Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Buluh yang Layu

8 Januari 2016   15:09 Diperbarui: 8 Januari 2016   16:23 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mengapa Om melakukannya? Tegakah Om menghancurkan masa depanku…., hidupku yang melulu kuabdikan pada Tuhan?” …  Air mata ini tak henti-hentinya mengalir deras. Namun dengan nada menyakitkan dia bilang, “Aku ingin membuktikannya...!”

Angin mendesau di luar. Setelah diam beberapa saat, dia berkata lagi, “Telah kusiapkan sebuah rumah untuk kita berdua, Suster! Jika kau tak keberatan, kita akan mengisinya berdua!” Kata-katanya yang tajam dan bernada angkuh itu menusuk ulu hati. Emosi ini segera terbakar!

“Om, tidak ingatkah Om pada tante dan anak-anak? Mana lagi masih ada Mak Tik?” kataku mulai berang.

“Gampang! Mereka toh sudah  punya tempat sendiri-sendiri,” jawabnya enteng sepertinya ingin lepas tanggung jawab.

“Tapi, aku tak rela dimadu! Bagaimana nasib mereka nantinya? Apakah aku akan rela mengalami hidup bersama sementara orang lain menderita? Tidak Om ! Tak mau aku menyakiti mereka!”

Kutatap wajahnya dengan berani. Ada rasa muak dalam dada. Ia pun tunduk, mempermainkan ujung mata buayanya. Dalam pikiran yang galau dengan hati yang telah remuk, kutantang dia dengan penuh  keberanian. Dalam hati aku membatin, kalau mau hancur ya sudah hancur saja sekalian!

“Baik, kalau memang om menghendaki ku, oke. Lepaskan kedua istri Om! Baru kita hidup bersama. Biar segalanya hancur sekalian…”

Dengan sigra kupunguti barang-barangku, lalu gopoh-gopoh aku menuju pintu. Kubuka, dan kutinggalkan tempat terkutuk itu dengan langkah-langkah gegancangan. Gusti, aku telah ternoda! Telah hancur hidup ini. Telah remuk hati ini! Gusti, nyuwun gunging samodra pangaksama!

Kuhentikan taksi dan kuminta mengantarkanku ke Katedral. Di gereja itu aku bersimpuh ndeprok di depan salib dan patung Bunda Maria. “Tuhan, kepada siapa lagi akau mengadukan hal ini kalau tidak kepada-Mu. Engkau Mahatahu Gusti! Engkau mengetahui segala-galanya sampai sekecil-kecilnya. Tidak ada rahasia yang dapat ditutupi. Di hadapan-Mu segalanya terang benderang. Kepada siapa lagi aku harus membawa beban berat keremukan hati, kehancuran hidup dan kekacauan pikiran ini kalau tidak kepada-Mu? Ampunilah ya Tuhan, dosa-dosaku. Ampunilah kesembronoan dan kecerobohanku. Tuhan dengarkan suara  sesakku!”

Hening. Sunyi. Sepi  di  gereja ini. Siang masih garang. Tak seorang pun ada dalam gereja ini. Oleh karena itulah aku dengan leluasa mengurai air mata…, berwawansabda dengan Yang Maha Pengampun. Di sini kudapatkan kedamaian. Di sini kuterima ketenteraman dan kesejukan.   Hati yang letih lesu, jiwa yag lelah, pikiran yang kacau, dada yang sesak, segalanya bermuara pada Hyang Maha Agung. Kuatkanlah aku ya Tuhan, agar aku mampu menghadapi kenyataan kehancuran ini…

Senja telah datang. Ketika kudengar langkah-langkah kaki  memasuki gereja, segera kuhapus air mata. Aku bangkit dan dengan langkah-langkah gontai kutinggalkan gereja setelah mengambil air suci dan membuat tanda  silang. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Satu yang masih kuingat. Aku harus segera  kembali ke biara di kota M. Di sana moeder dan para suster  pasti sudah menungguku untuk makan malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun