Keberadaan kota membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia di bumi. Tidak hanya soal dampak positifnya berupa pelayanan yang mudah, kecanggihan teknologi, dan fasilitas yang lengkap, tapi juga soal dampak negatifnya. Sebut saja kemacetan, populasi manusia yang kian waktu kian meningkat (urbanisasi), kesenjangan sosial-ekonomi antara si kaya dan si miskin, ketersediaan ruang hijau yang semakin minim, dan seabrek persoalan kota yang terus terbengkalai.
Di Koran Kompas 26/10/2019 ada berita menarik tentang kota. Berita itu bertajuk "Kota-kota Cerdas di Dunia yang Sesak". Tajuk yang membuat saya penasaran dengan kontennya. Apa maksud di balik konten tersebut? Apakah dunia hari ini memang sudah sesak? Atau kotanya yang sesak? Atau kota-kota cerdas ini mulai bermunculan di tengah-tengah kesesakan populasi manusia dan problematika?
Berita dimulai dengan paragraf perkiraan kehidupan di kota pada tiga dasawarsa mendatang. Sejumlah problem lama dimunculkan untuk segera mendapatkan solusi. Kota harus menjadi cerdas, agar problem bisa tuntas. Awalnya saya mengira kota cerdas adalah kota yang punya daya serap literasi tinggi. Ternyata kota cerdas diindikasikan dengan mampu membuat terobosan berupa pembangunan fisik.
Coba simak, "Di antara terobosan itu, misalnya, memindahkan gudang dan fasilitas ritel di bawah tanah, menggunakan data dan teknologi untuk meningkatkan keamanan, layanan kesehatan, dan mobilitas". Saya turut mengamini pernyataan itu jika hendak diterapkan di negeri ini. Itu pun masih dengan syarat tidak ada penyalahgunaan baik sebelum, sedang, maupun ketika sudah rampung.
Meski begitu, berita ini mengatakan bahwa pembuatan ruang bawah tanah menjadi pilihan alternatif kota ketika ketersediaan ruang semakin minim. Ruang bawah tanah ini dinilai lebih hemat pemeliharaannya. Pembebasan lahannya juga relatif lebih mudah. Meski di sisi lain, biaya untuk membangunnya juga memakan anggaran yang cukup banyak.
Selain soal pembuatan ruang bawah tanah, pemberitaan kota cerdas juga merangsak pada soal ancaman keamanan yang disebabkan oleh kesenjangan ekonomi. Solusinya ternyata tidak hanya menyiagakan polisi, tapi juga diajak untuk pengadaan proyek sosial. Simak pernyataan ini, "pendekatan itu dijalankan dengan merehabilitasi permukiman kumuh di perkotaan dengan menyediakan taman, gym terbuka, sekolah, taman bermain, dan ruang komunitasi".
Solusi ini bisa ditafsiri sebagai dalih bahwa kota tidak mau menerima kehadiran orang miskin. Orang yang datang ke kota harus kaya, kalau tidak kaya ya harus pergi dan menyisih. Padahal munculnya pemukiman kumuh tidak tiba-tiba ada, tapi ada rangkaian besar di dalamnya yang secara tidak langsung menjadi gambaran ganasnya hidup di kota.
Orang dari desa pergi ke kota mencari kerja. Sesampainya di kota, ada yang dapat ada yang tidak. Bagi yang tidak dapat, mau kembali ke desa ada perasaan malu, akhirnya bekerja seadanya dengan memilih tempat tinggal murah dan mudah. Dan ini bisa membentuk pemukiman kumuh.
Kemudian yang mendapat pekerjaan, ada yang gaji tinggi, ada yang dapat upah rendah. Bagi yang dapat upah rendah, ia memilih tinggal di pinggiran kota. Meski kadang masih masuk permukiman kumuh, tapi tidak separah di poin pertama. Ini hanya soal dapat-tidaknya pekerjaan dan besar-kecilnya gaji, belum kebutuhan hidup di kota yang membumbung tinggi.
Belum lagi jika ditambah dengan daya saing yang kompetitif dengan lapangan kerja tidak seberapa. Ditambah lagi desakan dari keluarga di desa yang minta kiriman untuk kebutuhan ini dan itu. Ditambah lagi lain-lainnya hingga akhirnya muncul pemukiman kumuh di berbagai tempat di kota.