Mohon tunggu...
sugeng winarno
sugeng winarno Mohon Tunggu... -

saat ini (2014) tercatat sebagai dokter gigi spesialis perio di RSGM TNI AL RE. Martadinata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Gigi dan Marinir untuk Indonesia Jaya

28 Februari 2016   10:24 Diperbarui: 28 Februari 2016   10:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

oleh : drg. Sugeng Winarno, Sp. perio, MKM.


Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan dengan sumber daya alam yang luar biasa dan oleh sebab itu para pendiri bangsa telah meneguhkan sikapm sebagai tanda syukurnya bahwa kekayaan tersebut sebesar-besarnya akan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Namun entah apa sebabnya, hingga kini kesejahteraan yang dijanjikan itu masih bak fatamurgana. Kemiskinan sebagai salah satu indikator yang harus dihilangkan masih saja menjadi persoalan yang tak kunjung tuntas dipecahkan. Sesunggunnya banyak contoh negara lain yang meski dengan modal kekayaaan alam sangat terbatas tetapi rakyatnya dapat hidup sejahtera.

Dari berbagai sumber literatur dinyatakan bahwa negara-negara tersebut dapat sejahtera adalah karena sumber daya manusianya (SDM) yang berkarakter kuat. Ada dua hal paling penting SDM dapat dikatakan kuat, yaitu; pertama, taat kepada sistem yang telah disepakati bersama (baca: peraturan perundang-undangan) dan kedua melekatnya nilai kejuangan pantang menyerah.

Jika ada pertanyaan, berapa banyak orang Indonesia yang pandai? Tentu dengan gampang dijawab dan sekaligus memberi bukti berbagai kehebatan yang diakui dunia. Termasuk akhir-akhir ini penemu teknologi komunikasi 4G yang sekarang dibeli oleh negara asing. Namun jika pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak sih orang Indonesia yang pandai dan taat kepada sistem? Nah baru agak repot menjawabnya, bukan?! Buktinya adalah setiap ganti pimpinan maka selalu ganti kebijakan. Bukan karena pembuat kebijakan sebelumnya itu orang-orang bodoh. Termasuk orang-orang yang tidak sealiran digeser dengan berbagai dalih pembenarannya.

Bahkan fenomena akhir-akhir ini sangat aneh, yaitu menabrak undang-undang dengan sadar dan akrobatik justru dilakukan oleh pihak yang seharusnya menjunjung tinggi suatu ‘sistem’, yaitu pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebut saja pelanggaran undang-undang oleh Gojek dan yang lainnya yang memberikan pelayanan antar jemput manusia dan barang yang berbasis aplikasi internet. Ada lagi kontrak kerjasama dengan freeport, ricuh yang tak kunjung luruh atas pembekuan PSSI oleh Kemenpora, kasus papa minta saham oleh anggota DPR (baca : saat itu Ketua), adanya Jaksa yang ditengarai ikut bermain dalam kasus ‘bancakan dana bansos’ dan masih banyak lagi contoh lainnya. Pendek kata di negeri ini sudah mengalami pergeseran makna dari demokrasi menjadi ‘democrazi’.

Dampaknya adalah penghargaan terhadap proses dalam rangka meraih sukses menjadi tidak penting, cenderung serba instan karena segera ingin menikmati hasil. Jalan pintas sekalipun nyrobot dan melawan arus menjadi lumrah bahkan merasa gagah, kedekatan dengan penentu kebijakan menjadi andalan dalam memperoleh jabatan, dan yang paling parah adalah lagi kalau mau terjun ke dunia politik, sebagai salah satu sumber rekruetmen pemimpin baik level lokal maupun nasional, harus bisa bermain taktik yang cerdik dan licik. Dalam politik, katanya, tidak bicara benar dan salah. Tetapi menang dan kalah, atas dasar suara terbanyak! Astaghfirullahal ‘adzim.

Inilah masalah kita!

Lantas, apa relevansinya antara gigi dan marinir dengan karakter bangsa? Sebagai dokter gigi, saya paham betul adanya bermacam-macam sistem yang bekerja di dalam mulut kita. Dan setiap sistem musti didukung secara sinergis oleh organ yang ada dengan peran masing-masing sekalipun berbeda jenis dan letaknya. Semua kompak saling mendukung dan merasa menjadi bagian sistem besar yang bernama manusia. Organ yang besar, lidah namanya, tidak sewenang-wenang dan minta dinomorsatukan.

Dia tetap istiqomah tugasnya sebagai pengecap rasa. Sebaliknya organ yang kecil, kelenjar ludah namanya, tidak terinjak dan terpinggirkan, setelah mendapat order oleh pengecap dia semprotkan cairan ludah sebagai pelumas untuk menghancurkan makanan oleh organ lain yang bernama gigi sebelum didorong masuk ke dalam perut. Subkhanalloh, harmoninya dalam mulut kita. Sedangkan marinir, kita tahu bersama bahwa pasukan elit dari Angkatan Laut yang berbaret ungu ini merupakan kekuatan pasukan yang diproyeksikan dari laut menuju ke daratan yang dikuasai musuh.

Dalam setiap operasi amphibi, sebagai keahlian utama marinir, titik paling krusial adalah ketika proses pendaratan. Karena kekuatannya pada saat itu adalah nol, hanya ada bantuan tembakan meriam dari kapal dan pesawat ke darat, tetapi semangat patriotiknya yang kuat telah mendorong mereka tetap merangsek maju untuk menguasai pantai musuh. Nyawa sebagai taruhan, lawan segera dan secepat mungkin harus dihancurkan. Ketika pantai musuh sudah dikuasai, barulah pasukan gabungan lain merangsek masuk untuk meneruskan penyerbuan. Pendek kata, gigi menggambarkan adanya sistem yang harus diikuti bersama oleh setiap emelen bangsa dan marinir sebagai kekuatan pantang menyerah untuk mencapai tujuan. Inilah kekuatan hebat yang jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai perilaku warga bangsa maka Indonesia Jaya tidak akan terlalu lama segera terwujud dan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimanatkan dalam preambule UUD bukan lagi fatamurgana.

Dan Harvey Malaiholo pun bernyanyi.......,hidup tiada mungkin tanpa perjuangan, tanpa pengorbanan, mulia adanya. Satukalah tekad demi masa depan, Indonesia Jaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun