Gonjang ganjing naiknya harga kedelai membuat geger negeri kita, negeri agraris yang sebagian besar rakyatnya mengkomsumsi tahu dan tempe serta kecap sebagai menu sehari-hari menjadi goncang. Tahu dan tempe tiba-tiba susah diperoleh ibu-ibu di pasar, walalupun ada harganya sudah mengalami penyesuaian ataupun ukuranya yang diperkecil. Ternyata tahu tempe tidak boleh disepelekan, tahu tempe bisa menjadi isu nasional yang sangat penting bahkan sampai ke ranah politik. Semua itu disebabkan karena kelangkaan kedelai serta naiknya harga kedelai yang disebabkan seretnya suplai kedelai yang sebagian besar hasil impor dari Amerika Serikat. Menurut informasi seretnya suplai kedelai impor karena terjadinya perubahan iklim di mana Amerika Serikat mengalami musim kering yang lebih panjang sehingga berakibat pada menurunya produksi kedelai di sana. Impor kedelai tercatat lebih dari 1 juta ton per tahun termasuk di dalamnya bungkil kedelai untuk bahan baku pakan ternak. Sehingga kita tercatat sebagai salah satu negara pengimpor kedelai terbesar di dunia. Ini sungguh ironis karena kita juga tercatat sebagai pengkomsumsi kedelai yang besar dan negara agraris dengan potensi pengembangan kedelai yang sangat besar ternyata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai rakyatnya sebagian besar masih diimpor. Impor selama ini menjadi kebijakan yang paling mudah dan murah dalam jangka pendek untuk memeuhi kebutuhan kedelai nasional. Namun mendasarkan pada impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri bukanlah sebuah kebijakan yang tepat. Dalam jangka panjang impor yang murah ini akan menjebak kita (food trap) dan menjadikan kita bangsa yang sangat tergantung dengan bangsa lain dengan demikian kedaulatan pangan kita tidak ada sama sekali karena lemahnya ketahan pangan kita ini. Swasembada kedelai merupakan pilihan yang paling memungkinkan untuk menjadi program nasional pemenuhan bahan pangan. Priotas pengembangan kedelai menjadi keniscayaan karena kedelai menjadi sumber protein yang lebih murah yang menjadi tumpuan masyarakan kebanyakan. Selain itu juga kedelai juga menjadi bahan baku industri pangan seperti kecap dan bahan baku pakan ternak. Swasembada kedelai menjadi pilihan yang strategis. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai yang besar juga dalam rangka ketahan pangan, jangan sampai bahan pangan yang strategis ini dikuasai asing dan ujung-ujungnya menjadi ketergantungan akan impor maupun jebakan dengan harga murah (food trap). Secara garis besar peningkatan produksi ini dapat dilakukan melalui ektensifikasi dengan perluasan lahan produksi maupun secar intensifikasi pertanian dengan teknologi produksi baik benih, teknologi pemupukan, penggunaan pestisida maupun mekanisasi pertanian. Selain itu berkaitan dengan swasembada kedelai ini juga perlu ditinjau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan impor kedelai ini baik dari sisi pengenaan bea tarif. Perlu juga diberikan perlindungan untuk para petani kita baik dengan subsidi maupun jaminan harga maupun jaminan pasar pada saat panen. Sehinngga kedelai lokal menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan kedelai impor yang lebih murah. Dari sisi lahan untuk bisa berswasembada kedelai paling tidak kita memerlukan lahan yang luas untuk pengembangan kedelai ini. Dengan produksi rata-rata 1,2 - 1,8 ton per hektar paling tidak harus tersedia lahan lebih dari 1 juta hektar dengan assumsi impor kita hanya 1, 2 juta ton per tahun. Ini juga bukan pekerjaan yang mudah apalagi dengan massifnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan serta mahalnya biaya untuk pembukaan lahan. [caption id="attachment_199543" align="aligncenter" width="267" caption="Kedelai varietas Grobogan dengan tampilan menarik, berbiji besar, kuning cerah dan produktivitas tinggi (Foto : Balitkabi Malang)"][/caption] Namun demikian kita masih memiliki cadangan lahan yang mencukupi untuk pengembangan kedelai nasional terutama lahan-lahan yang berada di Sumtera, Kalimantan dan Papua terutama memanfaatkan lahan-lahan di kawasan transmigrasi, ex HPH, maupun lahan pasang surut. Lahan-lahan di Jawa sudah tidak terlalu diharapkan lagi karena sudah beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, infrastruktur maupun untuk keperluan non pertanian lainya. Namun demikian lahan-lahan di luar Jawa seperti dikatakan di atas juga bersaing dengan areal perkebunan sawit maupun pertambangan serta kualitas lahanya tidak sebaik dengan lahan-lahan di pulau Jawa. Sebagaiman yang kita ketahui dalam sejarahnya kedelai (Glycine max) bukanlah tanaman asli Indonesia, kedelai merupakan tanaman sub tropis, sehingga pada saat di tanam di Indonesia akan mengalami berbagai kendala berkaitan iklim maupun perkembangan organisme pengganggu tanaman / hama penyakit tanaman yang lebih bervariasi dan lebih banyak dengan tingkat serangan yang lebih tinggi. Iini tentu berakibat pada pembengkakan biaya produksi yang cukup memberatkan bagi petani. Ini yang berakibat petani kita kurang tertarik menanam kedelai karena menurut mereka menanam kedelai lebih "rewel" dibandingkan dengan komoditas lainya. Sehingga untuk menarik petani mau membudidayaka kedelai pemerintah harus membuat kebijakan yang berorientasi pada petani, antara lain yang sudah disampaikan di atas seperti subsidi pupuk dan pestisida maupun jaminan pasar dann jaminan harga pada saat panen. Peran ini bisa diambil oleh BUMN pupuk untuk penyediaan pupuk maupun BUMN benih seperti Sang Hyang Sri untuk penyediaan benih. BULOG diharapkan dapat menjadi penjamin pasar dan harga dengan memberikan kesempatan kepada BULOG untuk membeli kedelai petani dengan harga yang kompetitif. Apalagi BULOG sudah mempunyai fasilitas pergudangan yang cukup besar dan tersebar diseluruh Indonesia. Selain itu BUMN pertanian/perkebunan dapat juga ikut masuk secara langsung membuka soy bean estate skala luas dengan mekanisasi penuh di luar Jawa baik di Sumatera maupun Kalimantan. Konsepnya tentu dengan mencontoh perusahaan - perusahaan multi nasional di Amerika Serikat yang sukses mengusahakan kedelai secara besar-besaran. [caption id="attachment_199544" align="aligncenter" width="540" caption="Kedelai tumbuh dengan baik di lahan pasang surut Tanjung Jabung Timur, Jambi           (Foto : dokumentasi pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H