Buku ini menarik. Selain memberi perspektif baru soal kenabian, juga memberi penjelasan yang komprehensif, perihal dinamika kenabian yang bisa bertahan di tengah-tengah kecenderungan manusia yang semakin emoh bergulat dengan kedalaman makna dan laku religiusitas. Karena menarik dan sebagai pembaca yang baik, tidak pas jika saya belum memberi catatan buku ini sebagai bentuk kritik dan apresiasi.
Pertama dari sisi sejarah, para pendaku kenabian yang mendirikan kelompok keagamaan di masa kolonial digunakan untuk melawan penjajah. Mereka menggunakan legitimasi wahyu Illahi untuk memimpin dan memberontak agar terbebas dari belenggu kolonialisme.Â
Setelah kemerdekaan, para pendaku nabi masih bermunculan dan berkontribusi dalam pembentukan identitas baru. Pada masa ini, mereka menjadi pembimbing masyarakat secara spiritual untuk menuju jalan keselamatan. Berlanjut pada masa orde baru dan reformasi, para pendaku nabi membawa misi untuk menyelamatkan negeri ini dari krisis politik dan ekonomi yang terjadi di Indonesia, terutama setelah lengsernya Presiden Soeharto.
Maka bisa jadi, nabi-nabi dalam konteks sosial akan terus bermunculan. Kendati mereka (para nabi) selalu mendaku membawa ajaran dari Illahi, tapi orientasinya adalah untuk melakukan perlawanan kepada cengkeraman kuat yang melemahkan masyarakat. Di poin inilah, kritik agama sebagai candu atau tuhan telah mati tidak berlaku. Â
Kedua, perbedaan wali dan nabi. Keberadaan wali cenderung dimaknai untuk mempertahankan keimanannya dalam agama resmi dan tidak berniat untuk membangun agama baru.Â
Sedangkan nabi, dengan kharisma dan legitimasi wahyu Illahi, identik dengan pendirian agama baru yang melakukan perlawanan terhadap hegemoni yang mengendalikan masyarakat. Sebagian besar nabi cenderung melaksanakan misinya dengan revolusi sosial, sementara wali membatasi dirinya dengan melalui jalan spiritualitas di dalam batas agama yang dianutnya.
Persis halnya seperti Nabi Muhammad yang melakukan revolusi sosial kepada golongan elite Makah dengan membayar zakat dan tidak melulu berorientasi menumpuk kekayaan. Meskipun juga harus ditekankan bahwa konsekuensi para nabi dalam melakukan revolusi sosial ini jauh lebih berat dibanding para wali, sekalipun wali itu berperilaku unik, nyentrik, dan tidak lazim seperti masyarakat pada umumnya.
Ketiga, new religion movement atau gerakan keagamaan baru yang muncul di Indonesia setelah kemerdekaan selalu gagal mendapat pengakuan pemerintah, begitupun setelah reformasi yang selalu gagal dengan kebijakan pemerintah karena kerap mendorong penguatan orthodoksi keislaman.Â
Gerakan ini dianggap telah menjadi ancaman bagi agama-agama besar. Oleh karena itu, pada tahun 1975 pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang salah satu tugasnya menjaga  orthodoksi keislaman dari penyimpangan. Apabila ada gerakan keagamaan baru maka dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penistaan terhadap agama Islam.
Keempat biografi Lia Eden sendiri. Syamsuriati yang dikenal dengan nama Lia Eden, lahir di Makassar  pada 21 Agustus 1947. Suaminya bernama Aminudin Day. Awalnya Lia merupakan seorang seniman perangkai bunga. Pertemuannya dengan Habib Al-Huda di tahun 1997 telah merubah hidupnya. Di tahun tersebut Lia mendapat bisikan dari malaikat Jibril. Pada tahun 1999, Lia menceraikan suaminya atas perintah Jibril.
Pada tahun 2000, Lia mendklarasikan agama salamulah sebagai agama baru. Di tahun yang sama, Lia juga menerima perintah untuk menyepi pasca mendeklarasikan agama Salamulah. Pada tahun 2001, Lia diserang oleh warga sekitar ditempatnya menyepi karena dianggap sesar. Dan ditahun yang sama, Lia mengaku telah menikah dengan Jibril. Karena telah menikah, Lia mengaku sebagai penyampai wahyu tuhan langsung.