Mohon tunggu...
Sugiharto Purnama
Sugiharto Purnama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Bandung angkatan 2011. Dan telah mengambil Jurusan Jurnalistik, terhitung sejak September 2012 lalu. || Harapan: bisa menjelajahi setiap provinsi di Indonesia sebelum umur menyentuh kepala tiga. Setelah itu, berkeliling dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkelakar di Tepian Memori

30 Agustus 2012   05:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13463068811336849670

Waktu hanya akan meninggalkan sejarah tapi tulisan akan mengukir sejarah yang terlupakan tersebut.

Entah seberapa sering aku mendengarkan ceritamu yang dibumbui derai air mata. Entah seberapa sering aku melihatmu meneteskan air mata. Kala itu engkau sering bercerita tentang sekolahmu, temanmu, hingga keluargamu. Entah seberapa sering pula engkau menelponku dan membangunkan tidurku untuk didengarkan bercerita melewati malam yang menyeberang.

Aku masih ingat saat dimana kita bertemu. Aku bikin janji bertemu di toko kaset mini di pinggiran kota, karena aku tahu kamu suka nonton film. Meski aku tak suka nonton film tapi aku bikin janji untuk ketemu di sana dan bilang kalau aku akan bicarakan sesuatu hal yang sangat penting. Aku melihat engkau sudah berada di sana dan asyik memilah-milih film yang akan engkau tonton. Lalu, engkau menawariku bebas memilih film apapun tapi aku menolak dengan alasan, aku lagi sibuk banyak tugas sekolah yang harus segera dikerjakan.

Kala itu hujan deras masih melanda toko kaset tersebut. Lalu, engkau berkata lirih kalau engkau sangat menyukai hujan. Sebab, hujan membuatmu nyaman. Aku menanggapinya dengan hanya tersenyum meski sebetulnya aku tak suka hujan, aku lebih suka senja yang membuatku hangat. Setelah itu, engkau mempertanyakan hal apa yangakan aku bicarakan. Aku terdiam mematung seolah lidahku memendek. Lalu, engkau terus memaksaku untuk berbicara. Tetap aku tak mau berbicara. Engkau berkata kalau kamu paling tidak suka dibuat penasaran. Aku tertunduk seolah bersalah. Entah berapa lama kita saling membisu di tempat itu, menanti hingga hujan mereda hingga kita berpisah di persimpangan jalan dan engkau masih terlihat membuncah.

Malam harinya aku memberanikan diri untuk mengatakan tentang apa yang mau aku sampaikan di toko kaset sore itu. Aku bilang, sore itu sebetulnya aku mau menyatakan perasaan kalau aku sayang kamu. Lagi dan lagi aku meminta maaf karena telah membuatmu cemberut. Lalu, engkau menaggapi dengan berkata kalau kamu menerima permintaan maafku.

Beberapa bulan berjalan dengan tawa, tangis, sedih bercampur bagai larutan kopi susu. Aku ingat kala itu hubungan merenggang karena ada orang lain yang masuk di kehidupan. Lalu, membuat kita menyudahi semuanya. Aku tak dendam pada hujan yang hanya menyisakan kelam dan lumpur yang kecoklatan.

Tiga tahun berlalu memang bukan waktu yang sedikit. Sekarang, Aku melihat engkau kian tumbuh dewasa dan cantik, senyummu kian manis tersuguh di wajah teduhmu. Terkadang aku rindu masa itu masa dimana kita sering manghabiskan malam yang menyeberang, memperdebatkan hujan dan senja, berkelakar soal dunia, hingga mendengarkanmu berceloteh bagai Murai. Aku rindu masa itu. Dimana kita diberhentikan hujan dan dimana kita disatukan senja di tepian laguna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun