Mohon tunggu...
AS Riady
AS Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BLT yang (Tidak) Tepat Sasaran

8 Agustus 2021   15:16 Diperbarui: 8 Agustus 2021   15:17 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://beritabeta.com/pemerintah-perpanjang-blt-dari-dd-disalurkan-selama-6-bulan

Salah satu kata kunci dari beragam teori yang dikemukakan oleh para tokoh mengenai kehidupan di desa adalah tentang solidaritasnya antar warga yang lebih kuat, ketimbang kehidupan di kota.

Solidaritas itu seperti dua sisi mata pisau. Di satu sisi, solidaritas itu akan menjadi daya rekat dari satu warga dengan warga yang lain. Contoh konkretnya ada pada kerja bakti, pengadaan festival semarak hari kemerdekaan, penyambutan hari besar keagamaan yang meriah, dan seabrek aktivitas lain yang sering kita temukan di desa. Dan jangan salah, itu semua dilakukan tanpa adanya pamrih.

Warga secara sukarela ikut membantu apa saja yang menjadi keperluan hajat hidup orang banyak. Bahkan sekadar mendirikan rumah yang hanya diperuntukkan untuk satu keluarga, warga desa berbondong-bondang datang menawarkan bantuan.

Kemudian di sisi yang lain, solidaritas ini juga menjadi ancaman terhadap kerukunan yang ada di desa. Pada level internal, tentu saja tidak bisa dipungkiri ada sebagian warga yang kerap tidak puas dengan kebijakan pemerintah desa, atau tidak suka ada warga yang terlampau banyak memiliki harta benda yang serba mewah ketimbang warga pada umumnya.

Berkaitan dengan kebijakan pemerintah desa pada konteks pandemi ini, segala keputusan yang diambil memiliki konsekuensi yang cukup penting. Misalnya soal penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Sebab jika ada satu warga di desa tersebut yang tidak mendapatkan bantuan sedangkan yang lain mendapatkan, atau jika ada warga dalam satu dusun semuanya mendapatkan bantuan sedangkan di dusun lain hanya beberapa saja yang memperoleh bantuan, maka bukan tidak mungkin akan muncul benih-benih ketidakpuasan.

Terhitung sejak pandemi, ketentuan mengenai BLT ini telah diatur oleh Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Desa serta Kementerian Keuangan. Ketentuan ini kemudian diteruskan ke pemerintah daerah agar segera diterapkan guna membantu warga yang ekonominya terdampak karena pandemi. Selain itu juga untuk memeratakan bantuan bagi mereka yang tidak memperoleh Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial.

Di Jawa Tengah, merujuk pada pernyataan Sugeng Riyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan, dan Catatan Sipil bahwa tahap pertama penyaluran BLT sudah mencapai 99,99 persen. Saya rasa prosentase itu sudah bisa digunakan untuk klaim terhadap penyaluran BLT yang sudah merata ke semua warga.

Namun pernyataan yang dimuat dalam warta Koran Republika edisi Sabtu, 07 Agustus 2021 dengan tajuk "Kades Diminta Alokasikan Dana Desa untuk BLT" ini menjadi agak runyam.

Karena dalam warta itu ada pesan tersirat yang mengindikasikan ketidakberesan tentang bantuan yang telah tersalurkan. "Terkait dengan banyaknya bantuan sosial Pemerintah Pusat yang tidak tepat sasaran, Sugeng enggan berkomentar lebih jauh. Alasannya data-data penerima dan beberapa komponen bansos berasal dari Kemensos."

Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, untuk bansos memang langsung dari Kemensos, pemerintah pusat. Dalam arti, data-data mengenai siapa saja yang mendapatkan bantuan sudah dipilah-pilih dari pusat. Jadi pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk ikut campur, apalagi mengintervensi ketika ada warganya yang seharusnya layak menerima bantuan ternyata tidak dapat.

Kedua, data-data penerima bansos sudah dikantongi oleh pemerintah daerah yang kemudian diteruskan ke pemerintah pusat. Bisa jadi sudah dipilah oleh pemerintah daerah siapa-siapa saja yang layak. Bisa jadi juga setelah data diterima pemerintah pusat, data-data itu kembali diseleksi.

Ya semua serba mungkin, karena itu berada di level teknis. Termasuk juga tidak tepatnya sasaran bansos itu.

Tapi apapun itu, saya sepakat bahwa BLT dari dana desa ini memang menjadi alat untuk menutupi bagi siapa saja yang tidak memperoleh bansos. Dengan catatan, pemerintah desa memang benar-benar mengalokasikan dana bagi mereka yang membutuhkan.

Toh dalam warta Koran Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 07 Agustus 2021 dengan judul "Kades Diminta Maksimalkan Dana Desa" sudah menegaskan terkait hal itu. Katanya, "BLT dana desa itu penyapu ranjau bagi yang belum mendapatkan bantuan. Bertambah setiap bulan tidak apa-apa, yang penting ada musyawarah desa khusus (Musdesus)."

Bertambah banyak egak apa-apa sih, asal tidak melaporkan bertambah lantas dananya disalahgunakan. Seperti ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun