Ing ngarso sung tulodo berarti yang di depan menjadi contoh/ panutan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan dirinya sebagai panutan, bahwa apapun langkah-langkah hingga kepada penentuan keputusan yang dilakukannya akan menjadi contoh dikemudian hari bagi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya. Sehingga dalam penentuan keputusan terutama yang menyangkut dilema etika, seorang pemimpin harus memberikan tindakan dan perkataan yang terpuji dan berlandaskan nilai kebajikan universal.
Ing madya mangun karso berarti di tengah berbuat penjalaran (keseimbangan). Seorang pemimpin dalam menerapkan pengambilan keputusan hendaknya menempatkan dirinya pada posisi seimbang antara dua pilihan dilema etika, Tidak memihak kepada sebuah pilihan, apalagi melibatkan ego atau kedekatan emosional. Selain itu dalam penentuan keputusan selayaknya mempertimbangkan prinsip melakukan apa yang Anda harapkan orang lain akan lakukan kepada diri Anda. Artinya, seorang pemimpin harus mampu menempatkan dirinya dalam posisi masing-masing antara dua kepentingan dilema etika tersebut. Melihat sebuah kasus dari sisi berbeda, dengan maksud agar semakin banyak pertimbangan nilai-nilai kebajikan yang menjadi bahan dalam penentuan keputusan.
Tut wuri handayani berarti di belakang membuat dorongan. Seorang pemimpin dalam melakukan langkah pengambilan keputusan diharapkan mampu mendorong munculnya ide-ide pendukung dari para penentu kebijakan di sekolah ataupun orang-orang yang terlibat dalam dilema tersebut. Ide-ide tersebut lahir dalam proses kolaborasi ketika melakukan langkah penentuan keputusan terkait dilema etika. Sehingga dalam hal ini seorang pemimpin bukan memaksakan sebuah keputusan namun keputusan tersebut lahir akibat dari langkah-langkah penentuan keputusan dengan mempertimbangkan prinsip dan paradigma serta dasar-dasar dalam pengambilan keputusan.
Dalam pengambilan suatu keputusan, seringkali kita bersinggungan dengan prinsip-prinsip etika. Etika di sini tidak berkaitan dengan preferensi pribadi seseorang, namun merupakan sesuatu yang berlaku secara universal. Seseorang yang memiliki penalaran yang baik, sepantasnya menghargai konsep-konsep dan prinsip-prinsip etika yang pasti. Prinsip-prinsip etika sendiri berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati dan disetujui bersama, lepas dari latar belakang sosial, bahasa, suku bangsa, maupun agama seseorang. Diane Gossen (1998) seorang pakar pendidikan dan praktisi disiplin positif berpendapat bahwa bila kita ingin menumbuhkan motivasi instrinsik dari dalam diri, maka tumbuhkan pemahaman terhadap nilai-nilai kebajikan universal itu sendiri. Dengan memahami, memiliki dan menerapkan nilai-nilai kebajikan universal, maka langkah pengambilan keputusan akan berjalan benar dan tidak merugikan orang lain. Tentunya dalam pengambilan suatu keputusan, seorang pemimpin hendaknya selalu berdasarkan pada keberpihakan pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal, dan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang diambil.
Di awal tulisan telah dikemukakan bahwa seorang pemimpin hendaknya dapat menerapkan tut wuri handayani (di belakang membuat dorongan). Seorang pemimpin dalam melakukan langkah pengambilan keputusan diharapkan mampu mendorong munculnya ide-ide pendukung dari para penentu kebijakan di sekolah. Dorongan ide-ide sebagai bahan pertimbangan penentuan keputusan dilakukan dengan metode coaching, menggali segenap potensi yang ada dalam diri penentu kebijakan ataupun orang-orang yang terlibat dalam dilema tersebut dengan tujuan pengambilan keputusan yang dilakukan haruslah penuh pertimbangan, mengedepankan nilai moral dan mampu melihat berbagai sisi dan kemungkinan yang akan ditimbulkan oleh masing-masing pilihan. Dengan pengambilan keputusan melalui pendekatan coaching , diharapkan penentuan keputusan dapat berjalan secara efektif dan tanpa menimbulkan pertanyaan atau masalah baru sehingga kasus awal akan berjalan berlarut-larut tanpa penyelesaian.
Seorang guru atau pemimpin sangat penting untuk memiliki kompetensi sosial emosional yang baik. Penentuan keputusan secara kolaboratif oleh pimpinan bersama penentu kebijakan sekolah diharapkan dapat menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Seorang guru/pemimpin harus mampu mengenal emosi, perasaan, dan pikiran apa adanya, tanpa penilaian dan penghakiman, namun dengan kepedulian (kesadaran diri). Pengenalan dan penerimaan emosi, perasaan, dan pikiran yang sedang dialami, akan membuatnya mampu mengidentifikasi cara pengelolaan yang tepat (manajemen diri). Selanjutnya, emosi yang telah dikenali, diterima, dan dikelola akan menumbuhkan empati dan pikiran yang terbuka untuk memahami orang lain dan situasi di luar diri dengan sikap yang netral (kesadaran sosial). Hal ini membuka ruang yang luas bagi suatu relasi positif dapat terjalin (keterampilan berelasi). Saat akan mengambil keputusan atau berdasarkan nilai moral dan etika, memikirkan konsekuensi, maka akan timbul rasa bertanggung jawab atas setiap keputusan yang dibuat apapun hasilnya. (pengambilan keputusan yang bertanggungjawab). Guru/pemimpin tersebut akan terlatih secara individu untuk lebih terhubung dengan diri sendiri dan orang lain. Hal ini akan menjadikannya lebih responsif dalam hubungan interpersonal dan pengambilan keputusan yang tentunya diambil dengan nilai-nilai moral yang telah dimilikinya.
Dalam melakukan pembahasan sebuah studi kasus yang melibatkan masalah moral atau etika, maka seorang pemimpin haruslah kembali pada nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai tersebut adalah nilai kebajikan universal yang tentunya berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif. Segala hal yang dilakukan, harus bergeser dari pemuasan kepentingan diri sendiri, maupun pihak lain yaitu pihak yang terlibat dalam dilema etika, menuju kepentingan pembelajaran murid. Seorang pemimpin akan selalu berpikir mengenai pertanyaan utama yang mendahulukan muridnya, seperti: “apakah keputusan ini sesuai dengan yang murid butuhkan?”, “apa keputusan ini dapat menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang lebih baik?”, “apakah pilihan ini dapat membuka lebih banyak kesempatan bagi anak untuk mewujudkan dunia yang mereka idamkan?”, dan lain-lain. Seorang pemimpin yang mandiri memiliki daya lenting dan terpacu untuk memperhatikan kualitas kinerja dan hasil kerja mereka. Melalui pembahasan studi kasus diharapkan dapat meningkatkan kualitas pemikiran seorang kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolahnya. Dengan mengamalkan nilai reflektif, seorang pemimpin memanfaatkan pengalaman sebagai pembelajaran untuk menuntun dirinya dan guru dalam menangkap pembelajaran positif, dari sebuah kasus terdahulu ataupun yang terjadi saat ini, sehingga mampu menjalankan perannya dari waktu ke waktu. Dia memiliki daya saing yang tinggi karena mereka sadar akan hakikat persaingan. Mereka akan bersaing dengan potensi dan upaya diri mereka sendiri. Dengan begitu, mereka terus mengupayakan peningkatan efikasi dirinya, bagaimana mendorong dirinya untuk membuat pilihan-pilihan masuk akal dan bertanggung jawab dari sebuah studi kasus, untuk memperbaiki kualitas kinerja dan hasil kerjanya, serta bergeser dari dorongan perubahan diri yang sifatnya eksternal menuju penguatan dorongan diri yang bersifat internal. Seorang pemimpin yang menjiwai nilai kolaboratif mampu membangun rasa saling percaya dan saling menghargai, serta mengakui dan mengelola kekuatan serta perbedaan peran tiap pemangku kepentingan di sekolah, sehingga tumbuh semangat saling mengisi dan saling melengkapi. Pemimpin diharapkan mampu mengomunikasikan kepada semua pihak mengenai pentingnya keberpihakan pada murid dalam penentuan keputusan dilema etika. Berkaitan dengan nilai inovatif, seorang pemimpin dalam penentuan keputusan, berkenan mengadopsi multiperspektif, mencari dan membuat alternatif, mengubahsuaikan gaya dan kecenderungan lama, untuk mewujudkan perubahan dan bergeser dari pandangan yang ego-sentris serta sempit menuju pandangan-pandangan alternatif dan luas serta nilai pantang menyerah (daya lenting) serta jeli melihat peluang/potensi yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat diterapkan dalam langkah penentuan keputusan yaitu mencari alternatif jalan keluar selain dua pilihan dilema etika yang dapat dilakukan yang tentunya tetap dengan dasar untuk mendukung dan meningkatkan kualitas pembelajaran murid.
Dengan pengambilan keputusan yang tepat dan dilakukan dengan menerapkan berbagai nilai-nilai seorang pemimpin, kompetensi sosial emosional yang baik dan tepat dengan berdasar kepada keberpihakan pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal, dan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang diambil, tentunya hal tersebut akan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman. Hal ini disebabkan karena seluruh pihak akan merasa nyaman karena pengambilan keputusan telah melalui berbagai tahapan, beberapa pertimbangan dan menerapkan kolaborasi antara penentu kebijakan sekolah dan pihak yang terlibat didalamnya. Sehingga walaupun dilema etika adalah sebuah pilihan yang sulit karena mempertentangkan dua kepentingan yang sama-sama mengandung nilai-nilai kebenaran, namun dengan manajemen yang tepat dari seorang pemimpin, kesulitan tersebut dapat diatasi bersama. Diharapkan akhirnya studi kasus yang terjadi dapat menjadi sebuah pengalaman yang berharga dan terbaik dan dapat dijadikan sumber referensi ketika mengalami kasus yang sama dikemudian hari.
Sebagai seorang Calon Guru Penggerak, saya melihat bahwa terdapat tantangan dalam lingkungan sekolah saya untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini. Tantangan tersebut berupa latar belakang sosial ekonomi orangtua yang beragam, mulai dari tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi dan karakter diri pribadi masyarakat. Terkadang dalam sebuah kasus, utamanya yang melibatkan murid dan orang tua, masalah yang timbul karena situasi dan kondisi murid atau keluarganya. Bahkan dalam proses penentuan keputusan, seringkali terdapat bujukan atau dorongan untuk memilih keputusan yang menguntungkan pihak yang melibatkan orangtua tersebut. Namun dengan penerapan berbagai prinsip, nilai, dan paradigma penentuan keputusan, pihak sekolah dapat menentukan keputusan yang bertanggung jawab, berdasarkan nilai kebajikan dan tentunya untuk kepentingan murid.
Dengan demikian pengambilan keputusan yang diambil tentunya akan berpengaruh positif terhadap pengajaran yang memerdekakan murid. Salah satu contoh adalah penentuan keputusan di kelas yang melibatkan murid. Seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelasnya, sejogyanya melakukan pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan muridnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa kebutuhan murid dapat dipetakan atas 3 (tiga) tinjauan yaitu, perbedaan kesiapan belajar, profil (gaya belajar) dan minat belajar. Ketika guru dan murid dihadapkan pada sebuah dilema etika, guru melakukan langkah penentuan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan murid tersebut. Sehingga keputusan proses pembelajaran yang terjadi dapat menyenangkan dan membahagiakan buat murid.
Dalam proses pembelajarannya, guru sebagai pemimpin pembelajaran memberikan tuntunan moral tentang nilai-nilai kebajikan yang terwujud tutur kata dan perbuatannya. Sehingga dalam mengambil keputusan , hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya. Keputusan yang diambil seorang guru, terutama dalam pengelolaan pembelajarannya, akan dijalani oleh murid sebagai bagian dari proses pengalaman belajarnya. Apapun penentuan langkah dan keputusan yang diambilnya akan berdampak secara langsung terhadap muridnya. Pembelajaran di kelas yang dilakukan bersama murid dan guru adalah bagian dari proses pendidikan murid untuk meraih tujuan belajarnya. Setiap jam yang dilalui murid di sekolah setiap hari akan menjadi bagian memori ingatan murid yang akan meninggalkan kesan positif atau negatif tergantung dari kejadian yang terjadi. Proses ini adalah bagian kehidupan murid yang tidak saja berkaitan dengan kemampuan akademiknya, namun juga kemampuan sosial emosional dan karakter kepribadiannya. Tentunya, seorang guru mengharapkan proses yang terjadi adalah proses positif yang akan menumbuhkan potensi dan kemampuan muridnya di masa depan.
Kesimpulan akhir yang dapat saya tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya adalah bahwa modul 3.1. Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin memiliki kaitan yang sangat erat dengan semua modul sebelumnya yaitu mulai dari modul 1.1. Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Di awal tulisan telah dikemukakan bahwa Patrap Triloka sebagai memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin, nilai-nilai yang dimiliki seorang pemimpin atau Calon Guru Penggerak, kompetensi sosial emosional yang baik, pendekatan coaching, serta penerapan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan murid. Kesemuanya itu sangat dibutuhkan seorang pemimpin dalam melakukan pengambilan keputusan yang tepat dan bertanggung jawab.
Adapun pemahaman saya tentang konsep-konsep yang telah dipelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan adalah bahwa konsep tersebut sangat penting untuk diterapkan dan menjadi bahan pembelajaran atau pengetahuan baru dalam pengambilan keputusan.