Sederhananya idealisme Kabul tidak mau dinodai oleh orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang, tanpa mempertimbangkan bahwa perbuatannya itu berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak.
Kemudian ada satu lagi kisah yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Jejak Langkah yang menjadi novel ketiga dari Tetralogi Burunya.Â
Pada novel ini, kisah Minke yang telah mendulang kesuksesan dalam surat kabar Medan-nya tidak melepaskan dan mengesampingkan posisi wong cilik dalam tiap beritanya.Â
Bahkan orang boleh konsultasi hukum gratis perihal penindasan, perampasan hak milik, penganiayaan atas diri mereka oleh para pembesar dan pejabat gubermen.
Dari kedua novel ini, lamat-lamat saya menemukan dua sebab ihwal idealisme harus terus diupayakan. Pertama sebagai indikator dari realitas yang kurang pas dan kedua sebagai marwah asa dari tiap-tiap pribadi yang menghendaki kepantasan hidup.
Ibaratnya, meski kita serba standart namun untuk representasi jodoh yang sempurna dengan paras menawan, berpengetahuan luas, dan beragama dengan baik tetap harus terpatri di dalam hati. Toh kalau dapat jodohnya sama-sama standart, ya tidak masalah.
Bukankah Pak Soekarno dulu pernah mewejangi kita dengan tegas. Katanya: "Bermimpilah setinggi langit, kalau kamu gagal, kamu akan jatuh diantara bintang-bintang." Bukankah ini legitimasi wejangan yang sangat ideal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H