Mohon tunggu...
sugiana hs
sugiana hs Mohon Tunggu... rakyat biasa -

hanya orang biasa, tertarik pada masalah - masalah sosial kemasyarakatan, demokrasi dan politik kebangsaan, pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, serta sepakbola. saat ini tinggal di sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Calon Tunggal dalam Pilkada 2018

6 Maret 2018   13:58 Diperbarui: 7 Maret 2018   22:57 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada serentak 2018 memunculkan fenomena menarik dengan banyaknya calon tunggal di beberapa daerah, tercatat ada 12 pasangan calon tunggal yang maju dalam Pilkada 2018, Antara lain Kota Prabumulih (Sumatra Selatan), Kabupaten Lebak (Banten), Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Tangerang (Banten), Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara), Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan), Kabupaten Puncak (Papua), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Jayawijaya (Papua) dan Kabupaten Padang Lawas Utara di Sumtera Utara.

Di Propinsi Banten calon tunggal justru mendominasi Pilkada di sana, 70 persen pasangan calon di Banten adalah calon tunggal.  Tercatat 3 (tiga) dari 4 (empat) peserta pilkada adalah calon tunggal yaitu di Kabupaten Lebak dan tangerang serta Kota Tangerang sedangkan sisanya yaitu Kota Serang memiliki 3(tiga) pasangan calon.

Yang menarik adalah calon tunggal dalam pikada ini sebagain besar di dominasi oleh petahana (incumben). Sepuluh dari calon tunggal yang maju dalam Pilkada 2018 adalah petahana. Kalau dicermati lebih jauh dari pasangan calon tunggal ini sebagian besar karena mereka memborong sebagian besar partai politik untuk mengusung mereka sehingga tidak ada paslon lain bisa maju karena tidak ada "perahu" ataupun kalau ada partai politik yang mendukung mereka jumlahnya masih belum memenuhi syarat ambang batas pancalonan. 

Sebagaimana yang kita ketahui ambang batas untuk pencalonan kepala daerah di pilkada sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 adalah 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu legislatif DPRD.

Munculnya paslon calon tunggal dalam Pilkada sebenarnya bukan barang baru, dalam Pilkada 2015 ada 3 (tiga) calon tunggal dari 269 daerah dan pada Pilkada 2017 ada 9 (sembilan) calon tunggal di 101 daerah. Dalam Pilkada 2018 calon tunggal ini secara kuantitas bertambah banyak yaitu 12 calon tunggal dari 171 daerah yang melaksanakan Pilkada walaupun prosentasenya turun sedikit dibandingkan Pilkada 2017 yaitu sekitar 7,02 persen. Sedangkan di Pilkada 2015 hanya 1,12 persen dan 2017 naik menjadi 8,09 persen.

Sebelum UU Nomor 10 tahun 2016 ini diberlakukan, dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada belum mengatur tentang calon tunggal ini sehingga paslon calon tunggal tidak diperbolehkan ada dalam Pilkada. KPU tidak bisa menggelar pemilihan manakala hanya ada satu paslon yang ada / hanya ada satu paslon yang memenuhi syarat. Pilkada dimundurkan sampai periode berikutnya dan untuk mengisi kekosongan kepala daerah diisi dengan penjabat kepala daerah sampai terpilihnya kepala daerah definitif dalam pilkada berikutnya.

Pasangan calon tunggal diperbolehkan maju dalam Pilkada setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 sebagai jawaban atas judicial review oleh Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati  oleh  pasal. Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. Nomor 100/PUU-XIII/2015 calon tunggal diperbolehkan untuk mengikuti Pilkada.  Putusan MK ini memecahkan kebuntuan demokrasi yang disebabkan karena belum adanya regulasi yang mengatur mengenai calon tunggal ini secara khusus.  

Paska diperbolehkannya calon tunggal dalam Pilkada oleh MK ini, beberapa paslon calon tunggal  maju dalam Pilkada Serentak Desember 2015 antara lain di  Kota Tasikmalaya, Blitar dan Timor Tengah Utara. Dalam putusan MK itu manifestasi Pilkada diwujudkan dalam lebih tepat dipadankan dengan pemungutan dengan cara "setuju atau "tidak setuju" dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat untuk menentukan pilihan.

Dalam Pilkada 2017 semua calon tunggal menang telak melawan kotak kosong. 

Bagaimana dengan Pilkada 2018?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pasangan calon tunggal diperbolehkan dalam Pilkada yaitu apabila hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar dan memnuhi syarat (MS) serta apabila ada lebih dari satu pasangan calon yang mendaftar tapi gugur karena tidak memenuhi syarat (TMS). 

Dalam kondisi ini KPU diwajibkan untuk memperpanjang pendaftaran selama 3 (hari) dan pasangan calon yang gugur masih diperbolehkan lagi untuk mendaftar dan apabila  tak ada pasangan calon yang mendaftar berarti hanya ada satu pasangan calon, atau ada pasangan calon yang mendaftar namun tidak memnuhi syarat (TMS) yang berarti hanya ada satu pasangan calon untuk mengikuti pilkada.

Penyebab lainnya adalah apabila adanya pasangan calon yang berhalangan tetap pada saat di mulainya masa kampanye dan apabila adanya pasangan calon yang dikenai sanksi pembatalan sehingga pasangan calon tersebut tidak diperbolehkan untuk terus mengikuti tahapan Pilkada selanjutnya.

Untuk pasangan calon tunggal dalam pilkada, mekanisme pemilihannya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Sesuai dengan UU 10 Tahun 2016 tersebut, paslon calon tungggal diperbolehkan dalam kontestasi pilkada dan akan berhadapan dengan kotak kosong. Metode pemilihan inilah yang jamak disebut sebagai Metode Pemilihan Bumbung Kosong.  Dalam kertas suara ada dua kolom yaitu kolom yang diisi dengan gambar paslon calon tunggal dan kolom satunya kosong tanpa gambar. Paslon calon tunggal sah memenangkan kontestasi jika mereka mampu meraup suara lebih dari 50 persen suara sah.

Bagaimana jika paslon calon tunggal tersebut tidak mampu meraih suara lebih dari 50 persen suara sah? Undang-undang sudah mengaturnya. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 54D Ayat 4 disebutkan bahwa jika paslon calon tunggal tidak mampu meraup suara lebih dari 50 persen suara sah maka dinyatakan kalah dan diperbolehkan untuk maju dalam pilkada  berikutnya.   Dan untuk mengisi kekosongan kepala daerah untuk sementara kepala daerah akan diisi dengan Penjabat Sementara (Pjs) sampai terpilih kepala daerah definitif dalam Pilkada berikutnya.

Pasangan calon tunggal disisi lain banyak dikritik oleh beberapa pihak. Pilkada dengan hanya diikuti oleh satu pasangan calon dianggap sebagai kurang demokratis dan dianggap hanya melanggengkan kekuasan terutama bagi para petahana yang maju kembali.  Apalagi kenyataan membuktikan pasangan calon tunggal ini didominasi oleh petahana (incumbent).  

Disisi lain regulasi yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah juga belum cukup untuk mencegah terjadinya kontetasi hanya diikuti oleh satu pasangan calon, dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur pembatasan ambang batas maksimal untuk pencalonan kepala daerah.  

Kalau kita bandingkan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah mengatur agar kontestasi tidak hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Dalam UU No 7 tahun 2017 ini pasangan calon tidak diperbolehkan untuk "memborong" semua partai politik sehingga calon lain tidak punya kesempatan untuk maju dalam kontestasi.  Atau gabungan partai mengusung satu pasangan calon  yang mengakibatkan pasangan calon lain tidak mampu memenuhi persyaratan ambang batas sehingga tidak bisa maju dalam kontestasi.

Saya kira persyaratan ambang batas maksimal sebagaimana diberlakukan dalam Undang -- Undang Nomor  7 Tahun  2017 sebaiknya diadopsi juga dalam undang-undang pemilihan kepala daerah sehingga dapat mencegah munculnya calon tunggal.  Dengan demikian pilkada sebagai wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat menjadi  lebih bermakna karena rakyat akan diberikan pilihan-pilihan bukan "memaksa" rakyat untuk memilih atau tidak memilih untuk satu pasangan calon saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun