“Presiden Dianugerahi Pakaian Kebesaran Adat Batak”. Akan tetapi, beliau hanya akan tampil sebagai penari Sigale-gale, apabila tanpa dibekali pemahaman, penghayatan, dan pengamalan falsafah “Dalihan Na Tolu”.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewakili bangsa Indonesia, maka anugerah Pakaian Kebesaran Adat beserta gelar “Patuan Sorimulia Raja” dimaksudkan agar beliau mendapat “Sahala” (kepemimpinan yang arif-bijaksana), sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian beliau mempunyai kewajiban untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan filsafat dan tradisi Batak untuk kemaslahatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu para Ketua Adat Batak juga berkewajiban menjadi pembinanya, sehingga amanah tersebut akan dapat terlaksana secara benar, bagus dan baik. “Ens est bonum, pulchrum, verum.”
“Si Tungkot TUNGGAL PANALUAN”, yang juga dianugerahkan kepada Presiden SBY, saya tanggapi sebagai lambang tiga tradisi suku yang mewakili “Budaya Nusantara”. Suku Batak dengan falsafah “Dalihan Na Tolu” (3x1), suku Melayu/Minangkabau dengan falsafah “Tigo tungku sajarangan, tigo tali sapilin.” (3x2), dan suku Jawa dengan falsafah warisan Wali Songo (3x3). Ibarat “Sopo Godang” atau “Rumah Gadang”, maka tradisi Batak sebagai “pondasi”, tradisi Melayu/Minangkabau sebagai “ t i a n g “, dan tradisi Jawa sebagai “ a t a p “.
“Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang, yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka" (Q.S. 77 Al Mursalaat 30-31). TRISULA adalah senjata milik Batara Guru, yang selalu dipegang oleh salah satu dari tangannya yang berjumlah empat. Kepala, empat tangan, dan kedua kakinya jika dijumlahkan menjadi “tujuh”.Lembu Andini sebagai kendaraannya memiliki “sembilan” nama. “Numeric symbolism” ini tersirat pula pada lambang-lambang kota Pematang Siantar, yaitu “Boraspati” (7) dan “Bindu Matogu” (9). Ini analog dengan “Tortor si Pitu Sawan” dan “Gordang Sambilan” sebagai alat musik pengiringnya. Pada upacara adat Batak biasanya dipertunjukkan “Tortor Somba Debata”, di kraton-kraton Jawa juga digelar tarian-tarian tradisional yang dianggap sakral, seperti “Bedhoyo Sapto” dan “Bedhoyo Ketawang Songo”. Kedua “bilangan sakral” tersebut juga tersurat dan tersirat dalam Ibadah Hajji melalui Thawaf “tujuh” kali mengelilingi Ka’bah, yang memiliki “sembilan” titik.
Menakjubkan, filsafat dan tradisi Batak layak dijadikan pondasi, walaupun terkesan sederhana namun memiliki keistimewaan. Di samping bertautan dengan tradisi-tradisi Nusantara lainnya, juga ditemukan adanya hubungan dengan beragam agama-agama. Dalam hal ini falsafah Dalihan Na Tolu sudah bisa dianggap sebagai proto-type Philosophia Perennis atau Wihdat ad-Dyan (Unify of Religions). Prinsip-prinsip “Modern Management” yang fundamental sudah diterapkan,dan Primordial Democracy juga sudah diamalkan. Hukum adat Batak terkesan sangat ketat, namun dibalik itu ada kebijakan untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan.
“Batara Guru” adalah sebutan bagi dewa utama agama Hindu, ternyata terdapat pula dalam khasanah tradisi Batak. Ini memperkuat dugaan adanya keterkaitan antara keduanya, dan anehnya, bisa pula dihubungkan dengan sebutan ALLAH ”Rabbul” ‘Alamin. “Debata Mulajadi Na Bolon” adalah sebutan bagi TUHAN, yang bisa kita bandingan dengan sebutan dalam agama Islam “ALLAH Al-Awal Al-Kabir”.
Pantun Petuah Perkawinan.
Lak-lak di ginjang pintu, singkoru di golom-golom.
Maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom,
Tolupulu tolu, tobu ngolu-ngolu.
…………………
Tolu noli tolu, mai sambilan!
Nasehat tersebut di atas terkesan kurang masuk akal, alangkah banyaknya.
Namun jika kita cermati bilangannya dan kita hubungkan dengan ibadah “Shalat” dalam agama Islam, maka sesungguhnya ini mengandung pesan agar kedua pengantin kelak membangun “Keluarga Sakinah”.
“Sampulu pitu” mengingatkan “shalat siang” berjumlah sepuluh raka’at dan “shalat malam” sebanyak tujuh raka’at. “Tolupulu tolu” mengingatkan “wirid” (dzikir) sesudah shalat, yaitu Tasbih 33 kali, Tahmid 33 kali, Takbir 33 kali (33 x 3 = 99 > 9+9 = 18 > 1+8 > 9). “Tolu noli tolu, mai sambilan!” mengingatkan bahwa shalat sehari terdiri dari 17 raka’at, disertai membaca “Syahadatain” sebanyak 9 kali sehari.
DALIHAN NA TOLU menampilkan Pola 3 dan Pola 9.
(1) DALIHAN NA TOLU.
1. Hula-hula,... 2. Dongan Sibutuha,...3. B o r u
ALLAH,... Rasulullah,...Ulil Amri,..........(Q.S. 4 An Nisaa’ 49)
Legislative,... Judicative, ... Executive,..........(Trias Politica)
(2) BANUA NA TOLU.
1. Banua Ginjang,...2. Banua Tongah,...3. Banua Toru.
Arupa Datu,... Rupa Datu,...Kama Datu,..........(Triloka)
Alam Lahut,...Alam Malakut,...Alam Nasut
(3) BONANG MANALU.
1. Na Botar,.....2. Na Rara,.....3. Na Birong
Putih,...Merah,... Hitam,.......... .........(Q.S. 35 Faathir 27)
Nafsu Mutmainah,... Nafsu Sufiah,... Nafsu Lawamah,.....(Al Qur’an)
Sattva,...Rajas,...Tamas,....................(Bhagavat Gita)
“T i g a” sering dipakai untuk nama tempat, seperti Tiga Ndreket, Tiga Binanga, Tiga Runggu, Tiga Balata, Tiga Dolok. Ini bisa kita hubungkan dengan upacara-upacara sakral tradisi Nusantara pada umumnya, yang senantiasa menampilkan “t e l u r” sebagai sajian utama. Telur kita ketahui terdiri dari tiga bagian, yaitu “cangkang” (kulit) sebagai symbol particle (electron), “putih telur” sebagai symbol energy (photon), dan “kuning telur” sebagai symbolvitae ataub i o(bion).
“T u j u h” kita dapati pada “Pancur na Pitu” , nama tujuh pancuran air yang dikeramatkan, dalam bahasa Jawa “Pancuran Pitu”. Berbagai upacara sakral menggunakan air yang diambil dari tujuh sumber mata air, seperti untuk memandikan calon mempelai wanita. Di Jawa kadangkala dihubugkan dengan “Sapto Argo”, maka kita boleh membayangkan bukit dan lembah, sehingga terbayanglah citra “gelombang” (wave). Ini bisa diasosiasikan dengan “tujuh tangga nada” (gelombang suara) dan “tujuh spektrum warna” (gelombang cahaya). Digambarkan melalui mitologi sebagai “tujuh bidadari” yang sedang mandi di telaga, yang berlatar langit berhiaskan “pelangi’ berlapis tujuh warna. “The Seven Seas” amat popular di Barat, ini analog dengan “tujuh laut” sebagai tinta yang disebutkan dalam Q.S. 31 Luqman 27. Bilangan tujuh juga digunakan untuk lambang ketujuh perangkat kesadaran manusia (Q.S. 23 Al Mu’minuun 17).
“Sembilan” tersurat pada “Gordang Sambilan” dan tersirat dalam logo “Bindu Matogu”. Bilangan sembilan juga kita temukan dalam tarian “Rebana Dzikei” dari budaya tradisi Kerinci, yang terdiri dari sembilan orang penari. Dalam tradisi daerah Jambi terdapat ungkapan “Sepucuk Jambi, semblilan lurah!” Di tanah Jawa ada “Candi Gedong Songo” (Hindu), dan Wali Songo (Islam). Bilangan sembilan sebagai “Unify Numeric Symbolism” tercatat di dalam Kitab-kitab Suci yang beragam itu, dan tersurat ataupun tersirat pada aneka logo-logo agama. Pakuah logo agama TAO, Mandala logo agama HINDU, dan Swastika logo agama BUDDHA, masing-masing memiliki “titik sudut” delapan ditambah satu titik di tengah, maka jika diperhitungkan akan menjadi 1 + 8 = 9 (sembilan). Bintang Daud logo agama YAHUDI, Salib logo agama NASRANI, dan Bulan Bintang logo agama ISLAM, masing-masing terdiri dari “duabelas garis”, maka jika diperhitungan dengan “pangkat dua” akan menjadi 12 x 12 = 144 > 1 + 4 + 4 = 9 (sembilan). KA’BAH warisan Nabi Ibrahim a.s. mempunyai keistimewaan, yaitu terdiri dari duabelas garis dan memiliki sembilan titik. Jadi, Ibadah HAJJI adalah penghubung agama-agama Timur dan agama-agama Barat, dan sekaligus “embryo” semua agama.
KITAB INJIL PERJANJIAN BARU
Wahyu 7
(4)Lalu saya diberitahukan bahwa ada sejumlah144.000orang yang diberi tanda segel dari ALLAH pada dahi mereka. Orang-orang itu diambil dari kedua belas suku bangsa Israel;
(5)dari setiap suku bangsa12.000orang.
AL QUR’AN
27Al Naml (Semut)
(12) “Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia akan keluar putih bukan karena penyakit, termasuksembilan buah mukjizat kepada Fir’aun dan kaumnya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”
(48)Dan adalah di kota itusembilanorang lelaki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.
BHAGAVAD GITA
Bab V (13)
Setelah secara mental meninggalkan segala kerja jiwa, penghuni jasmani ini, menguasai dirinya bertahta dengan damai di kotasembilan gapura tiada bekerja, pun tidak menghasilkan kerja.
TAO TEH CHING
64
A tower nine stories high begins with a heap of earth.
Krisis global sudah semakin parah, dampaknya juga amat terasa di Indonesia, maka umat manusia seyogyanya bergegas bangkit agar tidak bangkrut. Ibarat bangunan sempurna, peradaban memerlukan dukungan pondasi karya, ditopang oleh pilar budaya, serta dinaungi oleh atap agama. Analog dengan perkebunan, yang memerlukan bibit tanaman unggul, tanah yang subur, dan iklim yang serasi. Dalam hal ini Indonesia sesungguhnya memiliki potensi comparative advantages, sehingga telah dipersiapkan sebagai lahan berseminya benih peradaban mondial mendatang. Kepulauan Nusantara terprogram sebagai “miniature dunia”, dan pertanian menjadi sasaran utama-nya. Perkebunan yang terorganisir dengan baik menjadi model proses kebangkitan peradaban, sedangkan yang bermasalah menjadi case-study. Segala sesuatunya terencanakan dengan sistematis dan rinci, maka Sumatera Utara dipersiapkan sebagai ‘pilot project’, daerah Simalungun sebagai ‘focus of interest’, dan Pematangsiantar sebagai ‘starting point’.Daerah Tapanuli dipersiapkan menjadi lahan “exercises” awal untuk merintis proses kebangkitan ini, dan “Dalihan Na Tolu” sebagai pijakan dan sekaligus pedoman untuk beranjak.
BACK TO BASICS – berbagai krisis yang melanda kehidupan manusia di segenap penjuru bumi sebenarnya bisa dikaitkan dengan kerancuan beragama dan kegalauan berbudaya, yang ujungnya menyebabkan kekacauan berkarya. Amanah untuk mengatasi hal yang runyam ini dilimpahkan kepada bangsa Indonesia. Perbaikan dan pembaruan yang sistematis sebaiknya beranjak dari dasar, maka pada tingkat interasional bermula dari HAJI, pada tingkat nasional berawal dari DALIHAN NA TOLU. “Think global, act local!”
POWER SHIFT – peradaban manusia tidak statis, maka dapat disaksikan adanya pergeseran kekuatan yang bertahap. Berawal dari “Military Power” yang bertumpu pada “Industrial Military Complex”, kemudian bergeser ke “Economic Power” yang ditopang oleh “Information Technology”, sekarang sudah ada tanda-tanda beringsut menghadapi “Cultural Warfare”, diduga “Spiritualization Eco Tourism” yang akan menjadi Primadona. Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan budaya adhiluhung sesungguhnya memiliki potensi “competitive advantages”, namun sayang, sekarang justru mengalami degradasi. Apabila kenyatan buram ini tak diatasi dengan serius, maka negeri ini akan tenggelam dilanda sampah manca Negara.
HAJJI (Millah Ibrahim) sesungguhnya “induk” dari agama Yahudi, agama Nasrani, dan agama Islam, tapi juga sebagai penghubung dengan agama Tao, agama Hindu, dan agama Buddha. DALIHAN NA TOLU bisa diperbandingkan dengan ini, karena menjadi “tautan” orang-orang Batak yang beragama Parmalim, Nasrani, dan Islam. Kerukunan dan kerjasama antar umat beragama di daerah Tapanuli cukup baik, terutama di daerah Sipirok. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianugerahi marga “Siregar” dan Ibu Ani SBY ditabalkan bermarga “Pohan” merupakan keberuntungan yang luar biasa, karena mereka bisa belajar dari dekat proses kerukunan dan kerjasama yang harmonis, sehingga bisa dipromosikan berlingkup nasional maupun internasional.
“DI MANA BUMI DIPIJAK, DI SITULAH LANGIT DIJUNJUNG”.
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka ALLAH menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.” (Q.S. 16 An Nahl 26).
FUNDAMENTALLY ROTTEN – krisis multi-dimensi yang melanda NKRI pada dasarnya adalah “cultural crisis”. Pada awal tahun 2011 ini, Presiden SBY diuji melalui dua peristiwa “budaya” penting, yaitu yang terkait dengan “Sultan Hamengku Buwono X dan D.I. Yogyakarta”, kemudian “Penganugerahan Pakaian Adat Batak kepada Presiden” di Daerah Tapanuli. Ibarat rumah, pondasinya Tapanuli dan atapnya Yogyakarta, keduanya terintegrasi. Apalagi menanganinya, sedangkan untuk “membaca” makna kedua peristiwa itupun sudah di luar kemampuan beliau. Presiden SBY memerlukan bantuan para ahli, dan juga dukungan segenap rakyat Indonesia. Ini semestinya dilaksanakan dengan serius, sistematis, dan cermat, karena keduanya bagian penting daripada proses “Devine Programmes” yang terkait dengan Kebangkitan Agama-agama dan Spiritualisme, yang dipersiapkan akan menjadi pondasi Peradaban Milenium. “GOD does not play dice, and the Universe has been teleological programmed.”
Salam hormat,
The Sunset Generation.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H