Beberapa hari yang lalu publik di tanah air terkejut dengan tertangkap tangannya (OTT) Ketua Bawaslu dan Ketua KPU Kabupaten Garut Jawa Barat. Mereka diduga menerima suap terkait dengan proses Pilkada di Kabupaten Garut, Jawa Barat.Â
Peristiwa ini cukup mengejutkan bagi kita semua apalagi peristiwa ini terjadi persis ditengah-tengah tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Mengejutkan karena OTT itu tidak semestinya terjadi apalagi terhadap penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu yang selama ini kita ketahui selalu menjunjung tinggi integritas dan kepatuhan terhadap penegakan kode etik.Â
Bagi para penyelenggara pemilu, integritas menjadi sangat penting karena dengan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas akan mampu menghasilkan para pemimpin nasional / daerah yang berintegritas pula. Pemilu sebagai bagian dari perwujudan demokrasi diharapkan dapat memilih para pemimpin yang mempunyai legitimasi yang kuat di tengah-tengah rakyat.
Legitimasi tersebut bukan hanya berasal dari norma-norma yang terkandung dalam undang-undang saja, akan tetapi legitimasi itu juga diperoleh dari sebuah proses pemilu yang demokratis dan berintegritas dengan melibatkan seluruh rakyat. Dengan demikian pemilu itu bukan hanya dilihat dari tahapan-tahapanya yang berjalan dengan baik akan tetapi juga hasilnya dapat diterima oleh semua pihak termasuk peserta pemilu dan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang harus dibangun secara terus menerus oleh penyelenggara pemilu terutama KPU dan Bawaslu. Â Untuk membangun kepercayaan masyarakat tentulah bukan hal yang mudah, Â diperlukan kerja keras untuk selalu membangun integritas para penyelenggara pemilu dan membangun sistem yang transparan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara partisipatif.
Penyelenggara pemilu mempunyai posisi yang strategis sehingga penyelenggara pemilu haruslah selalu menjunjung tinggi integritas.  Proses yang benar dalam melaksanakan semua tahapan pemilu  menjadi ukuran integritas atau tidaknya sebuah pelaksanaan pemilu.  Noris dalam Rahmatunnisa (2017) menjelaskan pentingnya integritas ini untuk berbagai aspek seperti legitimasi karena melalui pemilu yang berintegritas akan terbangun kepercayaan publik terhadap berbagai lembaga politik.
Demikian juga halnya aspek perilaku politik massa, di mana integritas pemilu dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan diharapkan mampu meredam aktivitas protes massa. Â Konsekuensi lainnya dari integritas pemilu adalah untuk mengatasi konflik dan gangguan keamanan serta manfaat lainnya untuk pembangunan sistem politik yang sehat.
Sebaliknya pemilu yang penuh dengan berbagai kecurangan akan melemahkan kepercayaan dalam lembaga-lembaga politik. Â Pada gilirannya akan berimplikasi pada rendahnya partisipasi masyarakat pada saat pemungutan suara dan bahkan seringkali dapat memicu protes, kerusuhan massa dan kekerasan. Kontestasi semu juga akan memperburuk ketegangan antar pendukung pemenang dan yang kalah dan pada akhirnya akan melemahkan legitimasi sistem demokrasi .
Kasus suap sebagaimana terjadi pada Pilkada Garut Jawa Barat dapat dijadikan sebagai contoh perilaku penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas. Kasus yang menciderai integritas penyelenggara pemilu ini jelas-jelas merupakan bagian dari pelanggaran yang terjadi dalam sebuah proses pemilu (electoral fraud) terutama Pilkada.
Pelanggaran ini jika berakumulasi dengan berbagai pelanggaran lainnya dapat mengakibatkan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dan dapat mengakibatkan menguatnya sentimen publik, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas demokrasi dan bahkan dapat berakibat mendiskreditkan pemilu. Â Puncaknya adalah akan mengikis dan melemahkan sistem demokrasi secara keseluruhan. Â Hal ini tentu kondisi yang tak menguntungkan bagi konsolidasi demokrasi di negara kita yang sedang bertumbuh secara dinamis.
Beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya pemilu yang tidak berintegritas antara lain disebabkan oleh tidak berintegritasnya penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. Â Hal inilah yang menyebabkan peran integritas dianggasp sebagai faktor penting yang harus diperhatiakn secara serius oleh penyelenggara pemilu.
Kepentingan peserta pemilu untuk memenangkan pemilu dalam hal ini Pilkada seperti di Garut menyebabkan mereka menggunakan berbagai macam cara untuk menang sejak dari Pra Pemilihan, Pemilihan dan bahkan Pasca Pemilihan. Â Kepentingan peserta pilkada ini kemudian bertemu dengan integritas penyelenggara pemilu yang "koruptif". Â Perilaku korupsi merupakan salah satu pemicu penyimpangan dan pelanggaran terhadap integritas penyelenggara pemilu.
Kasus di Garut ini menunjukkan ada sebagian penyelenggara pemilu di negara kita yang terkikis integritasnya di mana yang bersangkutan  tidak menunjukkan adanya indepensi dan kejujuran.  Indepensi penyelenggara pemilu ditunjukkan dengan kemandirian dalam berbagai pengambilan keputusan yang didasarkan pada obyektifitas sesuai dengan data dan informasi yang valid serta mampu menolak segala bentuk intervensi dari berbagai kelompok kepentingan.  Kejujuran dicerminkan dengan menyatakan kebenaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Langkah KPU yang menyerahkan kasus Garut ini untuk diproses secara hukum dan secara etik kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) layak diapresisasi sebagai bagian dari upaya untuk "membersihkan" KPU sekaligus menjaga integritas dengan melakukan penegakan kode etik serta sekaligus untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap KPU maupun Pilkada itu sendiri.Â
Akhir kata kita semua berharap agar Kasus Garut ini merupakan kasus yang terakhir, jangan sampai proses pilkada maupun pemilu yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat dinodai oleh perilaku menyimpang para penyelenggara pemilu yang kurang berintegritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H