Salah satu kata kunci dari beragam teori yang dikemukakan oleh para tokoh mengenai kehidupan di desa adalah tentang solidaritasnya antar warga yang lebih kuat, ketimbang kehidupan di kota.
Solidaritas itu seperti dua sisi mata pisau. Di satu sisi, solidaritas itu akan menjadi daya rekat dari satu warga dengan warga yang lain. Contoh konkretnya ada pada kerja bakti, pengadaan festival semarak hari kemerdekaan, penyambutan hari besar keagamaan yang meriah, dan seabrek aktivitas lain yang sering kita temukan di desa. Dan jangan salah, itu semua dilakukan tanpa adanya pamrih.
Warga secara sukarela ikut membantu apa saja yang menjadi keperluan hajat hidup orang banyak. Bahkan sekadar mendirikan rumah yang hanya diperuntukkan untuk satu keluarga, warga desa berbondong-bondang datang menawarkan bantuan.
Kemudian di sisi yang lain, solidaritas ini juga menjadi ancaman terhadap kerukunan yang ada di desa. Pada level internal, tentu saja tidak bisa dipungkiri ada sebagian warga yang kerap tidak puas dengan kebijakan pemerintah desa, atau tidak suka ada warga yang terlampau banyak memiliki harta benda yang serba mewah ketimbang warga pada umumnya.
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah desa pada konteks pandemi ini, segala keputusan yang diambil memiliki konsekuensi yang cukup penting. Misalnya soal penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Sebab jika ada satu warga di desa tersebut yang tidak mendapatkan bantuan sedangkan yang lain mendapatkan, atau jika ada warga dalam satu dusun semuanya mendapatkan bantuan sedangkan di dusun lain hanya beberapa saja yang memperoleh bantuan, maka bukan tidak mungkin akan muncul benih-benih ketidakpuasan.
Terhitung sejak pandemi, ketentuan mengenai BLT ini telah diatur oleh Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Desa serta Kementerian Keuangan. Ketentuan ini kemudian diteruskan ke pemerintah daerah agar segera diterapkan guna membantu warga yang ekonominya terdampak karena pandemi. Selain itu juga untuk memeratakan bantuan bagi mereka yang tidak memperoleh Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial.
Di Jawa Tengah, merujuk pada pernyataan Sugeng Riyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan, dan Catatan Sipil bahwa tahap pertama penyaluran BLT sudah mencapai 99,99 persen. Saya rasa prosentase itu sudah bisa digunakan untuk klaim terhadap penyaluran BLT yang sudah merata ke semua warga.
Namun pernyataan yang dimuat dalam warta Koran Republika edisi Sabtu, 07 Agustus 2021 dengan tajuk "Kades Diminta Alokasikan Dana Desa untuk BLT" ini menjadi agak runyam.
Karena dalam warta itu ada pesan tersirat yang mengindikasikan ketidakberesan tentang bantuan yang telah tersalurkan. "Terkait dengan banyaknya bantuan sosial Pemerintah Pusat yang tidak tepat sasaran, Sugeng enggan berkomentar lebih jauh. Alasannya data-data penerima dan beberapa komponen bansos berasal dari Kemensos."