Salah satu kegemaran saya selain membaca, menulis, menonton bola, dan bermain mobile legends, saya juga gemar menonton anime. Tontonan yang saya rasa cukup menginsipirasi dan melatih daya imajinasi. Ya meski harus saya akui, tontonan anime sangat tidak merepresentasikan kehidupan yang sesungguhnya.
Kalau anda pernah menonton anime, meski sedikit, anda akan menemui ada orang yang memiliki kekuatan super duper hebat. Lagaknya melebihi Gatotkaca atau Anoman. Bisa lari tanpa merasa lelah, bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain, dan bertarung dengan kekuatan khususnya.
Tapi ada dua hal yang tersirat dari anime yang secara tidak langsung sebenarnya wujud dari kritik kehidupan umat manusia. Saya hanya berprasangka baik, bahwa si pembuat anime mungkin memiliki tingkat peka yang terbilang tinggi. Atau malah kita saja yang kerap tidak sadar dengan fenomena yang tengah terjadi.
Apa dua itu? Pertama, pakaian tokoh di anime cenderung itu-itu saja. Naruto selama pergi bersama Jiraiya Si Petapa Genit tidak pernah membawa pakaian ganti di dalam tasnya. Pakaiannya ya hanya itu, warna oranye. Apalagi Jiraiya Si Petapa Genit, pakaiannya untuk kencan, minum sake, makan, tidur, dan habis mandi ya hanya itu-itu saja.
Lebih lama lagi, ada anime "Hunter x Hunter" dengan tokoh utama Gon. Ia selalu mengenakan pakaian berwarna hijau. Mulai dari awal saya menonton, sampai ia pergi ke rumahnya Kilua untuk menyelamatkan mental temannya agar tidak lagi membunuh manusia, juga tetap memakai pakaian hijau.
Eits, tapi jangan asal tuduh bahwa pencipta tokoh Gon di dalam anime itu sebagai bagian dari anggota partai politik (ehm ehm, saya tidak mau sebut merk). Meski ia memilih warna hijau, bukan berati dalam rangka berkampanye seperti halnya anggota dewan. Berucap manis di awal, kemudian bersikap sinis ketika ditagih, dan menangis saat kedok buruknya terungkap. Negeri ini memang sangat miris kala sikap dan sifat yang begituan tidak bisa ditangkis atau dibersihkan.
Kemudian yang kedua, tokoh di anime bisa bertahan tidak makan dalam tempo yang cukup lama. Coba amati, dari pagi-siang-sore-malam, mereka jarang sekali terlihat mengeluarkan makanan. Atau bahkan tidak makan sama sekali. Kalaupun makan, dari seratus episode yang tayang misalnya, kita akan mendapati paling banyak sepuluh kali dalam episode yang tidak runtut dengan durasi 3 detik untuk mempertontonkan tokoh anime sedang makan.
Kita bisa saja mendakwa mereka (tokoh anime) sedang melakukan tirakat berpuasa. Toh nyatanya, prinsip tirakat berpuasa ini juga mendapatkan legitimasinya dari para penguasa Jawa, pujangga, dan para mpu yang hidup ratusan tahun silam.
Ronggowarsito misalnya, pujangga penutup yang karyanya banyak mengilhami orang yang datang sesudahnya, melakukan puasa dan berbuka hanya dengan satu buah pisang. Selepas itu, ia tidak makan. Ia pun akhirnya disegani oleh banyak orang, bahkan dari pihak kolonial sekalipun.
Tapi saya memberi isyarat bahwa dakwaan kita kepada tokoh anime yang tengah melakukan tirakat berpuasa, hanya akan memicu banyak persoalan yang baru. Apalagi kalau fatwa MUI turun. Belum lagi kena sensor KPI. Ya walhasil, dakwaan seperti itu tidak pernah terbukti. Dan toh, anime sudah ditekan sebisa mungkin peredarannya dari pertelevisian Indonesia.
Kembali lagi, dua pesan tersirat dari anime soal jarang berganti pakaian dan jarang sekali terlihat makan adalah kritik dari hidup kita yang cenderung terjun bebas pada wilayah hedonisme. Apa itu? Saya bantu cek arti istilah itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia, he.do.nid.me yakni pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Coba amati, banyak sekali tanpa disadari manusia berlomba-lomba membeli pakaian bagus hanya karena ingin diakui sebagai orang kaya. Atau serakah mengeksploitasi sumber daya alam dan korupsi hanya demi menjaga perut agar tidak terlantar dan lapar. Nah, anime datang dengan hiburan asoinya ingin mengingatkan soal itu. Kira-kira begini, "ya kamu kaya boleh lah. Baju baru, makan enak, tapi ya mbok ingat tetanggamu yang makan hanya dengan garam saja. Ingat juga tuh, bersikap yang ramah."
Bagaimana, apakah cukup tersindir? Kalau belum, saya sarankan untuk menonton anime di waktu senggang. Tenang, pada dasarnya semua tontonan tidak akan bermasalah jika orang yang menonton punya pondasi kuat, dalam hal apapun. Itu kata guru ngaji saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H