"Apa pendapatmu tentang idealisme?", pertanyaan ini pernah saya alamatkan kepada sahabat karib saya, seorang aktivis di kampus.
Ia hanya menjawab dengan raut muka syok. Tanpa saya duga, justru ia balik bertanya yang malah membuat saya sendiri lebih syok. Katanya, "apakah idealisme masih layak untuk diperbincangkan?"
Beberapa menit saya diam dengan khusyuk untuk melemparkan satu jawaban yang lebih culas. Tapi jika dipikir-pikir, melihat realitas yang terjadi di negeri ini dengan banyaknya kasus yang menurut istilah akademis degradasi moral, saya menciut untuk menjawabnya. Mungkin saya lagi apes, sehingga alternatif jawaban tidak mau muncul di kepala saya.
Lanjutnya ia mengatakan bahwa sudah banyak kader aktivis kampus, organisasi atau politik yang dilantik tiap tahunnya. Kader-kader itu juga mengikuti serangkaian diklat dan pelatihan tingkat lanjut guna menyelami visi misi afiliasinya.Â
Tapi tetap saja, kasus demi kasus terulang kembali. Katanya, "kebanyakan dari mereka terjebak dalam percintaan, kerja proyekan, atau aktivitas lainnya yang sifatnya pragmatis."
Saya hanya menafsirkan apa yang dikatakan itu sebagai otokritik dari pengalamannya bergelut menjadi aktivis. Namun saya sepakat bahwa ada sebagian kecil dari mereka yang memang mendarmakan dirinya untuk orang lain. Ya meskipun secara kuantitas tidak terlalu banyak.
Saya teringat cerita Kabul, tokoh fiksi di dalam novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari. Kabul yang berprofesi sebagai mandor pembangunan jembatan yang rencananya akan diresmikan untuk mendongkrak pendukung dari golongan partai tertentu, memilih untuk meninggalkan pekerjaannya sebelum proyek selesei.
Menurut Kabul, jembatan yang sedang dibangun olehnya, bukan jembatan umum. Karena yang benar-benar merasakan dampaknya bukan masyarakat, tapi elite organisasi politik tertentu.Â
Di sisi lain, pembangunan jembatan ini juga ditemui berbagai kecurangan, salah satunya pembengkakan anggaran dan desakan deadline proyek yang harus rampung di tanggal peresmian.Â
Di tambah lagi, bahan jembatan yang dibangun bukan berasal dari bahan yang mutunya bagus. Sehingga, jembatan yang dibangun akan cepat rusak.
Sifatn kritis Kabul sejak menjadi aktivis kampus di masanya, ditambah dengan idealisme pengetahuan yang kuat, dan banyaknya problem proyek pembangunan jembatan, Kabul memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!