Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bedah Buku: Abah yang Bersahaja

29 Januari 2016   10:22 Diperbarui: 29 Januari 2016   13:34 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="bedah buku Yosi, anak sulung Pak Sabda, Uskup Bandung, penulis dan Prof. Jakob Sumardjo."][/caption]Seorang bapak yang berpenampilan sederhana dengan paras yang mamancarkan kebijaksanaan mengayuh sepeda ontel. Kemilau dunia modern tak menyilaukan matanya. Kemajuan ilmu dan teknologi tak mengerdilkan jiwanya. Keberhasilan anak-cucunya tak mengendorkan semangat kerjanya.

Itulah Pak Sabda yang setia mengabdikan diri tanpa mengenal batas usia karena pelayanan sudah menjadi darah dan rohnya. Kalau Pak Sabda berbicara, semua diam, mengangguk setuju, dan siap melaksanakannya. Itulah sang Abah yang memiliki "sabda".

Demikian sepenggal sambutan Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto B. OSC, di hadapan sekitar 200 orang yang hadir dalam acara peluncuran buku Eduardus Sabda, Abah yang Bersabda dan Bersahaja, di aula SD St. Yusup Jl. Cikutra 7 Bandung, pada akhir tahun 2015 silam.

Buku biografi tentang seorang tokoh Sunda yang sepanjang masa kehidupannya mengabdikan diri di dunia pendidikan itu diterbitkan oleh Gramedia pada akhir Oktober 2015. Tidak hanya  peluncuran, tetapi sekaligus juga dilakukan bedah buku. Di samping Uskup Bandung, pembicara lain dalam bedah buku itu adalah Prof. Jakob Sumardjo, pakar Semiotika Sunda, yang konon kini dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jawa Barat.

Jika Uskup Bandung menjelujuri buku itu dari sisi nilai-nilai yang dikandungnya, Jakob mencoba mengulas dari sisi kesundaannya. Menurut budaya Sunda pada umumnya, figur Pak Sabda adalah menyimpang dari tradisi Sunda. Nama “Edo Sabda”, menunjukkan  adanya penyimpangan dari kolektivitas umum. Tidak ada kesan khas nama Sunda. Apalagi pendidikan yang ditempuhnya di sekolah  van Lith Muntilan, semakin membuat pola pikirnya menjauh dari kesundaannya, meskipun ciri khas kesundaan tetap melekat pada pribadinya.

Uskup Bandung yang pernah mengalami pendidikan dari Pak Sabda sewaktu kuliah di Fakultas Filsafat Unpar, dengan begitu jeli dan cermat mengungkap kembali nilai-nilai keteladanan yang diberikan sang figur. Bahkan penulisnya sendiri mengakui tidak pernah terpikir sebegitu kaya dan mendalamnya nilai-nilai yang dapat diungkapkannya.

[caption caption="bedah buku"]

[/caption]

Di balik kehidupan Pak Sabda yang luhur tersebut, ada seseorang yang tulus mendengarkan dan melaksanakan "sabdanya", yaitu Ibu Maria Magdalena Tarmini sebagai istri yang setia dan ibu yang lembut. Tanpa Ibu Tarmini, tak mungkin Pak Sabda menjadi Abah yang memiliki sabda seperti yang kita kenal. Kehadirannya yang tanpa ujaran pun ternyata menyampaikan "sabda" yang bertuah; membawa berkat dan memberi rahmat serta bimbingan dan tuntunan sebagai sesepuh yang bijaksana yang menerapkan kebenaran, kebaikan, dan kesantunan.

Jadwal hidupnya yang padat dan tak kenal lelah: mengajar, mengatur anak-anak asrama, menyiapkan tugas, dan mengurus anak-anak termasuk tugas "ibu rumah tangga" dengan keiklasan seorang ayah yang penuh kasih sayang menjadi "ajaran" bernas bagi anak-anaknya. Abah begitu kuat. Apih sangat rajin; luar biasa.

Ketegasannya dalam kebenaran yang diterapkan melalui disiplin yang tinggi kepada siapa pun dengan cara didikan Seminari Cadas Hikmat agar menguasai ilmu yang hikmat dan iman yang kuat menjadi sabda yang memotivasi anak-anak.

Kecintaan pada keluarga yang diperlihatkan melalui ketegasannya dalam mendidik anak-anaknya supaya mereka menjadi "orang" dan dalam mencari nafkah, menjadi sabda yang meneguhkan perjuangan anak-anaknya

Manajemennya dalam memimpin keluarga yang menggunakan prinsip api dan air, di mana Papih memarahi dan Mamih meredam menjadi sabda bagi anak-anak untuk tampil saling melengkapi dalam hidup antara suami dan istri jika kelak berkeluarga.

Prinsip hidupnya "More stick and less carrot theory" adalah bukti bahwa sabda tak bisa dibatasi oleh situasi, kondisi, dan emosi apa pun. Sabda adalah komitmen. Pola hidupnya yang gemar membaca telah menjadi "sabda" yang menyebabkan anak-anaknya gemar membaca. Daya humor yang menunjukkan keludikan dan kecerdasan karena kedalaman hidupnya telah menjadi sabda yang mencairkan situasi tegang dan mendekatkan relasi satu sama lain.

Kelekatannya dalam budaya Sunda menyebabkan para misionaris Ordo Salib Suci dan para frater menaruh kepercayaan untuk belajar bahasa Sunda seraya menggali nilai-nilai kehidupan, di antara kecerdasan dan keceriaan melalui cerita lucu.

[caption caption="bedah buku"]

[/caption]

Kesahajaannya menunjukkan imannya yang dalam: percaya bahwa Tuhan akan menafkahi keluarga hingga anak-anak pun berhasil dengan pendidikan tinggi melalui care; perhatian dan pemelihraan. Cintanya pada keluarga diwujudkan dalam care tersebut sehingga anak-anak sejak kecil diajar untuk saling mencintai, mengurus, dan memperhatikan. Kejujurannya menjadi prinsip kesahajaannya yang paling utama hingga saat dituduh tak jujur Abah Sabda marah besar, tetapi karena kesahajaannya Abah pun tak meluapkan kemarahannya melainkan memaklumi seraya berharap bahwa kebenaran akan terungkap dengan sendirinya.

Keadilanannya menjadi cara mendidik anak-anak bahwa semua anak dikasihi sekalipun dengan tuntutan yang berbeda sesuai dengan keadaan masing-masing. Kemurah-hatiannya ditampakkan dalam kesediaan dan kesukaan dalam berbagi dengan mereka yang hidupnya ternyata lebih "kurang beruntung" sekalipun tak berkelebihan bahkan berkekurangan. Kebijaksanaannya baik dalam hidup material, sosial, moral, dan spiritual yang terungkap dalam sikap hemat, jerih payah, bangga akan apa yang dimiliki supaya tak iri, usaha jujur dan kerja keras dengan tetap berdoa dan berharap pada Allah yang murah hati. Kebesaran dan kerendahan hatinya yang tampak saat Abah "mengalah" walau dituduh sangat menyakitkan telah meneguhkan ajarannya pada anak-anaknya untuk toleran dan mengalah pada yang kecil dan menghormati yang besar.

Prioritas pada kebutuhan menyebabkan Abah harus mengesampingkan berbagai keinginan. Kebutuhan harus dipenuhi bagaimana pun sulit dan susahnya; sekalipun harus banting-tulang dengan mengayuh sepeda. Sikap syukur tanpa mengeluhnya menjadi bukti kuat kesahajaannya. Abah menerima hidup sebagai realita yang harus disyukuri dan dijalani dengan tekun; tanpa mengeluh dan menyerah pada situasi.

Gaya hidup sederhana yang salah satunya tampak dalam mengayuh sepeda selama 33 tahun untuk mengajar dengan penuh semangat sekalipun gaji yang diterimanya kurang dari pas-pasan. Tentang bersepeda selama 33 tahun ini, menurut anak sulungnya, Yosi Sabda,  jika dalam sehari menempuh jarak 10 km saja, maka sepanjang masa 33 tahun, Abah telah bersepeda sejauh hampir 3 kali keliling bumi.

Membaca buku Abah Sabda seperti menyaksikan sebuah film menarik tentang perjuangan keluarga kudus yang mengisahkan pemuda Sabda dan pemudi Tarmini yang menjalin kasih dan berkeluarga dalam penghayatan iman kepada Allah berusaha menjadi orang tua kudus yang menjadikan doa sebagai fondasi hidupnya: rukun dan harmonis.

[caption caption="bedah buku"]

[/caption]

Demikianlah, acara peluncuran dan bedah buku itu menjadi semakin meriah ketika disediakan acara tanya jawab atau tanggapan. Seorang peserta, karena terkesan oleh nilai-nilai keteladanan yang terkandung dalam buku itu, sampai  mengusulkan agar buku itu dapat menjadi bacaan wajib bagi umat Sunda di Cigugur. 

Peserta lain merasa heran, belum pernah dia menghadiri acara peluncuran buku yang dihadiri sebegitu banyak orang, dan begitu antusianya mereka sampai tidak beranjak dari tempat duduk sampai acara selesai tuntas. Barangkali saja, karena yang hadir adalah mereka yang pernah bersentuhan dengan sang figur. Ada yang pernah menjadi anak didik/muridnya, mahasiswanya, rekan sekerja, atau bahkan rekan dalam organisasi dan sesama aktivis dalam berkarya bakti baik dalam bidang sosial, agama dan pendidikan.

Penulis sendiri punya pengalaman unik. Ketika buku penulis yang diterbitkan Kanisius, Pelangi Kehidupan 1 dan 2, diluncurkan oleh Direktur Penerbitnya sendiri, di Bandung, sekitar 7 tahun silam, yang hadir tak sampai 50 orang. Pada peluncuran buku "Abah" ini, peserta membludak. Antusias! Tidak mengada-ada, tetapi demikianlah adanya.

 

PS.

*) Foto dan gambar ilustrasi berasal dari dokumentasi Uskup dan keluarga Pak Sabda

*) Terima kasih kepada keluarga besar Pak Sabda yang telah sukses menggelar acara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun