Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, untuk bansos memang langsung dari Kemensos, pemerintah pusat. Dalam arti, data-data mengenai siapa saja yang mendapatkan bantuan sudah dipilah-pilih dari pusat. Jadi pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk ikut campur, apalagi mengintervensi ketika ada warganya yang seharusnya layak menerima bantuan ternyata tidak dapat.
Kedua, data-data penerima bansos sudah dikantongi oleh pemerintah daerah yang kemudian diteruskan ke pemerintah pusat. Bisa jadi sudah dipilah oleh pemerintah daerah siapa-siapa saja yang layak. Bisa jadi juga setelah data diterima pemerintah pusat, data-data itu kembali diseleksi.
Ya semua serba mungkin, karena itu berada di level teknis. Termasuk juga tidak tepatnya sasaran bansos itu.
Tapi apapun itu, saya sepakat bahwa BLT dari dana desa ini memang menjadi alat untuk menutupi bagi siapa saja yang tidak memperoleh bansos. Dengan catatan, pemerintah desa memang benar-benar mengalokasikan dana bagi mereka yang membutuhkan.
Toh dalam warta Koran Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 07 Agustus 2021 dengan judul "Kades Diminta Maksimalkan Dana Desa" sudah menegaskan terkait hal itu. Katanya, "BLT dana desa itu penyapu ranjau bagi yang belum mendapatkan bantuan. Bertambah setiap bulan tidak apa-apa, yang penting ada musyawarah desa khusus (Musdesus)."
Bertambah banyak egak apa-apa sih, asal tidak melaporkan bertambah lantas dananya disalahgunakan. Seperti ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H