Belakangan ini bersepeda menjadi tren yang diminati oleh masyarakat. Teman saya, sebut saja Apid yang dulunya ogah kepanasan dan capek mengayuh sepeda, kini rela menggelontorkan tabungannya dari kaleng biskuit bertulis "tabungan untuk nikah" senilai dua juta rupiah untuk memboyong sepeda. Saya enggan bertanya apakah ia urung nikah tahun depan karena tabungannya harus ditunai lebih awal guna membeli sepeda itu, hanya saja tafsiran sembrono saya ia sedang keranjingan bersepeda.
Fenomena tren bersepeda ini dikuatkan oleh pernyataan Eko Wibowo Utomo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) yang mengatakan bahwa permintaan sepeda pada masa pandemi covid 19 ini melonjak antara 3-4 kali lipat dibandingkan dengan kondisi normal. Kita tidak perlu berurusan kenapa ada nama jenderal di sana, atau kapan asosiasi itu terbentuk, tapi pernyataan itu menjadi isyarat yang patut diamati dalam jangka beberapa bulan mendatang dari segala aspeknya.
Lonjakan permintaan ini tidak hanya didapati di toko-toko sepeda, tapi di pasar online juga mengalami hal yang sama. Rata-rata permintaan dan pembelian sepeda naik sekitar 50 persen bahkan ada yang lebih. Sepeda gunung dan sepeda lipat menjadi produk yang banyak diburu oleh masyarakat. Kabar ini bisa kita dapati di Koran Kompas, 25 Juni 2020 bertajuk "Sepeda, Produk Favorit".
Sementara itu, laju pertumbuhan covid 19 masih terus bertambah tiap harinya. Ini menarik jika dikaitkan dengan tren bersepeda. Kenapa? Karena bersepeda yang awalnya sebagai sarana berolahraga agar badan tetap sehat, justru malah berpotensi menurunkan kesehatan manusia. Hal ini ditengarai oleh sejumlah orang yang bersepeda tapi abai dengan covid 19.
Menurut Survei Sosial Demografi Dampak Covid 19 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik 13-20 April 2020 menunjukkan bahwa generasi z paling rendah kepatuhannya terhadap protokol kesehatan. Semakin muda usianya, semakian ia abai. Survei daring ini melibatkan 87.379 responden.
Ya meskipun secara prosentase kematian, anak muda cenderung lebih sedikit dibanding kelompok usia lainnya. Cuplikan berita di koran dan tanggal yang sama dengan tajuk "Muda, Bersepeda, dan Abai Korona" ini: "Abainya anak muda, juga kelompok umur lain, terhadap anjuran kesehatan itu karena mereka merasa ancaman atau kerentanan terhadap korona masih jauh."
Setidaknya ada faktor yang melatarbelakangi sikap abai anak muda ini. Pertama, pola berfikir jangka panjang yang belum terasah. Persis seperti lagunya Pak Haji Rhoma Irama tempo dulu, "darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu merasa gagah, tak pernah mau mengalah". Ya, anak muda cenderung terlalu gegabah dalam mengambil tindakan. Meski tidak semua anak muda seperti ini juga.
Tapi coba cermati, anak muda yang bersepeda dengan bergerombol tanpa menggunakan masker dan emoh membersihkan diri sesudahnya apa pernah terlintas di benaknya dengan menerka, "jangan-jangan ada virus yang menempel di tubuhku. Ah tak mandi dulu lah" atau minimal cuci tangan. Kalau ada, perlu diberi apresiasi walau hanya tepuk tangan sekadarnya. Tapi kalau belum, ia akan menjadi perantara penularan dan lonjakan kasus covid 19. Ia bisa membahayakan orang-orang di sekitarnya, meskipun ia sendiri merasa tidak apa-apa karena daya imun-nya masih stabil.
Yang kedua, ketidakpastian pemerintah dalam memberi informasi. Banyak pihak, bahkan para ahli yang saling silang pendapat. Belum lagi masuk meja media yang siap-siap diubah sana-sini dengan dalih agar renyah dibaca. Akumulasi ini membuat bingung masyarakat awam dalam mencercap informasi berkaitan pandemi covid 19.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap akademisi, pengamat, dan peneliti dari ragam disiplin keilmuan memiliki perspektifnya masing-masing dalam meneropong pandemi covid 19 ini, tapi mbok ya di akhir tulisan atau ucapannya di media mencamtumkan misal, "tapi saya sarankan untuk tetap mengikuti perkembangan lebih lanjut dari Menteri Kesehatan" atau semacamnya.
Oh ya terakhir, saya mau mengambil pesan dari Agus Mulyadi (seingat saya, meski tidak persis) yang relevan untuk konteks persepedaan, "tetaplah bersepeda dengan waras, untuk menjaga mereka yang kurang waras."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H