerja adalah salah satu bentuk ibadah. Jika premis ini kita terima, bahwa bekerja adalah ibadah, maka di mana pun kita bekerja, berarti di situ kita beribadah. Tempat kerja kita adalah tempat ibadah, rekan-rekan kerja kita adalah rekan-rekan kita yang juga beribadah. Semua sarana dan prasarana yang kita pakai bekerja adalah sarana dan prasarana kita melaksanakan ibadah. Para pimpinan di tempat kerja kita adalah pimpinan untuk ibadah. Oleh karena itu, berbuat onar, mencuri, korupsi, berdemonstrasi di tempat kerja adalah berbuat onar, mencuri, korupsi dan berdemonstrasi di tempat ibadah.
Bekerja yang dihayati sebagai ibadah, sebagai bakti, sebagai pengabdian kepada Tuhan dan segenap atribut-Nya seperi keadilan, kebenaran, perdamaian, kemakmuran, kesatuan dan persatuan, pada dasarnya harus kita tunjukkan lewat memberikan diri, membagikan ilmu, pengetahuan, memberikan waktu, harta, dan hati kita kepada komunitas kita. Dan sekali lagi, tindakan ini penting sebenarnya demi kita juga, yakni supaya kita hidup sepenuh-penuhnya, sesejati-sejatinya, segembira-gembirnya dan sebahagia-bahagianya.
PS.
● Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Kang Pepih, tentang pengalmn bekerjanya sebagai "Homo Luden". Terima kasih kepda Pak Jansen H. Sinamo, Pak Tatag Utomo dan Pak Andrie Wongso, yang bukunya dipakai referensi dalam penulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H