Mohon tunggu...
AS Riady
AS Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Santri yang Tawadu' dan Ngantuk

6 Oktober 2024   22:23 Diperbarui: 7 Oktober 2024   01:04 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Capek pak. Di pesantren belajar, di sekolah juga belajar", ujar Amir. Hanya nama rekaan, tetapi kejadiannya sesuai fakta. Ia santri dan tidur di tengah-tengah jam pembelajaran formal. Sebagian teman-temannya juga berlaku demikian.

Dewasa ini memang banyak ditemukan pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal. Pengasuh pesantren emoh santrinya kalah dengan murid yang duduk di bangku pendidikan formal. Maka dari itu, jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi diadakan. Tentu saja harapannya agar para santri, selain memahami secara mendalam ilmu agama Islam, juga tidak berjarak jauh dengan ilmu-ilmu di pendidikan formal pada umumnya.

Hanya saja memang mayoritas santri tidak kuat menyeimbangkan keduanya: antara serius belajar kitab kuning dan/atau Al-Qur'an, dengan berprestasi di ilmu-ilmu umum yang diajarkan di pendidikan formal. Amir ini bisa dijadikan salah satu contohnya.

Ia memilih untuk tetap masuk dan hadir di pendidikan formal namun dengan catatan, bukan untuk belajar. Tetapi sebaliknya, untuk istirahat di tengah-tengah keseriusannya menekuni keilmuan Islam. Maka dari itu, ia memilih untuk tidur di dalam kelas. Jadi hadir di pendidikan formal, baginya sama dengan mengistirahatkan diri.

Kenapa kok tidak memilih untuk tidak masuk saja? Ya secara umum, memang ada banyak yang mengambil pilihan itu; membolos. Tentu saja konsekuensinya lebih besar. Hal itu karena, jika ketahuan akan peroleh sanksi yang berlipat ganda.

Santri yang diketahui menyengaja membolos, pasti akan peroleh sanksi sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Tidak hanya di pesantren, di bangku formal juga demikian. Ia akan peroleh sanksi serupa. Belum lagi jika dilaporkan ke walinya, sanksi yang didapat bisa berkali-kali lipat.

Lain cerita jika santri seperti Amir tadi tetap hadir dan masuk ke kelas, meskipun tertidur dan terkesan malas-malasan. Sanksi yang didapat paling banter hanya peroleh teguran keras dari guru yang bersangkutan. Tidak ada sanksi tambahan.

Pun santri yang ditegur guru terkait, pada dasarnya akan tetap patuh. Ini poin penting. Kendati salah, si santri tetap memosisikan diri sebagai yang bersalah karena emoh-emohan belajar ilmu umum. Ya bisa disebut juga sebagai laku tawadu' atau ta'dhim kepada gurunya, si pemberi ilmu.

Lantas kenapa tidak memilih hanya mondok saja? Kenapa harus diikutkan untuk pendidikan formal?

Jawaban yang pertama telah terjawab di atas. Bahwa pesantren hari ini, juga menyediakan pendidikan formal sebagai nilai tambahnya. Jawaban lainnya adalah dorongan dari wali santri yang bersangkutan. Para wali santri menginginkan putra-putrinya yang di pesantren, bisa menggondol ilmu agama dan ijazah sebagai bukti lulusnya di pendidikan formal. Tentu saja ini demi masa depan anaknya.

Ilmu agama berperan penting dalam dharmanya si santri di tengah-tengah masyarakat. Minimal menjadi imam salat fardhu, salat Jumat, dan salat tarawih. Kemudian ijazah menjadi prasyarat agar si santri, bisa peroleh pekerjaan yang terbilang mapan. Mapan di sini artinya bisa mencukupi kebutuhan kesehariannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun