Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kredo Seorang Guru

28 September 2015   22:42 Diperbarui: 28 September 2015   23:04 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah “kredo” ini sengaja kami pungut dari hasrat yang menggelora dan senantiasa “menggoda” untuk menjadi guru yang baik. Pengalaman kami selama puluhan tahun menjadi guru dan berkecimpung di dunia pendidikan, akhirnya memantapkan gagasan kami untuk berkomitmen menjadi guru sepanjang hidup. Pengalaman itu pula yang menuntun kami memiliki keyakinan, kepercayaan sebagai guru yang mumpuni. Keyakinan sebagai guru yang mumpuni itu perlu senantiasa kami semai, kami pupuk dan terus kami kembangkan, kami perbaharui supaya tetap aktual dan mampu beradaptasi dalam segala kondisi dan situasi. Keyakinan sebagai guru yang mumpuni itulah kredo kami.

Wikipedia mencatat, “kredo” (bahasa Latin: credo) atau pengakuan iman merupakan pernyataan atau pengakuan rangkuman mengenai suatu kepercayaan. Dalam Bahasa Latin, kata credo berarti "aku percaya".  Kamus Bahasa Indonesia mengungkapkan “kredo” [Ltn] (1) pernyataan kepercayaan (keyakinan); (2) dasar tuntunan hidup.

Istilah “kredo” dalam dunia sastra, pernah dipopulerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri, pada tahun 1973, yang menulis kredo puisi. Isinya membebaskan kata dari beban makna yang diberikan kepadanya. Kemudian istilah “kredo” secara luas juga digunakan oleh sebuah perusahaan asuransi, dan bahkan sebuah organisasi kemahasiswaan KAMMI, juga menggunakan istilah ini dalam pernyatan sikap organisasinya (bdk. Kredo KAMMI).

Istilah “kredo” yang digunakan dalam tulisan ini berkaitan dengan pernyataan kepercayaan atau keyakinan yang dalam bahasa populer lebih dikenal dengan istilah belief.

Menurut Ensiklopedia Encarta (Adi W. Gunawan, 2012: 28) belief atau kepercayaan artinya:

  • Penerimaan akan kebenaran sesuatu; penerimaan oleh pikiran bahwa sesuatu adalah benar atau nyata, seringkali didasari perasaan pasti yang bersifat emosional atau spiritual.
  • Keyakinan bahwa seseorang atau sesuatu bersifat baik atau efektif.

Secara sederhana belief dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang kita yakin benar. Begitu kita meyakini sesuatu sebagai hal yang benar, kita akan sulit mengubah keyakinan itu. Mengapa? Karena memang begitulah sifat kita sebagai manusia.

Ada banyak contoh belief, di antaranya:

  • Hidup adalah perjuangan.
  • Uang itu sumber kejahatan.
  • Cari uang itu susah.
  • Bekerja itu melelahkan.
  • Cinta adalah kasih sayang yang indah.
  • Sukses adalah kebahagiaan.
  • Menjadi guru itu susah.
  • Menjadi guru itu menyenangkan.
  • Menjadi guru itu tidak bisa kaya.

Nah, keyakinan-keyakinan (beliefs) semacam itu sangat memengaruhi diri kita. Ketika kita berpikir ingin melakukan sesuatu, belief itu muncul ke permukaan. Akhirnya kita tidak melakukannya. Kalau pun kita melakukannya hanya dengan setengah hati, tidak sungguh-sugguh.

Misalnya, kita ambil contoh belief “Menjadi guru itu susah”. Nah, ketika kita berpikir bahwa menjadi guru itu susah, maka seluruh tubuh dan otak kita meyakini hal itu, dan akhirnya terjadi demikian.

Ketika kita mengatakan “menjadi guru itu susah”, maka meskipun kita sudah berprofesi sebagai guru, dan banyak tawaran peluang untuk meningkatkan profesionalisme kita sebagai guru, alam bawah sadar kita akan mengatakan, “menjadi guru itu susah”.

Mungkin dulu kita pernah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, gagal memberikan pelajaran di kelas, dilecehkan oleh siswa, atau dihina oleh guru lain, sehingga meskipun kita terus menerus berusaha tetapi tidak ada yang mendukung, akhirya kita menyerah. Lalu kita setuju dan mengambil kesimpulan bahwa menjadi guru itu susah.

Jadi, untuk menjadi belief, menurut Adi W. Gunawan (2012: 29), dibutuhkan dua hal, yaitu klaim/ide dan persetujuan. Persamaannya : Ide + Persetujuan = Belief. Selanjutnya Adi memberi contoh begini. Sering kita mendengar orang berkata, “Ini sangat mudah.” Sesungguhnya, di balik pernyataan itu adalah, “Persetujuan saya atas pernyataan (ide) ini sangat kuat.”

Ada belief yang mendukung (positif), ada pula belief yang menghambat (negatif). Belief positif sering disebut empowering belief, adalah belief yang memberdayakan kita untuk menjadi sukses. Memberdayakan artinya membuat kita menjadi lebih positif, lebih yakin dengan keberadaan kita. Misalnya, “Bila orang lain dapat menjadi guru yang sukses mengajar di kelas, saya pun pasti mampu, karena kita kan sama-sama manusia, sama-sama makan nasi”. Jika kita punya keyakinan (belief) seperti ini, kita pasti dapat lebih sukses dari posisi sekarang.

Belief yang negatif sering disebut mental block, atau keyakinan (belief) yang menghambat, menyabotase. Jika kita memiliki keyakinan seperti ini, kita seperti terbelenggu, ter-block, sehingga kita tidak jadi melakukan sesuatu atau melakukannya dengan setengah hati. Contoh mental block seperti ini: “Menjadi guru itu susah”, atau “Menjadi guru itu penuh perjuangan”.

Dari mana asalnya keyakinan atau belief itu?  Mengapa kita memiliki keyakinan yang mendukung (positif) dan menghambat (negatif)? Kita mempelajari dan menerima keyakinan / belief yang berasal dari kebudayaan kita, keluarga kita, pengondisian (pemrograman), sosial dan psikologis, media massa dan dari berbagai pengalaman hidup kita.

Bila kita memiliki keyakinan positif atau empowering belief, kita perlu menambahkan efek positifnya dengan mencari bukti-bukti pendukung. Bila kita punya keyakinan negatif atau mental block, mari kita buat menjadi positif. Untuk membuat keyakinan negatif menjadi positif kita perlu membuang alasan-alasan yang mendukungnya, memotong “kaki-kaki”nya.

Keyakinan / belief itu dapat diibaratkan seperti meja. Meja dapat berdiri tegak karena ada kaki-kaki yang mendukungnya. Keyakinan, baik positif maupun negatif, dapat terjadi karena ada “kaki-kaki” yang mendukungnya, alasan-alasan yang menopangnya. Semakin banyak alasan, “kaki-kaki” yang mendukung, semakin kuatlah keyakinan itu.

Nah, jika kita memiliki keyakinan negatif, tugas kita adalah “memotong kaki-kaki” itu, membuang jauh-jauh alasan-alasan itu, dan menggantikannya dengan alasan-alasan positif. Contohnya untuk keyakinan / belief negatif, “Saya tidak dapat menjadi guru yang sukses di kelas.” Mungkin alam bawah sadar kita terbelenggu oleh keyakinan ini. Mungkin karena alasan-alasan ini: Ya, terang saja saya tidak dapat sukses di kelas karena saya tidak punya fasilitas yang lengkap. Saya tidak dapat sukses karena saya kan berasal dari kampung. Saya kan cuma guru biasa, tidak  punya jabatan lain... dan masih banyak lagi alasan lain...

Jika kita memiliki keyakinan negatif seperti itu, tugas kita sekarang adalah “memotong kaki-kaki” negatif itu dan menggantikannya dengan “kaki-kaki” positif. Misalnya saja, “Siapa bilang kalau tidak punya banyak fasilitas, kita tidak dapat sukses di kelas? Banyak lho orang yang fasilitasnya terbatas tetapi dia tetap sukses. Contohnya Bu Een Sukaesi (almarhumah) dari Sumedang. Meskipun lumpuh, beliau dapat tetap menjadi guru yang disegani dan dihormati.  Contoh lain, Butet Manurung dengan “sokola rimba”nya, tak banyak fasilitas tapi dia tetap dapat mengajar dengan sukses. Dan masih banyak lagi.

“Ubahlah keyakinan Anda, dan Anda akan mengubah nasib Anda”, kata Sterling W. Sill.  

Dari berbagai pengalaman menjadi guru ditambah hasil diskusi dengan rekan-rekan sejawat masih ditambah lagi berbagai sumber bacaan dan renungan, akhirnya kami berani mengumandangkan belief atau keyakinan: “Kredo Seorang Guru” yang kami racik sebagai berikut.

  1. Menjadi guru adalah sebuah panggilan. Panggilan menurut arti katanya adalah imbauan; ajakan; undangan. Imbauan, ajakan dan undangan untuk melakukan sesuatu yang baik. Tuhan memanggil kita untuk “hamemayu hayuning bawana”, mempercantik, memperidah, memperelok dunia yang kita huni ini. Panggilan juga berarti imbauan, ajakan dan undangan untuk melaksanakan tugas, tanggung jawab, kepercayaan yang diberikan oleh Sang Khalik  kepada manusia. Panggilan merupakan konsekuensi yang sebaiknya dipenuhi secara bertanggung jawab,  dan tanggung jawab yang sebaiknya dipenuhi secara konsekuen.  Panggilan juga merupakan undangan. Orang yang diundang adalah orang yang terpilih, orang yang dipercaya. Namanya tercatat dalam ingatan seseorang yang mengundang. Mengundang berarti menghargai, menghormati, dan mengasihi yang diundang. Tuhan mengimbau, mengajak, dan mengundang kita semua untuk hidup sesuai kehendak-Nya.
  1. Menjadi guru adalah anugerah. Menurut KBBI anugerah adalah pemberian atau ganjaran dari pihak atas (orang besar dsb) kepada pihak bawah (orang rendah dsb); karunia (dari Tuhan). Anugerah adalah hadiah, pemberian yang disampaikan  dengan ikhlas. Hidup adalah anugerah istimewa secara cuma-cuma. Kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini seperti yang kita inginkan, tetapi kita sudah menerimanya begitu saja, bukan karena kemauan kita, tapi kehendak Yang Maha Kuasa. Karena hidup ini merupakan hadiah istimewa, maka perlu kita syukuri, kita kembangkan secara optimal. Kita sudah dikasihi, maka dalam hidup ini kita juga harus mengasihi dan melayani. Mengasihi atau mencintai sesama dan melayani dengan sepenuh hati. Jika kita sudah menerima hidup secara cuma-cuma, maka kita pun perlu meneruskan kembali, memberikan hidup kita dengan mencintai dan melayani sesama secara tulus. Sebagaimana pemberian atau hadiah (kado), maka kita ingat, ada hadiah yang bungkusnya bagus, isinya juga bagus. Ada hadiah yang bungkusnya bagus isinya tidak bagus. Ada hadiah yang bungkusnya tidak bagus, namun isinya bagus. Ada pula hadiah yang baik bungkus maupun isinya tidak bagus. Sebagai suatu hadiah kepada orang lain kita ini hadiah yang bagaimana?
  1. Menjadi guru adalah pilihan. Sejak awal kita adalah manusia yang dikaruniai kebebasan. Kita bebas menentukan pilihan hidup kita. Akan menjadi seperti apakah diri kita adalah sepenuhnya tergantung pada kita sendiri. Sang Pencipta memercayakan kepada kita bahwa kitalah yang menentukan nasib kita sendiri. Tuhan telah menyediakan segalanya kepada kita. Kitalah yang menentukan pilihan. Di hadapan kita disediakan berbagai macam pilihan, ada berkat, ada kutukan. Tinggal kita yang menentukan mana yang kita pilih : menjadi berkat atau kutukan. Semua terserah pada kita!
  1. Menjadi guru adalah ibadah. Ibadah artinya berbuat kebaikan, beramal. menjadi saluran berkah. Tugas menjadi guru adalah menyampaikan pelajaran, informasi, hal-hal yang baik dan bermanfaat, kabar-kabar yang menyenangkan dan menginspirasi, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang positif untuk membangun kehidupan yang lebih baik, lebih layak, yang pada ujungnya adalah membangun dunia baru, dunia masa depan yang lebih manusiawi, berkeadaban, aman, damai, bahagia, sentosa dan sejahtera. Karena menjadi guru adalah ibadah, maka perlu dilakukan dengan ikhlas, rendah hati, jujur, setia, penuh keyakinan, harapan dan cinta.
  1. Menjadi guru adalah proses pembaharuan diri yang berkelanjutan. Kita tidak hanya mengajar tetapi juga belajar. Kita belajar memahami siswa, memenuhi kebutuhannya, menciptakan iklim supaya siswa-siswa mencapai kedewasaan optimal. Pembelajaran yang kita lakukan harus senantiasa terbarukan. Oleh karena itu belajar tidak kunjung henti, sepanjang hayat, sehingga kita terus dapat beradaptasi dalam segala kondisi dan situasi. Kita belajar tidak hanya di bangku sekolah, tetapi juga dalam kehidupan. Pembelajaran yang kita lakukan kita tularkan juga pada para siswa. Bahwa di sekolah kita belajar dulu baru kita menghadapi ujian. Dalam kehidupan kita diuji dulu, baru kita belajar dari ujian itu. Sepanjang hidup kita adalah proses belajar. Belajar bersyukur meski tak cukup, belajar ikhlas meski tak rela, belajar taat meski berat, belajar memahami meski tak sehati, belajar sabar meski terbebani, belajar setia mesti tergoda, belajar memberi meski tak seberapa, belajar mengasihi meski disakiti, belajar tenang meski gelisah, belajar percaya meski susah. Belajar dan terus belajar, sampai pada akhirnya Tuhan yang menyempurnakannya.

Untuk mendukung kredo, keyakinan, belief positif ini kita perlu membangun “kaki-kaki”, alasan-alasan yang dapat menguatkannya. Dengan demikian, kredo kita makin lama makin berdampak positif bagi kita. Oleh karena itu, setiap hari kita perlu mengucapkan deklarasi  kegembiraan dan penegasan sukacita, sehingga benar-benar akan mengubah “nasib” kita.

DEKLARASI KEGEMBIRAAN

Menggugah Kegembiraan

Saya menyadari bahwa hidup saya

adalah sebuah kegembiraan

Saya mencari Rahmat dalam setiap keadaan

 

Karena diperbaharui oleh hubungan kreatif saya

dengan semesta alam, dengan gagah berani

saya menempuh kehidupan saya dengan kegembiraan

kebaikan, keindahan, dan kegembiraan

yang semakin bertambah

 

Karena saya hidup dalam kegembiraan

saat demi saat, saya merupakan berkah bagi semua orang

yang saya kenal, semua yang saya dukung,

dan semua yang saya kasihi.

 

Saya melihat dunia saya melalui kacamata

kegembiraan dan saya menjadi ceria, dilindungi,

dan dikasihi seutuhnya.

 

MULAILAH HARI INI

DENGAN PENEGASAN SUKA

 

Bacalah keras-keras tiap hari !

Hari ini akan penuh kebahagiaan

Saya gembira karena hidup, sadar, dan penuh semangat.

Saya bergembira.

Saya melihat diri saya sendiri sedang mengungkapkan sukacita

sepanjang hari dengan segala cara

Saya hidup, tumbuh subur, dan membuat diri saya berbahagia.

Saya suka bangun dengan tersenyum.

Saya menyukai setiap kegiatan saya, terutama pekerjaan saya.

Saya membagikan sukacita saya dengan siapa saja yang saya jumpai.

Saya mengharapkan sukacita dalam setiap perjumpaan dan hal itu terjadi.

Sukacita saya mengundang sukacita dalam diri orang lain.

Sukacita adalah hak asasi saya.

Saya memupuk suka cita dalam kehidupan saya.

Saya, sebagaimana adanya, membuat saya bahagia.

Jadi, apa pun saya ini, menyenangkan saya.

Saya melompat dari satu kebahagiaan ke kebahagiaan lain.

Saya suka bersenang-senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun