Cerita manusia-manusia yang ingin lepas dan menentukan pilihannya sendiri.
Sore itu sejumlah orang pergi keluar mencari makanan di salah satu angkringan di Timur Kampus Sanata Dharma, salah satu kampus swasta terbaik di Yogyakarta. Makanannya hangat, dan ruangan terbuka. Di sini orang-orang bebas mengambil makanan sembari mendengar deru mesin bermotor yang berlalu lalang atau mendengar sayup-sayup obrolan dari pejalan kaki.
"Es teh tapi di masuki jeruk nipis. Jeruknya diiris-iris. Kamu pesan minum apa?," tanya Om Aci, nama samaran, tapi ia sudah terbiasa dengan panggilan itu.
"Saya es jeruk."
"Saya es teh," jawab Alpis sembari tangan kanannya sibuk memegang gorengan yang masih panas.
Kami bertiga, saya, Om Aci, dan Alpis memang kerap keluar bersama.
Om Aci berusia 55 tahun. Pembawaannya selalu riang. Gaya berbusananya juga mengikuti perkembangan zaman, kendati di beberapa pakaiannya didapati guratan batik. Ia seorang penata rias. Hampir tiap hari, tempatnya selalu kebanjiran pelanggan.
Namun ia sendiri enggan untuk membuka rekrutmen karyawan baru. Katanya, "satu karyawan, satu malasah. Jika saya memasukkan empat karyawan, ya empat masalah. Belum lagi dengan orang-orang di luar karyawannya."
Ucapan itu secara sepintas terlihat egois dan individualistik. Tepat seperti sifat orang kota yang cenderung emoh komunal. Relasi sesama manusia dimaknai seperti transaksi barang.
Jika aku punya kenalan itu, keuntungan apa yang saya peroleh? Atau bisa juga, aku mau membantu masalahmu, tapi kamu mau memberiku apa jika masalahmu sudah rampung?
Namun jika dilihat dari konteks historis Om Aci bergeliat dengan duna tata rias, kita bisa paham kenapa ia mengambil keputusan itu. Pertama, ia pernah menjadi bos dengan karyawan puluhan di usianya yang baru memasuki kepala tiga.
Memang ia mengakui keuntungan yang ia peroleh cenderung lebih banyak, pelanggan yang datang setiap harinya juga lebih ramai. Bahkan seminggu sebelum lebaran datang, pelanggan yang datang bisa mencapai puluhan orang. Mereka semua antri untuk dipoles wajahnya.
Intensitas bersua muka dengan banyak pelanggan ini membuatnya mengalami puncak stress. Selain ia dikungkung terus oleh tanggung jawab pekerjaan, ia juga tidak bisa melakukan liburan ke tempat wisata, meskipun itu di akhir pekan atau hari libur. Katanya lebih lanjut, "hampir setiap hari ada masalah. Rasanya kalau (perangai) saya tidak mudah senyum dan sabar, saya cepat darah tinggi, kena penyakit stroke kemudian wafat."
Kedua, implikasi dari kerja sendiri ini, ia menjadi bebas menentukan kapan harus bekerja dan kapan libur. Tapi ia tetap menjaga profesionalitasnya dalam bekerja. Ia tidak mau semena-mena terhadap pelanggan yang telah ia pegang selama bertahun-tahun. Sekarang di akhir pekan ia bisa liburan. Senin sampai Sabtu, dari pagi sampai mahgrib, ia bekerja merias pelanggannya.
Ya, memang seiring bertambahnya usia, manusia cenderung emoh berurusan dengan banyak persoalan. Manusia ingin bebas. Mungkin hanya segelintir orang yang terus mau bergelimang masalah demi mencapai ambisi pribadinya. Terus, terus, dan terus.
"Kamu enggak makan?", tanya Om Aci pada Alpis yang sedari tadi sibuk menunduk melihat smartphonenya.
Alpis usianya lebih muda dari saya. Perawakannya juga lebih kurus, namun ia jarang sekali marah. Apapun obrolannya bisa menjadi jenaka jika ia ikut nimbrung, sekalipun nada bicaranya serius.
Ia punya masalah dengan pendidikannya. Dua tahun yang lalu ia masuk jurusan matematika di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia tidak betah dan ingin pindah ke UGM jurusan sastra Jepang. Ketidakbetahannya ini ditengari oleh paksaan orang tuanya yang menginginkan Alpis menjadi guru matematika, seperti bapaknya.
Akhirnya ia ikut salah satu bimbingan belajar di Yogyakarta agar lolos SBMPTN. Dulu sebelum pandemi covid 19 merebak, setiap pagi ia berangkat. Pulangnya sama seperti anak-anak sekolah kebanyakan, sore jam empat. Namun setelah adanya pandemi ini, ia mengikuti bimbel dari asrama.
Dan uniknya setiap kali ada tes, setiap itu juga ia mengeluhkan nilai matematikannya yang paling buruk. Pelajaran lainnya cenderung baik. Katanya, "aku itu egak bisa kalau ada rumus-rumusnya begini."
Padahal dalam teori klasifikasi ilmunya Auguste Comte, filsuf cum bapak Sosiologi ini menganggap bahwa matematika menjadi ilmu dasar yang paling mudah dipahami. Kenapa? Karena rumus-rumusnya pasti. Sekali hafal satu rumus itu, di banyak tempat akan tetap berlaku. Meskipun saya sendiri juga tidak jago-jago amat jika disodori sepuluh soal matematika.
Kasus seperti Alpis ini jamak ditemui di banyak murid di negeri ini. Fantasi kesuksesan zaman lalu yang tidak kesampaian dipaksakan kepada anaknya yang hidup di masa kini. Ada semacam mental priyayi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat kita, problem ini boleh diakui atau tidak diakui.
Orang yang berseragam rapi, bekerja di tempat teduh, dan hanya bergelut dengan pulpen-kertas dianggap status sosialnya lebih tinggi. Padahal bisa jadi, petani bisa lebih besar gajinya atau pengusaha yang sekali teken kontrak bisa puluhan juta gajinya.
Ya memang masyarakat kita itu unik, di beberapa momen indikator status sosial mana yang tinggi dan mana yang rendah ditentukan oleh profesi, sekali waktu ekonomi, sekali waktu keturunan. Tapi yang pasti, orang awam menengah ke bawah akan tetap menempati strata bawah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI