Mohon tunggu...
Sugiharto Purnama
Sugiharto Purnama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Bandung angkatan 2011. Dan telah mengambil Jurusan Jurnalistik, terhitung sejak September 2012 lalu. || Harapan: bisa menjelajahi setiap provinsi di Indonesia sebelum umur menyentuh kepala tiga. Setelah itu, berkeliling dunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Laki-laki Pengukir Angin

30 Agustus 2012   04:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_209496" align="aligncenter" width="491" caption="Cecep pemilik sanggar DAP di desa Babakan Tiga, Ciwidey, Jawa Barat tampak sedang mengajari murid-muridnya menari."][/caption]

Kompasiana.com - Awalnya, tari tradisional terbentuk dari masyarakat, sesuai dengan kehidupan sosial mereka yang dipengaruhi oleh kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kini, tari tradisional banyak mengalami pengembangan yang lahir dari kreativitas masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahaan zaman, (Ensiklopedia Jawa Barat, 3:77).

"Jangan dulu ngomong budaya apabila Anda tidak tahu mengenai budaya," pesan Ade Nana, Kabid Seni SMK Negeri 10 Bandung.

Sudah sejak lama Jawa Barat termasyur dengan perempuan berparas cantik. Penari yang melenggangkan pinggul dengan jemari lentiknya, mata siapa yang tidak terpikat. Kemajuan global membuat dunia seni mendapatkan imbasnya, perubahan gerakan dan tampilannya pun harus mengikuti arus zaman. Seperti halnya pembungkusan dari Ketuk Tilu, Kliningan-Banjidoran hingga menjadi Jaipong yang dikenal sekarang.

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia sempat dibuat terperanga sekaligus geger gara-gara sebuah film berjudul "Arwah Goyang Karawang". Film yang dibintangi dua aktris seksi Julia Perrez dan Dewi Persik ini bercerita tentang kemistisan tari jaipong, tarian khas Jawa Barat. Namun, film ini menuai kritikan keras karena telah membuat pandangan yang salah tentang tari jaipong kepada masyarakat luas. Digambarkan bahwa pada film itu, penari memakai kostum yang mengumbar keindahan lekukan tubuh dan cenderung melakukan gerakan-gerakan mengarah ke seksualitas. Padahal, sejatinya tarian tradisonal memang memiliki unsur yang eksotis tetapi tidak mengumbar hal yang berbau erotis. Ini jelas menjadi semacam pelecehan, khususnya bagi perempuan yang memang melakoni profesi sebagai penari. Tidak hanya itu saja, beberapa jenis tarian sunda lainnya juga dituding memiliki unsur berbau seksual. Secara tidak langsung hal itu tentu saja merendahkan dan melecehkan martabat perempuan.

"Kalau kita berbicara tentang budaya maka perlu dihayati, lepaskan pemikiran kita dan rasakan. Sebab, apabila seni itu dirasakan maka nilainya akan beda," jelasnya.

Miris, Kehidupan Seniman Tari

Berbicara tentang penari pasti yang tergambar dalam benak adalah wanita berparas cantik, putih dan mulus. Beda dengan yang terdapat di sanggar Dwi Artha Production (DAP), desa Babakan Tiga, Ciwidey, Jawa Barat. Pemilik sanggar tersebut adalah seorang lelaki yang jika dilihat sepintas tidak memiliki wajah layaknya penari. Bapak yang kesehariannya ini adalah seorang ketua RW ternyata pemilik sanggar tersebut. Dia melatih anak-anak sekolah menari berbagai tarian tradisional Jawa Barat, mulai dari Jaipong, ketuk tilu, Kliningan hingga kreasi. Menjadi seniman terkadang tidak dibayar, begitulah hal yang dirasakan Cecep R. selaku seniman tari.

Lokasi sanggar yang terpencil membuat sanggar ini sulit terendus pemerintahan, bahkan dia menjelaskan belum ada bantuan sepeserpun dari pemerintah Jawa Barat terhadap sanggar tari yang dikelolanya. Dia hanya mengharapkan seniman itu dihargai karyanya, bukan dengan uang.

Dia menerangkan kalau banyak seniman itu terkesan kampungan lantaran kurang tereksposnya seni tersebut ke masyarakat luas. Bapak yang sehari-hari menjabat selaku ketua RW ini menghimbau kepada pemerintah agar kebudayaan Jawa Barat lebih diperhatikan lantaran kebudayaan adalah identitas suatu daerah dan negara.

Hal senada juga dikeluhkan Cecep Gundawan guru seni di SMP Negeri 1 Ciwidey, selain mengajar seni di sekolah, saya juga mengajar seni di luar kelas. Sekarang saya masih honor di sekolah sejak tahun 1995. Pemerintah tidak ada tanggapan terhadap para seniman di desa, kadang-kadang para seniman seni merasa ngeri untuk melakukan kegiatan kesenian lantaran tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah.

Tari adalah perpaduan olah gerak tubuh serta keindahan yang dipadukan musik pengiring yang membuat tari makin kompleks keindahannya sehingga bisa membius setiap mata yang menikmatinya.

Perhatian minim pemerintah terhadap kelestarian seni tari tradisional, membuatnya akan terus berkarya hingga tuhan mencabut nyawanya. "Kalau ditanya sampai kapan saya akan tetap mengajar tari? Maka jawabannya adalah selama saya hidup di dunia hingga tuhan mencabut nyawa saya," tukas Cecep R. pemilik sekaligus pengajar seni tari di DAP.

Ada hal yang membuat penulis terkagum dengan kegigihan mereka. Meski mereka adalah laki-laki, mereka tetap mengukir angin, berusaha melestarikan seni dan budaya sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah kelahiran. Tak peduli itu adalah sebuah pekerjaan yang identik dengan perempuan. Rasa cinta terhadap seni dan budaya tradisional Indonesia telah mengalahkan kepedihannya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun